Sebenarnya
saya mau nulis ini dari beberapa minggu yang lalu, tapi tersebab
beberapa hal yang membuat saya seolah-olah dikejar waktu, akhirnya baru
sempet corat-coret sekarang. Makanya harap maklum kalau isu yang
diangkat sudah begitu basi. Mudah-mudahan yang baca ga sakit perut
hehehe.
Kira-kira dua minggu yang lalu saya berada dalam
kondisi kesehatan yang sangat rendah. Malam hari sepulang dari Medan
tubuh saya menggigil hebat. Malam itu saya demam tinggi. Tapi keesokan
paginya saya paksakan diri untuk ke kantor, soalnya saya baru cuti
selama seminggu. Dan sakit setelah cuti adalah suatu hal yang sangat
diharamkan di kantor saya.
Setelah memeriksakan diri ke
dokter, didiagnosa saya menderita infeksi saluran kemih atau dalam
bahasa gaulnya ISPA ( Infeksi Saluran Pipis Akut). Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri dan bakteri inilah yang menyebabkan saya demam
yang diikuti rasa menggigil. Namun, lagi-lagi saya tidak mau istirahat
di kos, karena pekerjaan yang menumpuk setelah cuti panjang tadi.
Tapi
apa daya, dihari keempat saya ambruk juga. Demam saya tinggi sekali,
kepala pusing, perut mulas dan pinggang saya sakit bukan main.
Pagi-pagi buta saya keluar dari kos, menyetop taksi langsung menuju
rumah sakit terdekat, sendiri.
Saya langsung menuju IGD ( instalasi Gawat Darurat), mendaftarkan diri saya yang diikuti dengan pertanyaan dokter jaganya.
“ Siapa yang sakit mba”
“ Saya dok”
“ Tadi kesini diantar siapa?”
“Sendirian”
Kemudian si dokter dan perawat saling memandang ( emang aneh ya ke dokter sendirian?)
Saya
beritahu, biaya pendaftaran pasien di rumah sakit tersebut adalah Rp
120 ribu. Catatan : ini adalah rumah sakit umum dengan fasilitas ala
kadarnya dan pelayanan yang memprihatinkan ( saya sempat dibentak sama
perawatnya karena saya protes kok tangan saya yang diinfus sebelah
kanan, saya minta yang kiri saja)
Kemudian setelah
menanyakan keluhan saya, saya pun disuruh berbaring di tempat tidur
yang tersedia. Periksa tensi, ambil darah, nampung urine, dibawa ke
lab. Hasil lab keluar, positif saya memang terkena ISPA plus typus.
Biaya lab Rp 176 ribu. Saya dianjurkan untuk opname. Saya pasrah saja.
Toh di kos juga ga ada yang merawat saya.
Maka saya harus
mendaftarkan diri lagi untuk rawat inap. Setelah melihat harga kamar,
saya putuskan untuk menempati kamar kelas II. Biaya satu malam Rp 245
ribu. Sebelum dipindahkan ke kamar, saya diinfus dulu, plus diijeksikan
antibiotik. Biaya tindakan gawat darurat Rp 138 ribu. Obat-obatan plus
administrasi Rp 325 ribu. Total biaya yang saya keluarkan, bahkan saya
belum diantar ke kamar adalah Rp 1.004.000. Heeeeh, sampai disini saya
ingin menarik nafas panjang. Dompet saya langsung kosong.
Kamar
kelas II diisi oleh tiga orang pasien. Di sebelah saya, terbaring
seorang ibu yang ditunggui anak lelakinya. Entah berapa kali si ibu
merengek untuk dibawa pulang oleh anaknya. Saya dengar dia berbisik
pelan ke lajangnya.
“ Ibu sudah sehat kok, besok pulang aja ya, sayang uangnya”
Saya hanya bisa menghela nafas panjang (lagi).
Tak
lama, masuk pasien baru. Gadis remaja, demam berdarah. Ia ditemani oleh
ibunya. Mungkin karena bosan si ibu jalan-jalan ke tempat tidur saya.
