Showing posts with label Marriage. Show all posts
Showing posts with label Marriage. Show all posts

Foto Mesra dan Urusan Kebahagiaan

Monday, August 26, 2019

Belakangan sering banget wara wiri artikel dan status orang tentang foto mesra atau foto berdua di sosmed.

“ Pasangan yang sering umbar kemesraan di sosmed adalah pasangan yang sebenernya tidak bahagia, karena pasangan yang bener bahagia tidak butuh pengakuan orang lain ”

Apalagi sejak Gading- Gisel cerai, makin banyak aja yang komen “ Tuh kaaaan makanyaaaaaa aku tu ga syuka pajang-pajang foto sama suami”

Tambah lagi quote “ Feed instagram indah tak menjamin hidup yg bahagia”

Padahal feed instagram jelek ya belum tentu juga bahagia.

Ga pernah posting foto pasangan, dituduh lagi punya masalah, dituduh malu sama pasangan makanya diumpetin, dituduh pulak nyembunyiin status.

Kurang kerjaan aja ya netijen ini menilai hidup orang dari sosmednya.

Tambah lagia himbauan dan wanti-wanti serem dari netijen.  Ada yang bilang ntar malah membuka peluang ke orang di luar sana buat ganggu pasangan kita , ada juga yang bilang pamali. Ntar kalo ada apa-apa kan malu, udah pajang foto mesra-mesaraan tau-tau pasangan kita ga sebaik yang kita ceritakan.

Hmmm kalau yang pertama, no commentlah, berdoa aja supaya pasangan kita bukan yang mudah tergoda (kitanya juga ya Allah, tolonglaaaaah. Emangnya suami doang yang bisa tergoda). Kalau yang kedua ini nih penyakitnya sosmed.

Karena banyak netijen julid yang siap melontarkan caci maki dan kata-kata, " Kan...kan... gw bilang juga apa",kadang jadi bikin orang takut mau posting apapun. Kayak mau posting foto sama pasangan, takut ntar suatu saat pasangan berulah kita bakal malu. Ya sebenernya ga gitu jugalah. Kita manalah tau masa depan kayak mana.

Kalau selalu mengkhawatirkan hal-hal buruk di depan, ntar malah kejadian beneran lo. Menurutku sih, yang ada sekarang ya nikmatilah. Kebahagian saat ini ya nikmati saat ini. Kalau sekarang bahagia ya ga papa banget mengcapture kebahagiaan kita sepanjang masih wajarlah ya (wajar mnrt gw tentunya 😜). Masalah ntar ada apa-apa, ya itu ntar, samsek tidak menggambarkan yang terjadi saat ini.

Manusia berubah, kita berubah, suatu saat jika pasangan kita berubah toh tidak menghapus kenyataan bahwa ya kita pernah bahagia. Ngapain malu. Kalau khawatir terus ntar rugi dua kali. Rugi di masa sekarang karena keseringan khawatirnya, plus rugi di masa datang kalo beneran kejadian.

Berdoa saja yang baik-baik, usahakan yang baik-baik, mudah-mudahan hasilnya baik-baik. Ga usah julid liat foto pasangan di sosmed, ga usah iri juga. Kita ngga pernah tau gimana cerita di tiap foto.

Jadi kalau lihat teman pajang foto mesra, ikut bahagia saja, ngga usah membatin dalam hati " Halah sok mesra, paling juga lagi menutupi sesuatu".

Hey kurang piknik atau gimana hahahahaha.

Kamu punya foto sama pasangan?
Ser aja ser kalo pengen.

Jangan Lupa Juga Jadi Suami

Thursday, January 24, 2019



Tentang jangan lupa menjadi suami ini sebenernya karena aku ngeliat seringnya istri-istri gitu lho yg diingetin “ Jangan lupa jadi istri”, jangan lupa merawat diri, jangan lupa melayani suami.

Sekali-kali kita ingetin juga nih para pria. Ayo bapak-bapak jangan lupa jadi suami. Karena istrimu itu juga butuh dijadikan kekasih bukan hanya sebagai ibu dari anak-anakmu,gitu kan yah?

Kalo reminder ke istri itu kan biasanya seputar “ Menjaga penampilan”, Menjaga performa wik wik”, Tetap manja-manja. Melayani makan suami, pakaian. Apalagi ya.

Nah kalo untuk ke suami gimana?

Sontoh :

Kalian pulang dari bepergian, naik mobil, bisa berdua bisa bersama anak-anak. Nyampe komplek rumah, kan harus berhenti dulu nih di depan rumah, krn mau buka pagar ya kan? (kalo rumahnya berpagar).

Pertanyaan : Siapakah yg membuka pagar?

Kalau masih istri, ya berarti kalian lagi lupa menjadi suami, hahahaha.

Kesannya sepele ya, tapi bagi aku (AKU YA AKU BUKAN KALIAN), suami mau repot turun dari mobil, kemudian membukakan pagar padahal ya dia tinggal bilang “ Bukalah pagarnya kan aku lagi nyetir” itu romantic dan bikin berasa jadi Princess, wahahaha.

Plisss plisss bukain pagernya, aku tak mampu membuka pagar.

