Kemarin siang saya ingin sekali makan soto kudus . Sejak
satu jam sebelum waktu menunjukkan pukul 12, saya sudah membayangkan segarnya
semangkok soto daging plus segelas es teh manis. Hmm pasti maknyus.
Jam 12 teng, saya segera berjejalan dengan warga kantor
mengikuti kata hati dan suara di perut saya. Tampaknya hidup di Jakarta memang
segala sesuatunya penuh perjuangan. Ga percaya?
Coba antri lift saat jam makan siang di gedung BRI.
Setelah antrian di menit ke lima belas, akhirnya saya pun
berhasil melalui perjuangan hidup pertama dengan mendaratnya kaki saya di lantai dasar. Tanpa membuang waktu, saya focus
pada tujuan hidup saat itu, Be We, tempat makan “segalanya ada” yang melayani
warga 3 gedung perkantoran yang kelaparan
Setelah memesan si soto idaman, mata saya nyalang menyusuri
deretan bangku demi bangku yang penuh sesak oleh warga seantereo bendungan
hilir.
Kamu bilang hidup ini susah?
Buktikan dengan mencari tempat duduk di Food Court
terlengkap di bendungan hilir ini. Setelah itu , bandingkan dengan susahnya
hidupmu.
*****
“ Itulah kalau perempuan ga bekerja, pikirannya sempit. Abis
kerjaannya cuma nonton sinetron dan gossip doang sih. Ga kayak kita, ada
kesibukan, pergaulannya juga beda, jadi lebih melek sama perkembangan jaman.
Lain kali ga usah ngajak si Ika deh, ga nyambung, levelnya beda.”
Lah, yang dilakukan barusan itu apa, bukannya menggosip?.
Saya tutup buku yang saya baca sambil meninggalkan taman
tersebut, menjauhi wanita-wanita karir yang begitu jumawa dengan statusnya,
mengganggap dirinya lebih tinggi dari ibu rumah tangga, merasa lebih
berpendidikan dan lebih modern dari para wanita yang mengabdikan dirinya
menjadi full mother.
***
Aaaah, setelah seminggu penuh wara-wiri Jakarta-Bengkulu
akhirnya terkabul juga keinginan bebas dari rutinitas kantor. Cuti sehari
sambil memanjakan diri sejenak di salon adalah sebentuk surga kecil di dunia.
Hampir saja mata saya terpejam menikmati pijatan lembut si mba di pundak, sambil menunggu creambath di
rambut meresap.
“ Eh, bu Ira kemana, kok ga ikut nyalon hari ini”
“ Biasa, akhir bulan, banyak kerjaan di kantornya”
“ Wah, ternyata enakan kita ya jeng, bisa kapan aja ke
salon, ga perlu kerja keras, tiap bulan ditransfer suami, ngapain capek-capek “
“ Iya, padahal sama aja yah, pemasukan dua tapi kan
pengeluaran juga dua “
“ Oya, arisan periode depan, kita-kita aja yah, biar gampang
ngatur waktunya”
Dan cekikikan kedua sosialita tadi sukses menghalangi
bertemunya kedua kelopak mata saya.
Yah, dalam kasus ini, Para perempuan tersebut sudah mendiskriminasikan
perempuan lain. Berlaku tidak adil karena perbedaan. Baik perbedaan fisik
maupun perbedaan status.
Si perempuan ber blazer executive, dengan sepatu high heels
yang akan mengeluarkan suara tuk tuk tuk kalau berjalan, merasa dirinyalah ikon
kartini masa kini. Berfikiran terbuka, dan dialah si perempuan abad 21. Hingga
memandang rendah wanita tidak bekerja dan tidak pantas masuk dalam golongannya.
Mungkin sekali, ia tidak mengerti bagaimana nikmatnya
mengurusi seluruh kebutuhan keluarga, menyiapkan sarapan suami, mengantar
anak-anak sekolah dan dengan senyum sesegar pop ice menyambut suami yang telah
berlelah-lelah menafkahinya. Disitu terdapat ladang pahala dari keikhlasannya.
Di sisi lain, full mother merasa kasihan dengan si wanita
karir yang harus berjibaku di hiruk pikuk dunia kerja, yang menurut kacamatanya
tidak senyaman istana yang didiaminya sepanjang hari. Hingga terkadang, dalam
pergaulan mereka mengkotak-kotakkan diri, dengan membaur hanya sesama IRT, dan
menganggap wanita bekerja ancaman bagi mereka.
Bisa jadi, ia tidak tahu, betapa menyenangkannya menemukan
dan belajar hal-hal baru di tempat kerja, pengalaman bertemu orang-orang dari
segala bidang dan membantu perekonomian keluarga. Disitu pula ada ladang ibadah
jika ia bekerja dengan ridho suami , gajinya bisa untuk memperbanyak sedekah,
membantu keluarga dan bukan hanya sekedar ajang eksistensi diri.
Kalau saja, mereka saling menghargai pilihan pihak lain,
saling berempati kepada yang lain, pasti tidak ada pelecehan dan sikap
merendahkan sesama wanita.
Kesetaraan?? kata apa itu?
up... mantap kaka awaw, terus nulis yaaaa.....di tunggu tulisan selanjutnya.
ReplyDeleteSiapa iniii, siapaaa. Kok ga nulis nama. Siapapun anda, tp dari baunya ini pasti si uwi :)
ReplyDeleteternyata emansipasi perlu dibarengi rasa empati
ReplyDeletepacoy070981
Iya pacoy, banyak perempuan ngomongin kesetaraan gender. Lah kalo sesama wanita aja saling merendahkan, mk jgn dulu membahas ke lain jenis
ReplyDelete