Yup, kayanya hampir semua pasangan
muda, setelah menikah dan punya anak, prioritas hidupnya jadi berubah. Anak
menjadi center of universe. Semua mua dilakukan demi anak, untuk anak, karena
anak. Tak jarang, seorang wanita sampai abai sama kebutuhan diri sendiri,
seorang suami lupa sama kebutuhan istrinya, karena semua udah all about the
baby.
Tau ngga, saya pernah punya temen
cowok, yang sempet sebel sama anaknya sendiri, karena doi bilang, sejak punya
anak istrinya ngga lagi perhatian sama dia. Prioritas hidup istrinya Cuma
kebutuhan anaknya. Pulang kerja makan sendiri, mau ngajak istrinya ngobrol, eh istrinya sibuk nyusui anaknya. Giliran nyusui selesai, dianya udah ngantuk.
Udah ngga pernah lagi mesra-mesraan, karena si istri yang dibicarakan cuma anak-anak- dan anak.
Awalnya saya tuh yang pengen nokokkan kepala si kawan ini " Woy ya wajarlah, namanya juga ibu baru, masih excited sama anaknya, atau ngga ya karena terlalu khawatir sama anaknya, jadi yang dibicarakan anak-anak-anak".
Tapi setelah saya pikir-pikir, kasihan juga ya para suami. Mereka harus dipaksa mengerti bahwa anak udah jadi center of universe si istri. Padahal ya dianya juga mungkin aja baby blues ya. Mungkin aja doi juga sebenernya gagap jadi papa baru, dan pengen curhat ke istri, pengen berbagi cerita ke si istri. Mungkin penat di kerjaan dan pengenlah si istri yang kayak dulu,manja-manja kepada dia.
Bahwa yang namanya menjadi
orangtua, prioritas hidup itu jadi berubah, bahkan prioritas terhadap pasangan
aja bisa tergantikan. Anak jadi center of universe kita. Kalau kita terus
menerus terjerumus dengan stigma bahwa anak adalah segalanya, bisa bahaya juga
bagi keluarga dan bagi perkembangan jiwa diri sendiri. Makanya perlu
keseimbangan dan kesadaran, bahwa ga apa kok sekali-kali mendahulukan
kepentingan ibunya misalnya. Kayak masalah kompeng dan ayunan itu. Kalau memang
diperlukan alat bantu, saya rasa ngga ada salahnya kok ortu menggunakannya.
Demi anak tidur lebih nyenyak dan ibu lebih banyak istirahat.
Pokoke intinya, it's ok not to be a perfect mother versi buku parenting. Sepanjang
tidak membahayakan anak, kita bahagia, improvisasi dalam hal pengasuhan anak,
sah-sah saja menurut saya.
Nah nyambung ke berita yang lagi hot di timeline. Soal perceraian keluarga idola kita semua [KITA], iya idola kitalah, aku termasuk yang suka sama keluarga ini walau ngga sampe yang ngefans gimana, seru aja lihat mereka, ditambah si Koneng lagi.
Banyak banget komen-komen di instagram dan di twitter yang isinya kira" Tolong dong pikirkan perasaan Gempi", sampe yang " Kalian tidak boleh egois jadi orangtua, mengalahlah demi keutuhan orangtua bagi Gempi.
Terus terang saja mendengar berita perceraian Gading_Gisele ini aku sedih. Tapi baca-baca komen netijen begini, kok rasanya gimana yah. Aku yakinlah ga mungkin keputusan sebesar itu ga dipikirin mereka dengan matang. Beban sebagai public figur, beban sebagai role model keluarga bahagia, ditambah postingan-postingan keimutan dan kelucuan anaknya, pasti membuat mereka udah mempertimbangkanlah keputusannya.
Aku mau cerita aja, ada temenku yang orangtuanya tiap hari bertengkar terus, udah level saling menjelekkan satu sama lain. yang tau sama-sama tidak puas dengan diri pasangan. Saling benci tapi ngga mau pisah. Sama-sama berfikir, ga apa-apa kami ga bahagia, asal kalian anak-anak kami tetap memiliki orangtua yang utuh. Kondisi gitu berlangsung bertahun-tahun, dari temenku ini masih piyik sampe kuliah, nikah, punya anak. Ortunya ngga kunjung pisah, tetap bersama dan tetap saling memaki, tetap saling menyakiti, sampe akhirnya si temenku dan sodara-sodaranya jadi benci sendiri sama kedua ortunya. benci sama ortu dan benci sama diri mereka sendiri. " Kenapa mama papa ga pisah aja kalo udah ga saling cocok, kami anak-anak ini ga masalah banget lho punya ortu bercerai daripada lihat kalian berdua ga bahagia gini"
Huhu aku dengerin cerita temenku ini sampe ikutan nangis. Karena ya itu terjadinya udah lama, dan ortunya terlalu pengecut buat ngambil keputusan.
Apakah mereka si anak merasa bahwa ortunya berkorban untuk mereka?
Ya ngga juga.
Mereka malah mungkin lebih bahagia kalo kedua ortunya lebih punya sikap. Karena untuk apa tetap bersama kalau sebenernya toh ngga ada lagi yang bisa dipertahankan. Kalo anak-anak?. Anak-anak mungkin akan kehilanganlah pada awalnya, mungkin akan kecewa, mungkin akan merasa tidak dicintai, tapi seiring usia dan kedewasaanya, asal dikasi pengertian yang benar, pasti akan mengerti bahwa perpisahan kedua orangtua bukan berarti tidak sayang pada mereka.