Berbincang ala kadarnya. Dari situ saya tahu ia seorang janda,
pekerjaanya berdagang. Sampai detik ia berbincang dengan saya, ia sudah
harus mengeluarkan uang Rp 3 juta untuk biaya berobat putrinya, karena
ia diwajibkan si rumah sakit untuk membayar biaya kamar langsung
sepuluh hari di depan. Itu belum termasuk obat-obatan dan pemeriksaan
lab.
Siangnya teman kantor saya datang menjenguk. Melihat
kondisi rumah sakit yang sepertinya bisa diramalkan saya akan bertambah
sakit disitu, maka saya dipindahkan teman saya ( atas persetujuan
kantor) ke rumah sakit yang jauh lebih baik . Syukurlah…
Rumah
sakit yang baru berbeda 180 derajat dari RS pertama. Bagai surga dan
neraka perbandingannya ( kaya pernah aja kesana hihi ). Rumah sakit
ini wangi, bersih, mewah, dan pelayanannya sangat memuaskan. Namun, “
ada rupa ada harga”, selama dua hari saya dirawat disitu, biaya yang
harus dikeluarkan adalah Rp 5.600.000. Untunglah saya tidak harus
mengeluarkan biaya sepeser pun, karena saya dijamin oleh perusahaan.
Setelah
pulang dari RS, hati saya teriris-iris, membayangkan dua pasien yang
sekamar dengan saya kemarin. Bayangkan, saya saja yang punya
penghasilan tetap dan belum mempunyai tanggungan merasa berat sekali
harus mengeluarkan uang sebesar 1 juta lebih di rumah sakit yang
pertama. Itu adalah rumah sakit umum, tempat dimana masyarakat kelas
menengah ke bawah berobat.
Alangkah mahalnya biaya
kesehatan di negeri ini. Baru mendaftar sebagai pasien saja sudah harus
mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah. Belum obat-obatannya. Pantas
lah banyak orang sakit yang tidak mau berobat ke rumah sakit. Mati
mengenaskan di deretan rumah-rumah kardus. Menikmati perih dalam diam.
Boro-boro menyisihkan dana kesehatan, kalau untuk meredam nyanyian di
perut pun harus berfikir sampai rigit terkecil.
Makanya, orang miskin dilarang sakit.
Saat
isu kenaikan BBM menguar, akal sehat saya berkata, kenaikan adalah hal
yang tidak dapat dihindari. Secara logika, ketersediaan bahan bakar di
alam semakin lama semakin menipis. Sudah merupakan prinsip ekonomi,
semakin sedikit barang yang tersedia, dan semakin besar permintaan,
maka harga akan semakin melangit. Supply yang berbanding terbalik
dengan demand akan membuat pricing gonjang ganjing.
Kemarin-kemarin
saya tidak terlalu pusing dengan wacana kenaikan BBM. Toh saya jalan
kaki ini. Gaji saya juga masih cukup walau tidak berlebih untuk
memenuhi kebutuhan saya sendiri. Namun setelah kejadian di rumah sakit
tersebut, saya memilih membuang akal sehat saya.
Kalau
saya saja merasa sesak nafas saat mengeluarkan uang untuk biaya
kesehatan saya sendiri, bagaimana lagi dengan saudara-saudara kita yang
tidak punya pekerjaan tetap. Yang pendapatannya dibawah UMR. Yang untuk
makan besok saja harus dicari hari ini. Bagaimana dengan nasib tukang
cuci di kos saya yang gajinya hanya sebesar tiga buah novel “ Serial
Anak Emak” karya Tere Liye.
Walaupun secara gamblang
saya menyadari, bahwa subsidi BBM itu memang memberatkan keuangan
negara. Saya juga baca berita, harga minyak mentah dunia semakin
melambung. Saya juga tahu, di negara-negara lain BBM harganya jauh
lebih mahal dari di negeri kita.