Jadi coba lakukan itu. Mungkin istrinya kayak aku, yg sepele gitu aja hepi.

Apalagi?

Misal, istri kalian lagi terlihat bersedih, apakah kalian bertanya ke dia kenapa?

“ Kok manyun terus sih drtd, kenapa?”

Atau

 “ Muka kok jelek banget gitu sama suami, dasar istri ga bersyukur”

Kalian yang mana?

Kalo dia mulai cerita atau mengeluh atu curhat

“ Aku kok minder ya sama temen-temenku, kayaknya aku ga punya pencapaian apa-apa”

Jawaban kalian seperti apa?

“ Ya udahlah gitu aja dipikirin. Yang penting kan anak-anak terurus. Emang km mau kerja di luar tp anak terlantar?”

Atau

“ Ga punya pencapaian gimana?. Kamu keren lho, belum tentu temen-temenmu bisa kayak kamu. Beneran kamu itu keren. Udah jangan sedih”

Hayo, kamu suami yg gimana.

“ Aku gemukan ya mas. Lihat nih aku pake celana udah kayak lontong pahanya, mana perutnya gendut banget lagi, meleber kemana-mana gini”

Kamu nanggepinnya gimana?

“ Ya namanya udah ibu-ibu, emang mau gimana? Mau kayak anak gadis? Ya usahalah”

Atau 

“ Iya sih kayaknya agak gemukan, tapi tetep cantik kok”

Jangan lupa jadi suami itu ya meliputi hal-hal di atas itu. 

Kalau suami senengnya diperhatikan, dilayanin, dimanja, ya istri juga seperti itu. Saat wanita dituntut untuk jangan lupa menjadi istri, para pria harusnya juga punya tuntutan yang sama, jangan lupa menjadi suami. Jangan lupa melihat istri dari kaca mata kekasih, bukan sebagai ibu dari anak-anak.

Saat jadi kekasih, apa coba yang dimauin? Samalah, dimesra-mesrain, dimanja, dipuji, dibikin seperti seorang putri.

Tapi kan suami udah capek kerja?

Ya samalah, istri juga capek.

Yaa harus istrilah yang memulai, kalau istri melayani suami dengan baik, maka suami pasti akan baik juga. Pokoke semua tergantung istri, kalo istri jadi istri yang baik, maka suami juga akan menjadi suami yang baik.

Ya belum tentulah Farel.

Kenapa ga dibalik aja?

Kalo istri bahagia, maka sekeluarga akan bahagia?

Bukankah begitu? Bukankah sering dengar yang seperti itu?

Siapa yang bertugas membahagiakan istri?

Ya pertama diri masing-masing. Masing-masing bertanggung jawab terhadap kebahagiaan masing-masing. Tapi masing-masing bertanggung jawab juga terhadap ketidakbahagiaan pihak lain karena ketidakseimbangan fungsi. Halah ribet

Makanya jangan lupa menjadi suami. Karena saat kamu lupa menjadi suami, istri ya lupa juga menjadi istri, lalu kalian saling lupa wahahahaha.

Makin ga jelas. 

Pointnya sih menurutku, ya usahalah sama-sama. Bukan istri saja yang dituntut untuk selalu mengingat perannya. Ya sebagai istri, ya sebagai ibu, ya sebagai teman.

Suami juga demikian. Suami yang suka becanda sama istri, suka genit-genitin istri, manja-manjain istri, ngelus-ngelus kepala istri, ga lupa melebihkan uang belanja untuk kebutuhan istri, nah itu suami yang inget jadi suami.

Karena banyak banget juga suami-suami yang setelah punya anak, awarenya ya sama anak. Karena melihat tubuh istri sudah tidak oke oce, tida mempesona lagi, jadi jarang belai-belai istri.

Mau istrinya jadi Farah Quinn di dapur, inem saat beresin rumah, dan Maria Ozawa pas di kasur, ya si suami mau ngga jadi Mc Giver saat ada yg rusak di rumah, jadi Ardie Bakrie, saat istri butuh perawatan, jadi Ariel Peter Pan saat wik wik, dan jadi Iko Uwais, saat istri dibully masal. Hayooo bisa ngga. Hahahaha

Jadi kebahagiaan suami istri tergantung siapa sodara-sodara?

Ya tergantung si suami dan istri. Kan nikahnya berdua, tanggung jawabnya juga berdua dong yah.

Jadi siapa motor penggerak kebahagiaan rumah tangga?

Ya dua-dua.

Jadi siapa yang harus duluan menjadi suami atau istri yang baik?

Ya dua-dua.

Jadi gimana?


Masihkah Kau Mencintaiku

Saturday, May 5, 2018

Catatan pernikahan yang telat . Selalu ya jeung. Judul terinspirasi dari artikel mba Jihan, blogger idolaqu :)



Tanggal 20 kemarin, tepat 10 tahun lho aku udah berumah tangga. Wow wow sungguh angka yang bikin langsung merasa tua hahahah, dan kayak yang " Haaaah udah 10 tahun, kok cepet banget perasaan baru kemarin fitting baju pengantin", xixixixi.

Jam 12 teng tanggal 20 masteg kissing-kissing aku yang udah tidur.

