Suamiku…..
Hari
ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah kata Alhamdulillah,
namamu adalah yang pertama kusebut. Seperti tetes embun di ujung
rerumputan perasaanku pagi ini, segar dan sejuk. Matahari pun
seolah-olah bersinar hanya untukku. Aku sedang jatuh cinta.
Gombal….
Itu katamu, setiap aku mengucapkan tiga kata sakti itu.
Aku cinta kamu mas
Dan
kau pun akan mengatakan aku ini penulis. Apapun bisa kuucapkan.
Bukankah penulis seperti itu?. Pintar merangkai kata, menyulam huruf
sehingga terdengar seperti nyanyian surgawi.
Namun tak urung kau jawab juga ungkapan cintaku.
Too…. Katamu, hanya itu
Padahal dari rona di wajahmu aku tahu kau sangat suka mendengar kata yang bahkan tidak kau ucapkan saat melamarku.
Cinta…..
Dulu
aku sering salah memaknai cinta. Aku mendefinisikan cinta dengan
berbagai bentuk yang aku yakini saat itu. Pakaianku masih putih
abu-abu. Bedakku masih merk pigeon, bibirku hanya dipoles lipgloss rasa
stoberi hasil kecentilanku meniru teman-teman seperjuangan.
Cinta bagiku berarti seorang laki-laki mau bersusah payah di tengah hujan membelikanku seporsi martabak mesir kesukaanku.
Cinta bagiku berarti seorang laki-laki menghujaniku dengan puisi dan menciptakan lagu khusus untukku.
Cinta bagiku, berarti aku memenangkan hati teman lelaki idola semua gadis.
Seperti itu gambaran cinta di dunia remajaku.
Seiring bertumbuhnya kedewasaanku, aku memaknai cinta dengan cara yang berbeda.
Cinta adalah kebebasan.
Cinta adalah menghargai
Cinta adalah kepercayaan
Sampai aku berkenalan denganmu.
Tidak
ada denting piano dan gesekan biola yang menjadi soundtrack terlepasnya
panah cupid ke jantung hatiku. Bahkan aku tak yakin bayi bersayap itu
sedang bermain-main di sekitar kita saat itu.
Tidak ada kupu-kupu terbang di perutku. Semua biasa saja.
Yang justru hadir adalah seekor cicak.
Cicak…….
Kau
tahu cicak?. Binatang bertubuh pucat transparan yang merangkak kesana
kemari. Aku tidak suka dengannya. Lebih dari tidak suka, aku jijik.
Suaranya yang berdecak-decak di malam hari membuatku susah tidur. Awal
ketidaksukaanku dengannya, karena dulu di kos masa aku kuliah, ada
mbahnya cicak nangkring di plafond kamarku, tokek. Tubuhnya besar
menyerupai kadal. Ada corak totol-totol kehijauan menghiasi badannya.
Tiap malam ia akan bernyanyi “tokek….tokek…”, dan selama 3 hari tidurku
dihantui mimpi buruk. Aku takut dia merambat turun dan menggigitku.
Mati-matian aku berusaha mengusirnya, tapi dia tetap betah menjadi
penghuni kamar sempitku.
Kau ingat, malam sebelum ijab
Kabul kita. Aku dan kamu mengusir kegalauan dengan saling bertukar
suara di ujung telepon. Aku terkikik-kikik mendengar ceritamu.
Orang-orang sibuk lalu-lalang mempersiapkan perhelatan cinta kita esok
hari. Aku memilih sudut garasi untuk bercengkrama denganmu.
Tiba-tiba………..pluk,
seekor cicak jatuh menimpaku. Tepat di atas kepalaku. Aku menjerit.
Sejurus kemudian aku ketakutan. Pertanda apa ini?
Kejatuhan
cicak di malam menjelang pernikahan, hal burukkah itu?. Jangan-jangan
akan terjadi sesuatu denganku. Atau denganmu? Bukankah aku kejatuhan
cicak saat berbicara denganmu?.
Setelahnya aku tidak
dapat tidur. Aku berdoa panjang-panjang di malam itu. Semoga semua
baik-baik saja. Semoga perjalananmu besok menuju rumahku akan selamat.
Dan semoga semoga yang lain.
Dan ternyata, semua memang baik-baik saja. Aku segera melupakan insiden cicak tersebut.
Suamiku…
Tanpa
terasa, waktu bergulir mengiringi jejek-jejak kaki kita di bilangan ke
empat. Ribuan malam kita lewati. Jutaan peluk kita rasakan. Kita
semakin mengenal. Sedikit –sedikit ada bagian dari dirimu yang melebur
bersamaku, seperti kemalasanmu misalnya. Demikian juga, ada potongan
jiwaku yang menyublim ke jiwamu.
Walau demikian, kita
tetap dua orang yang berbeda. Kau tetap si pendengar, aku tetap si
cerewet. Namun selera makan kita mulai seiring. Itu kemajuan bagi
hubungan kita.
Kini aku yakin, insiden cicak itu adalah pertanda baik bagi kita , hahahaha.
Dan kini defenisi cintaku berubah kembali.
Saat kau membatasiku, aku sedikit jengkel, tapi tak membuatku berfikir bahwa kau tak mencintaiku.
Suatu saat kita saling tidak menghargai. Kau mengacuhkan teleponku. Aku pun mengacuhkan dirimu. Tapi kita tetap merindu.
Atau,
saat kau tak mempercayaiku karena kesleboranku, dan aku pun tak
mempercayaimu karena rokokmu. Ternyata itu pun membuat kita tetap
bergenggaman.
Mungkin cinta itu seperti matematika.
Seperti sebuah angka dibagi nol, atau tak terhingga dibagi nol, atau
tak terhingga dibagi tak terhingga, atau nol dibagi nol.
Ah, aku tak mau lagi mendefinisikan cinta. Biarlah para pujangga itu saja yang mendefinisikannya. Atau para penulis-penulis itu.
Bagiku , cinta itu kamu.
Happy Anniversary suamiku sayang