Balik ke judul awal. Mungkin setelah menikah, pasangan suami istri akan memiliki prioritas hidup yang berubah, anak, segalanya tentang anak. Tapi untuk kebahagiaan pribadi, jika memang tidak memungkinkan untuk tetap bersama, menurutku berpisah mungkin jadi pilihan terbaik.
Dan perihal anak menjadi pusat semesta kita, aku ngga mau banget seperti itu. Anak tentu jadi prioritas kita tapi pasangan adalah belahan jiwa kita. Kepentingan dia tidak kalah pentingnya dengan kepentingan anak. Kebutuhan pasangan tidak kalah urgentnya dengan kebutuhan anak.
Percaya saja, anak-anak kita itu tidak selemah yang kita pikir kok, mereka itu kuat dan bisa mengerti kondisi ortunya
Aku ga pro perceraian, aku pro kebahagian semua orang. Karena pernikahan yang di dalamnya saling menyakiti atau sudah tidak satu jalan lagi itu sungguh menyiksa.
Percaya sama aku
Eh ngga ding, percaya ajalah pokoke, lhaaa labil.
Nah nyambung ke berita yang lagi hot di timeline. Soal perceraian keluarga idola kita semua [KITA], iya idola kitalah, aku termasuk yang suka sama keluarga ini walau ngga sampe yang ngefans gimana, seru aja lihat mereka, ditambah si Koneng lagi.
Banyak banget komen-komen di instagram dan di twitter yang isinya kira" Tolong dong pikirkan perasaan Gempi", sampe yang " Kalian tidak boleh egois jadi orangtua, mengalahlah demi keutuhan orangtua bagi Gempi.
Terus terang saja mendengar berita perceraian Gading_Gisele ini aku sedih. Tapi baca-baca komen netijen begini, kok rasanya gimana yah. Aku yakinlah ga mungkin keputusan sebesar itu ga dipikirin mereka dengan matang. Beban sebagai public figur, beban sebagai role model keluarga bahagia, ditambah postingan-postingan keimutan dan kelucuan anaknya, pasti membuat mereka udah mempertimbangkanlah keputusannya.
Aku mau cerita aja, ada temenku yang orangtuanya tiap hari bertengkar terus, udah level saling menjelekkan satu sama lain. yang tau sama-sama tidak puas dengan diri pasangan. Saling benci tapi ngga mau pisah. Sama-sama berfikir, ga apa-apa kami ga bahagia, asal kalian anak-anak kami tetap memiliki orangtua yang utuh. Kondisi gitu berlangsung bertahun-tahun, dari temenku ini masih piyik sampe kuliah, nikah, punya anak. Ortunya ngga kunjung pisah, tetap bersama dan tetap saling memaki, tetap saling menyakiti, sampe akhirnya si temenku dan sodara-sodaranya jadi benci sendiri sama kedua ortunya. benci sama ortu dan benci sama diri mereka sendiri. " Kenapa mama papa ga pisah aja kalo udah ga saling cocok, kami anak-anak ini ga masalah banget lho punya ortu bercerai daripada lihat kalian berdua ga bahagia gini"
Huhu aku dengerin cerita temenku ini sampe ikutan nangis. Karena ya itu terjadinya udah lama, dan ortunya terlalu pengecut buat ngambil keputusan.
Apakah mereka si anak merasa bahwa ortunya berkorban untuk mereka?
Ya ngga juga.
Mereka malah mungkin lebih bahagia kalo kedua ortunya lebih punya sikap. Karena untuk apa tetap bersama kalau sebenernya toh ngga ada lagi yang bisa dipertahankan. Kalo anak-anak?. Anak-anak mungkin akan kehilanganlah pada awalnya, mungkin akan kecewa, mungkin akan merasa tidak dicintai, tapi seiring usia dan kedewasaanya, asal dikasi pengertian yang benar, pasti akan mengerti bahwa perpisahan kedua orangtua bukan berarti tidak sayang pada mereka.
Balik ke judul awal. Mungkin setelah menikah, pasangan suami istri akan memiliki prioritas hidup yang berubah, anak, segalanya tentang anak. Tapi untuk kebahagiaan pribadi, jika memang tidak memungkinkan untuk tetap bersama, menurutku berpisah mungkin jadi pilihan terbaik.
Dan perihal anak menjadi pusat semesta kita, aku ngga mau banget seperti itu. Anak tentu jadi prioritas kita tapi pasangan adalah belahan jiwa kita. Kepentingan dia tidak kalah pentingnya dengan kepentingan anak. Kebutuhan pasangan tidak kalah urgentnya dengan kebutuhan anak.
Percaya saja, anak-anak kita itu tidak selemah yang kita pikir kok, mereka itu kuat dan bisa mengerti kondisi ortunya
Aku ga pro perceraian, aku pro kebahagian semua orang. Karena pernikahan yang di dalamnya saling menyakiti atau sudah tidak satu jalan lagi itu sungguh menyiksa.
Percaya sama aku
Eh ngga ding, percaya ajalah pokoke, lhaaa labil.