" Happy anniversary ya bunda"

Astagaaa aku malah lupa, hahaha padahal udah nginget-nginget dari sebulan yang lalu, tapi pas hari H nya malah lupa. Pantesan masteg ngga bobo-bobo dari tadi, aku ajakin tidur bilangnya ntar-ntar, ternyata dia nunggu jam 12. Ini nih yang kadang bikin terharu, ngga ulang tahun aku, ngga anniversary, mas Teguh tuh selalu usaha buat ngucapin di detik pertama. Padahal aku, ya ampun always lupa. Excited pas menjelang harinya, pas harinya lupa.

Trus ga tau gimana, tiba-tiba aku nangis, huhuhu

" Maafin aku ya mas" sambil peluk-peluk dia.
" Maaf kenapa?"
"Ngga papa, maaf aja pokoknya"


Karena ya, in deep deep inside my heart aku tuh merasa sampah banget sebagai istri belakangan ini.

Sering kan denger bahwa usia pernikahan ke 10 itu termasuk tahun rawan dalam pernikahan.

Bukan..., bukan rawan karena konflik tapi justru rawan karena kenyamanan yang lama-kelamaan menyebabkan keintiman dan romantisme perlahan pudar.

Dan aku pikir bener banget. Ngga tau gimana dengan pasangan lain, tapi aku ngerasain banget dimana tahun ini tuh kayak semuanya terasa biasa bagiku. Semua-semua kayak jadi sesuatu yang ada karena biasa.

Mas Teguh ada di sampingku ya karena dia memang seharusnya ada. Rasanya semua-mua di keluarga berjalan auto pilot. Bangun pagi, sama-sama bersiap kerja, pergi masing-masing, sibuk di kantor, balik masing-masing, main sama anak, ngobrol sambil makan, tidur, untuk kemudian diulang lagi keesokannya.

Rutinitas weekend pun kayak ya berjalan dengan sendirinya. Pokoke weekend is family time, pergi ke luar sama anak-anak, entah berenang, entah main ke play ground atau staycation di hotel. Bener-bener ya berjalan karena seharusnya begitu.

Enak ngga?

Ya enak.

Hubungan romantisme dengan mas Teg juga udah beralih dari sepasang kekasih berubah menjadi kayak sama sahabat sendiri. Dimana mau ngambek ya ngambek aja bodo amat. Sekaligus kalau mau nunjukin rasa sayang ya tunjukin aja saat itu ngga perlu nunggu harus ada momentnya. Sehingga semua-semua ya terasa so so. Merasa udah dimengerti banget sama pasangan, sampai ngga perlu effort apapun terhadap hubungan ini.

Aku ngeluh pusing, udah otomatis masteg bakal beliin aku kopi. Atau saat aku lihat masteg nonton bola malam, ya udah reflek aja nawarin bikinin indomie.

Saat aku diem keliatan lagi ada pikiran, masteg udah anteng aja, nawarin mau diantar ke Starbuck ngga?, atau nyuruh " Adek ngga nonton atau nyalon?, udah sana pergi, mas jagain anak-anak"

Hal yang sama saat aku liat masteg pulang malam terus, dan saat tau teman-teman seangkatannya yang dari kebun lagi di Medan, langsung nawarin "Mas ngga ngopi sama temen-temennya?" , atau ngga " Mas ngga makan duren tuh sama temennya, kayaknya pada di Medan"

" Boleh mas pergi sendiri"
" Ya bolehlah, tapi pulangnya nitip kopi ya"

Sampe udah sepaham begitu sama kesukaan dan kebiasaan masing-masing.

Berantem juga udah jaraaaang banget. Kalau lagi kesal karena sesuatu aku udah milih diam. Karena ya gimana, aku berisik juga , masteg pasti ngga bakal balas omelanku. Karena kata dia percuma, orang lagi marah kalau diikutin bakal berantem, jadi mending dia diem sampe aku reda sendiri. Padahal, prakteknya mah aku bukannya makin kalem malah biasanya makin ngamuk kalau ngga ditanggepin, yang ujung-ujungnya bakal nangis sendiri, merasa ga dipahami, merasa kok perasaanku diabaikan huhuhu.



( Baca : Bertengkar Dengan Suami )

Tapi sekarang, malah aku yang diem, karena ya seiring waktu aku nyadar, typical suamiku memang bukan type senggol bacok, bukan type reaktif kayak dirikuh. Dan karena menurutku lebih positif apa yang dilakukannya dibanding apa yang kulakukan, ya udahlah aku yang kompromi.

Ngeliat dia ngga juga meletakkan piring kotor di wastafel sehabis makan, ya sudahlah, ngga perlu ribut, langsung beresin aja. Padahal apa susahnya sih ngeletakin piring bekas makan di wastafel?. Kalau dulu mungkin aku bakal ngomel, sekarang ya Tuhaaaan aku terlalu lelah untuk ngomel urusan remeh macam begini.

Nyaman ngga?

Ya nyaman banget. Saat kita tuh udah diterima apa adanya oleh pasangan hidup kita. Masa-masa sok jaim, sok kuat, sok sabar udah lewat banget.