Tapi……
Saya ga peduli kalau gara-gara BBM ga jadi naik, APBN bakal jebol
Saya juga ga mau tahu kalau APBN jebol akan berbahaya bagi ekonomi bangsa
Saya ga mau ambil pusing jika dengan terancamnya ekonomi kita menyebabkan para investor kabur membawa uang mereka
Saya benar-benar ga mau tahu.,
Yang
saya tahu, saya baru melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana
berartinya lembaran-lembaran ribuan di dompet seorang janda yang
anaknya terserang penyakit mematikan. Lembaran yang mungkin saat ini
bisa ditukar dengan seliter beras, namun bisa dipastikan akan berkurang
nilainya saat kebijakan sang penguasa itu terealisir.
Yang
saya tahu, bukankah negara punya ahli-ahli ekonomi yang handal.
Ahli-ahli berdebat di gedung parlemen. Menteri-menteri yang mumpuni di
bidangnya. Saya setuju rakyat tidak boleh tergantung pada subsidi
pemerintah. Saya juga setuju , negara perlu mengurangi biaya untuk
melangsingkan APBN yang semakin hari semakin gemuk. Tapi…….. bisa
tidak yang dicabut jangan subsidi BBM. Cabut saja subsidi dari pos
lain. Kurangi biaya yang membebani anggaran negara, kecuali BBM. Apa
saja, asal bukan BBM.
Orang idiot juga tahu, kenaikan
harga BBM punya efek domino terhadap harga barang-barang kebutuhan
pokok yang lain. Bahkan jauh sebelum kenaikan benar-benar terjadi.
Biaya
rapat yang beritanya sampai menghabiskan milyaran rupiah, SPJ pejabat
negara yang bisa untuk makan ratusan pengemis di Jakarta bahkan mungkin
ribuan. Kalau perlu hentikan dulu semua pembangunan infrastruktur yang
tidak bersinggungan langsung dengan hajat hidup orang banyak terutama
rakyat kecil. Ngapain pajak dialokasikan untuk pembangunan, kalau yang
menikmati pembangunan tersebut orang yang digembar-gemborkan sebagai
orang yang tidak layak disubsidi BBM. Apa gunanya menginjeksikan ke
pikiran rakyat bahwa selama ini subsidi BBM turut dinikmati oleh orang
yang tidak berhak kalau toh akhirnya mereka juga yang paling banyak
menikmati pajak yang dikumpulkan dari tetes keringat dan darah rakyat
yang katanya justru dibela tersebut. Omong kosong. Benar-benar
basa-basi busuk.
Kalau bisa hanya memotong kuku kaki, Buat apa harus mengamputasi kakinya??
Saya
sarankan sebaiknya , para manusia setengah dewa tersebut sekali-kali
disuruh ikut tantangan hidup di belantara Jakarta dengan uang seminim
mungkin di dompetnya, dan disuruh kerja seperti rakyat jelata. Biar
tahu apa arti uang sepuluh ribu, yang mungkin selama ini hanya
digunakan untuk beli sebotol air mineral di pesawat. Ups , saya lupa,
mana pernah mereka naik pesawat kelas ekonomi yang harus tabah menunggu
delay berjam-jam.
Atau boleh jadi mereka harus melewati
On The Job Training dulu ke daerah-daerah yang jauh dari bling –bling
metropolitan agar belajar kebersahajaan dan lebih terasah empatinya.
Mungkin
saya sok tahu. Mungkin apa yang saya tulis ini pemikiran yang sangat
sempit. Yang ga pakai akal sehat, ga logis. Whatever lah.
Walau
demikian saya mengerti, beratnya beban menjadi pemimpin negeri ini.
Seperti makan buah simalakama. Sebenarnya, saya tidak pernah tahu
seperti apa buah simalakama itu. Tapi saya yakin rasanya tidak pahit.
Sebab kalau pahit, toh buktinya masih mau terus-terusan memakannya.
Buktinya lagi, masih banyak yang berebut untuk memakannya.