Sejalan dengan itu, perlahan percik-percik cinta yang dulu blar-blar gitu kayak kembang api, berganti bentuk menjadi pemakluman dan kompromi.

Mungkin memang seperti itu ya pernikahan yang normal pada umumnya. Makin lama makin seperti ada di lautan tenang. Tenang-tenang sampe kadang ga sadar air udah seleher dan hampir kelelep, hahaha. Kelamaan tenang, mulai deh rindu sama debur-debur ombak, kangen disapu-sapu angin laut, mulai terbiasa sama matahari pantai sampe ngga inget ngolesin Sun Block buat langkah protective terhadap sinar ultraviolet, hampir kebakar deh kulit. (( ANALOGI MACAM APA INI ??)).

Oke, aku mulai terdengar kayak Vicky ya hahahaha.

Padahal cuma mau bilang, kalau usia pernikahan yang sampe tahap tenang-tenang gini, kadang membuat kita ((KITA??)), mulai abai sama hubungan dengan pasangan, karena terlalu sibuk dengan urusan keluarga ngga sih?. Keluarga di sini maksudnya ya anak, ya keluarga besar, lingkungan, malah kadang lupa menempatkan posisi suami atau istri sebagai individu yang dulu bisa kita buat senyum-senyum hanya dengan sapaan " Hai" di sms.

Dulu yang tiap jam kantor masih sempet kirim chat-chat mesra bilang kangen, sekarang cuma sekedar " Transfer ya" atau ngga " Pulang jam berapa?"

Simpel, karena ya kita merasa, lha buat apa?, segini aja dia ngga pernah komplen kok.

Padahal, seperti kata para pakar pernikahan (bukan kata saya lho), justru kondisi kayak gini yang bikin rawan pernikahan, karena saat ada aja orang yang ngasih perhatian lebih di luar, boom, kepeleset deh.

Wow, sungguh usia pernikahan makin matang makin membuat segala sesuatu berjalan flat ya.

Makanya aku bilang tadi, kayak laut, yang makin tenang makin menghanyutkan. Aku malah merasa kayak ada alarm gitu yang mengingatkan. Karena aku sadar banget sama diri sendiri, aku bukan type orang yang suka hidup dalam kenyamanan. Maksudnya nyaman dalam arti tenang tanpa apa-apa. Aku pernah gitu soalnya, merasa nyamaaaan banget sama hidupku, sama keadaan sampe ngga punya keinginan apa-apa lagi. Sampe titik, bodo amat sama orang di luar diriku, bodo amat sama lingkungan sepanjang aku bahagia, apatis bangetlah. Dan itu ngga bagus buatku.

Untungnya yah, sebulan menjelang anniversary aku dapat tugas pendidikan dari kantor. Duh aku bersyukur banget. Karena moment sebulan jauhan itu bener-bener kayak ngasih waktu yang banyaaaak banget buat aku berfikir. Ngasi waktu buat aku ngerasain moment-moment kangen dan pengen ketemu tapi ngga bisa. Sebel saat aku mau cerita sesuatu dan mas Teguh ya dhalah  lagi meeting, jadi malamnya aku punya alasan buat ngambek dan marah untuk kemudian dibujuk-bujuk biar ketawa lagi. Ya Tuhaaaan, makanya aku ngerasain banget, sesampah itu.

( Baca : Sebulan di Jakarta)

Sesampah saat rasanya kok ngopi sendiri lebih menyenangkan dibanding berdua. Saat merasa biarin deh dia pulang malam aku malah bisa tidur dulu lebih lama, atau ngga ya lumayan bisa namatin novel yang baru kubeli. Itu sinyal banget, bahwa aku ngapung di pelampungnya udah mulai kejauhan ke tengah laut. Buru-buru berenang balik ke pantai, dan melihat laut dari posisi berdiri di tepinya.

Long story short, aku sering banget dengar bahwa yang namanya Cinta itu adalah kata kerja. Karena kata kerja artinya bukan bersifat pasif. Iya harus diusahakan. Duh aku ngga pernah lebih setuju dibanding saat inilah dengan pernyataan itu. Setuju pake banget karena aku merasakannya.

Bener banget bahwa yang namanya cinta itu bukan kata sifat yang bisa menghilang, dan bukan pula perasaan yang bisa dibiarin gitu aja trus kita berharap dia bakal seindah seperti pertama kali ketemu dulu. Even bagi pasangan yang udah bertahun-tahun menikah. Bukannya malah khatam dengan soal percintaan ini tapi malah harus tetap mengusahakan terus menerus dan aware dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada pasangan.

Hal yang mustahillah ya kalau berharap hati masih jedag jedug saat dipegang tangan kita, ya kaleee saat ini, kadang memang malah rempong kalau mau gandengan tangan di mall misalnya, karena anaknya yang satu minta gendong yang satu minta gandeng. Ini aku ya, kalian bisa jadi ngga.

( Baca : Jatuh Cinta )

Makanya ga ada salahnya banget ambil waktu berduaan tanpa disibukkan dengan meladeni ocehan para bocah kesayangan.

Kemarin, after segala urusan pendidikanku dan masteg beres, aku ngobrol panjang banget sama masteg. Saat anak-anak udah tidur, keluar berdua naik mobil. Di mobil cerita banyak banget hahahaha. Dan hey, sepertinya mas Teguh ternyata ngerasain hal yang sama kayak aku, karena dia ngga menyangkal apapun yang aku bilang. Kita sampe pada kesimpulan, ayo kita usahain lagi menghadirkan percik-percik api yang mungkin sekarang kurang panas, ahsek

" Aku masih seneng lho mas di WA siang-siang sambil dibilang kangen "
" Ya tapi kan mas kerja dan sibuklah kalo siang"
" Ya nanya kek, aku makan di mana, sama siapa?"
" Ya ngapain mas tanya. Mas udah tau, ade makan pasti sama temen-temennya, mas makan di kantor"
" Ya apa kek"



Besoknya, jam makan siang masteg WA " Bunda udah makan belum?, makan di mana?"

Kemudian aku ngakak sendiri, karena ternyata lucu ya hahahaha. Lucu karena saat itu aku makan di ruanganku, menunya juga dari kantin kantor, jadi berasa aneh ditanya makan di mana. Dan yaaaa ngga bisa bohong ternyata aku lebih seneng dapet WA pemberitahuan transfer masuk dibanding ditanya makan.#dasarmatrekau

Kangen rasa kesetrum saat kissing-kissing sama suamik. Ya iyalah ya udah 10 tahun juga, menurut ngana?.

Kangen rasanya excited mau ketemuan.

Dulu kan sempet LDR-an yah Medan-Jakarta, jadi setiap mau ketemu itu rasanya udah panas dingin duluan di pesawat. Gitu ketemu, udah gedubrakan aja di mobil, hahahaha.

Ya kan kata orang s3x life after marriage itu ya kayak gitu ya. Lama-lama adem ayem kalau ngga usaha buat bikin tetep panas. Ngga hanya soal s3x sih, soal hubungan sehari-hari juga gitu. Rasanya dulu kalo ngobrol seru-seru aja, sekarang eh kok lebih seru ngobrol sama temen kantor ya. Kok lebih banyak nih yang dibahas di kantor, kok kerja jadi sangat menyenangkan yah.

Alarm banget itu, bahwa ada yang harus dipanaskan kembali. Terkadang kita merasa baik-baik saja, ternyata sebenernya ada yang ngga baik-baik saja. #ulangulangteruskatakatanyabiarpusing.

Makanya, anniversary-an kemarin jadi moment tepat untuk merecharge kembali hubungan sama suami yang mulai autopilot.

Gimana caranya?

Malamnya, saat udah tenang-tenang, sambil nidurin anak, aku scroll-scroll onlenshop lingerie dan nunjukin ke doi. "Mas kalo aku beli yang begini suka ngga?"

Dan dia blushing-blushing malu, aw. Hahahahaha ternyata ya ngusahain sexlife balik kayak jaman honeymoon ngga susah juga kalau kita mau usaha. Usaha buat ngga malu sama pasangan, usaha buat terbuka dan usaha buat ngga terlalu mikirin perubahan bentuk badan after melahirkan.

Hayooo, siapa di sini yang sekarang suka insecure sama body sendiri trus jadi males kalau diajak suami ena-ena?.

Tips dari aku, pake lingerie, udahlah pasti ngeboost pede, hahahaha. Pilih yang bodystocking atau kalo ngga pede ya pilih yang biasa aja asal kita nyaman.

Dulu tuh aku sama masteg suka banget check-in berdua di hotel, even rumah kami di Medan. Karena ngga tau kenapa, rasanya bobo di hotel itu lebih membangkitkan sesuatu dibanding di rumah, ya ngga sih? hahaha. Tapi itu saat belum punya anak.

Udah punya anak, masih sering, tapi kan bareng anak, bareng mba-nya, jadi ya salamlah ya. Staycation mah ya kayak pindah rumah doang ke hotel.

Makanya kemarin  pas anniversary udah niat banget check-in hotel tapi berdua doang, anak-anak tinggallah di rumah sama mba.

Seharian kencan berduaan doang, jadi berasa rileks. Ngga mikirin nidurin anak, ngga mikirin bikin susu, ngga mikirin kalau lagi gitu2 kedengeraan mba di sebelah kamar, jadi bikin santai banget. Ngobrol dari A sampe Z (iyes lah aku kan orangnya suka banget ngobrol. Ngobrol adalah nama tengahku). Cuma kali ini ngga ngomongin soal masa depan lalalalala, tapi malah banyakan ngobrolin masa lalu.

" Mas inget ngga dulu pas nelfon ke hape aku trus ngga aku angkat. Mas langsung nelfon kantor dan ngerecokin temen-temen kantorku, inget ngga?"

" Yaaa abisnya kenapa ngga diangkat coba, kirain kan lagi ngambek atau lagi kenapa?"

" Ish, kenapa sekarang malah jarang banget nelfon, apa ngga khawatir lagi aku kenapa-kenapa?"


" Gimana mau khawatir, istri mas strong banget gini"

Mungkin dulu takut ga dianggap soulmate, hahaha


#kemudianpukupukulmanja, wahahahaha. dst dst

Udah ah, lama-lama jadi novel Freddy S ini.

A post shared by Windi Teguh (@winditeguh) on
The bottom line is, usia pernikahan yang makin matang sebenernya ngga menjamin ya bahwa sebuah pernikahan jadi aman dari segala prahara. Sampai saat ini, hubungan aku sama masteg sih fain banget. Ngga adalah problema berarti yang bikin huru hara, dan semoga ngga akan ada, aamiin. Namun, ya gitu, semakin lama menikah, terkadang muncul kekhawatiran-kekhawatiran di diri sendiri.

Pertanyaan-pertanyaan senada di bawah ini mulai sering terdengar,

" Masih cinta ngga sih sama aku?"
" Masih sayang ngga sih mas?"
" Aku masih cantik ngga?"








Berdasar survey dan ngobrol sama temen dengan usia pernikahan sama, ternyata yang begitu wajar kok. Wajar banget kita bertanya seperti itu. Bukan berarti ngga pecaya sama pasangan, tapi semata sebenernya pengen aja ditegaskan kembali sama doi, kalau cintanya ke kita ngga pudar dimakan waktu, halah dasar wanita.

So buat suami-suami, ayo dong sering-sering kasih pujian ke istrinya, bilang sayang, bilang dia masih cantik dan semenarik dulu.

Buat istri-istri, say it. Sampaikan kalau kita pengen dimanja, pengen dipuji, pengen tetep diperlakukan kayak anak gadis tempoe doeloe. Karena sungguhlah ya, para pria ini kadang mending disuruh nguras bak mandi plus benerin genteng dibanding bilang cinta. Ga papa, sampein aja. Kalau memang dia type yang susah ngungkapin perasaan, yakin aja dia bakal mengkonversinya dalam bentuk lain, ciaaa ciaa ciaaa. hahahaha.

Karena pernikahan dan cinta itu ngga bisa dibiarkan mengalir apa adanya. Harus diusahakan dan harus diperjuangkan. Kayak kata Tulus

" Jangan cintaiku apa adanya, jangaaaaaaan"
Tuntutlah sesuatu biar kita jalan ke depaaaan" 



Untuk suami tercintah, happy anniversary.

" Genggam tanganku saat tubuhku terasa linu 
Kupeluk erat tubuhmu saat dingin menyerangmu
Kita lawan bersama, dingin dan panas dunia 
Saat kaki t’lah lemah kita saling menopang 
Hingga nanti di suatu pagi salah satu dari kita mati
 Sampai jumpa di kehidupan yang lain"













Ujian Pernikahan Bernama Kesibukan

Tuesday, April 3, 2018
 Review Film 7/24



Kata Mas Teguh, parameter dia sehat adalah bisa merokok lagi. Kalau aku parameter aku sehat adalah bisa ngopi lagi, hahahaha.

Anyway apa kabar kalian semua, kemarin aku sempet janji mau cerita kenapa bisa dirawat di rumah sakit bareng masteg, tapi ya ketunda-tunda terus nulisnya karena banyak hal yang lebih urgent harus dilakukan, halah.

Jadi ceritanya tuh Selasa sore sebulanan lalu sekitar tanggal 8 Maret-an kalo ga salah, Masteg nelfon, aku masih di kantor, bilangin minta aku pulang agak cepet karena doi merasa ngga enak badan dan minta dianterin ke rumah sakit. Ya sudlah, jarang-jarang yah suami ane punya permintaan, langsunglah tutup laptop, beberes tas dan cus balik ke rumah. Sampe rumah, makan, sholat maghrib, langsung berangkat dong yah ke RS karena masteg ternyata udah demam tinggi banget, badannya panas dan kata blio dadanya  yang agak sesak gitu.

Sampe di RS, langsung ke IGD, periksa ina inu, suruh baringan. Sambil nemenin masteg, aku berdiri-berdiri di samping bednya. Tiba-tiba ealah, kok pandanganku hitam, lemes banget langsung jatuh terkulai. Apa sih ya namanya, hhahaha. buru-burulah disuruh baringan sama mba perawat, samping-sampingan sama bed masteg. Cek tensi, ambil darah, ditanya-tanya kenapa, sampe muncul pertanyaan.

" Ada mual ibu"
" Kapan haid terakhir"

" WHAT"

Langsung waspada. " Hah, apa saya hamil suster" #panikmodeon. Liat-liatan sama masteg. Trus ketawa kecut, " Buset dah kalo sampe hamil sekarang".

Bukan apa-apa , bukan ngga pengen hamil, tapi kalau iya, ya bener-bener di luar planning aja sih #trusmerenung.

Singkat cerita, karena tensiku juga agak rendah, jadi disuruh istirahat dulu sama dokter, dianjurin bed rest karena mungkin aku kecapekan dan bisa jadi typus. Sementara masteg, diagnosa sementara ada infeksi di paru-paru, langsung disuruh rontgen.

Ya sudahlah karena sama-sama harus dirawat, kami dimasukin ke satu kamar barengan, wahahahha. Agak-agak lucu gimanaaaa gitu. Gitu tau aku opname, reaksi masteg pertama kali apa coba " Waduh dek, kalo adek sekamar sama mas, ntar banyak yang jenguk gimana, ngga bisa istirahat dong kita" wahahaha. Iya juga yah. Maka brb hubungi SDM kasih pesen jangan bilang siapa-siapa saya opname. Di samping memang pengen istirahat ya karena akoh maluuuuuuuuu, masa mamak-mamak setrong tepar sih. :(



Waktu aku insta story di IG setelah sembuh, banyak yang DM bilang kok kayak filmnya Disas dan Lukman Sardi yang 7/24, brb nonton di Hooq, penasaran jadinya deh sama ceritanya.

Dan setelah nonton filnya, wow speechless sendiri, karena filmnya ya so kami banget #mulaingaku-ngaku lagi. Bener-bener kebiasaan ya bu, tiap film berasa jadi pemerannya, hahaha.

Soalnya ceritanya tuh emang mirip banget, mulai dari profesi Tania( Dian Sastro) yang sebagai banker sampai adegan-adegan dan percakapan yang terjadi. Seolah-olah kayak nyeritain kisah kami, #blushing. Maka ijinkanlah daku mereview tepatnya menceritakan sih ya film yang walaupun udah basi tapi masih oke buat ditonton, Dan plis jangan jijay kalau aku berasa jadi Tania #TeteupDianSastroWanabe

Jadi, diceritakan di film, kalo Tyo (Lukman Sardi, sutradara film, suami Tania) tiba-tiba ngga sadarkan diri di lokasi syuting dan dibawa ke RS. Hasil pemeriksaan, doi kena Hepatitis A. Oleh dokter ditanyalah ke Tania, apa yang dilakukan si Tyo selama 24 jam terakhir.

Standar kehidupan ortu milenial jaman sekarang, dua-dua pekerja, dengan satu anak perempuan dan ada oma yang tinggal di rumah membantu jaga si anak. Sangkin padatnya kesibukan mereka, sampe kadang Tyo si sutradara ga pulang dan bobo di lokasi syuting, jadi semua komunikasi mereka via hape. Sampe akhirnya saat Tania lagi meeting with her boss yang super charming, wangi dan ganteng (Ary Wibowo) *gwpastibetahbangetkalopunyaboskayakgitudikantor wahahahah dikabarkan si suamik pingsan di lokasi syuting dan diopname di RS.


Gegara si Tyo opname, maka Tania ya harus bolak-balik rumah-kantor-RS setiap hari. Padahal saat itu dia sedang ngerjain permohonan kredit nasabah korporasi sebesar 2 Trilyun cyin. Kebayang gimana excited dan hecticnya. Dan di situ diceritain si Tania yang wanita karir oriented gitu, jadi patang rasanya mengecewakan atasan. Makanya walau ditawarin si boss super charming buat urus suami aja, ngga usah pikirin kerjaan, doi yang " No, i can handle it". Oh mirip siapa yaaaaa (1) hahahaha.

Singkat cerita, doi jadi rutinitasnya, kantor-pulang rumah-dongengin anak-anak bobo-pergi ke RS- nemenin suami-pagi ngantor again. Begitu terus, sampe akhirnya Tania tepar dan masuk RS juga karena typus.

Oh wow, mirip siapa (2)

Nah cerita selanjutnya ya diisi dengan adegan bersama di RS. Mereka diletakin di satu kamar karena dokter yang menangani juga sama. Dan sebelum kepikiran macem-macem, sama si dokter langsung diperingatkan " Kalian harus istrahat, bersikap sopan, jangan macam-macam", Hahahahah kok dokter tau sih yaaaa, di RS berdua sekamar dengan suami itu kan memang ehm banget, *kemudianberfantasinackal, pret.



Selama di RS, sebagai istri , maka Tania memperingatkan keras Tyo untuk ISTIRAHAT TOTAL, ngga boleh kerja samsek. Sama si TYO juga gitu melarang Tania mikirin kerjaan, harus istirahat. Tapi ya dasar workaholic, diem-diem mereka nyuruh bawahannya datang dengan alasan jenguk, padahal kerja, wahahahaha.

Malah bos Tania,yang super wangi dan sepertinya naksir doi, khusus datang membawa bunga sambil meminta Tania untuk tele conference pada saat briefing dengan calon klien 2 T mereka.  Tania excited banget dong yah, secara kalau ini goal dia bakal diangkat jadi Senior Manager CRM. Wow sungguh menggiurkan.

Tyo yang lagi ngeselin malah ngata-ngatain bosnya si Tania, bilang ngga respek karena dia minta Tania kerja saat sakit tapi ngga minta ijin sama dia sebagai suami.

" Bos lu tuh ya, harusnya ijin ke gw dulu. Di sini kamu itu istri aku, bukan bawahan dia"

Anjir nih Tyo, pengen gw ulek pake talenan. Adegan di sini agak lebay sih ya menurut saya. Karena melihat maturenya hubungan Tyo-Taia seharusnya ga ada cerita cemburu buta ngga penting gini sama bos istri.

Akhirnya berantem deh. Nah isi dialognya itu yah persis banget sama omelan saya ke masteg.

Jadi si Tania marah sama Tyo. " Kamu tau mas, aku tuh udah nyiapin segala proyekku ini dari kapan tau. Udah prepare segalanya buat presentasi tapi tiba-tiba kamu sakit, aku jadi harus urus semuanya. Ya antar anak, ngantor, jaga kamu, makanya akhirnya aku typus. So jangan larang aku buat tele conference dengan calon klienku. I want to be a senior Manager".

Hahaha, pas nonton adegan ini aku langsung nunjukin ke masteg. " Nih mas kok persis banget ya sama kamu"

Jadi yah, tahun lalu tuh sekitaran April, persis banget kayak kejadian saat ini, persis kayak kejadian Tyo-Tania. Saya tuh dipanggil pendidikan enhancement Manager ke Jakarta. Udah beli tiket, udah mau berangkat banget. Pesawat jam 3 sore, eh jam 7 pagi masteg demam tinggi, sakit, dan minta dianter ke RS.  Nyampe di RS, opname dong yah, cakeeeep banget dah.

Akhirnya aku batal berangkat pendidikan. Masteg sih ngga minta aku tinggal, dia nyuruh aku tetap berangkat, tapi ya mana  tega kan yah ninggalin suami opname sendirian. Jadi brb nelfon ke bagian SDM memberitahukan pembatalan pendidikan.

Rasanya gimana ya? Kesel tapi ngga bisa marah. Kesel tapi ya memang pilihannya harus itu.

Yang bikin aku ngomel banget saat itu, karena sakitnya masteg itu ya sakit yang dibuat sendiri.

Sebelumnya emang dia udah nunjukin gejala mau sakit. Ya gimanaaa kalau tiap malam pulang di atas jam 9 malam, sarapan males, makan siang ngga tepat waktu, rokok kayak lokomotif. Udah sering banget saya ingetin " Mas jangan pulang malam terus, kasih limit dong untuk kerjaanmu. Ngga lucu aja kantor kok tiap hari pulang malam", makanya kesel banget saat dia sakit.

Lebih kesel lagi saat sakitnya tepatan pula sama hal penting di kantor kita. Beberapa kali masteg sakit , paaas banget saat yang direksi datanglah, pas yang ART kebetulan baru resignlah, pas saya ada meetinglah, atau malah pas akhir bulan. Kan kayak di luar kuasa gitu. Jadi kejadiannya pasti saya yang ujung-ujungnya bakal tepar dan kemudian ikutan sakit.

Persis kayak Tania, saya juga sempet marah banget ke Mas Teguh.

" Kamu tau mas, kalau kamu sakit, maka aku harus wara-wiri rumah-RS, karena aku wara-wiri maka anak-anak aku tinggalin di rumah, malam aku tidur di RS, anak-anak jadi ngga bobo sama aku, padahal kesempatan aku bonding sama mereka ya pas malam. Kamu sadar ngga, kalau gara-gara kamu ngga mau jaga kesehatanmu itu, seisi rumah kita repot. Kamu ngambil hak anak-anak. Itu coba kamu pikirin. Aku marah gini bukan karena ngga kasian kamu sakit, bukan karena ngga sedih kamu sakit, tapi aku kesel banget, gara-gara kamu sepele sama kesehatanmu, berapa waktu yang terbuang anak kita tinggalin di rumah"

Kemudian nangis sesenggukan. Persis bangetlah sama si Tania di film itu.

Kalau udah gitu, masteg pasti langsung diem, trus ngomong " Ya udah, ade pulang aja deh, sana urus anak-anak, mas bisa kok sendiri di sini, kan ada perawat".

Dan akan disambut dengan omelan lebih dahsyat lagi.

" Emangnya mas pikir aku bisa tenang apa, tidur di rumah trus mas sendiri di sini. Duh mikir dong, udah ngga usah ngomong, minum obat, itu laptop plis tutup, gila apa sakit-sakit masih kerja aja, cepet sembuh biar cepet pulang".
 
Yang kemudian berakhir dengan adegan, rebut paksa laptop dari kasurnya dia.



Makanya nonton film 7/24 ini kayak lagi ngaca sama hubungan saya dan Masteg.

Suami istri sama-sama bekerja dengan jam kerja yang dua-duanya ngehe itu memang sungguh cobaan hidup bagi pasangan-pasangan muda. Karena memang di saat itu ya semua lagi masa-masa puncak.

Karir lagi gemilang-gemilangnya, penghasilan lagi oke, bersamaan dengan anak lagi lucu-lucunya, butuh perhatian ekstra, usia pernikahan juga lagi kritis-kritisnya. Kritis untuk saling merasa boring jika ngga disikapi dengan baik.

Ya kadang , kantor terasa lebih mengasyikkan dibanding rumah. Bukan karena di rumah ada masalah atau karena ngga pengen cepet-cepet ketemu anak, tapi karena lagi tune in banget sama kerjaan. " Ah tanggung ah dikit lagi, sejam lagi deh baru pulang". Gitu terus tiba-tiba udah malam. Ketemu di rumah, salah satu udah tidur, atau belum tidur tapi terlalu malas untuk ngobrol. Bahaya kan kalau salah satu ngga ada yang ngingetin. 

Balik ke film tadi, jadi singkat cerita si Tania akhirnya tele conference dengan calon nasabah. Dia di RS dan si nasabah di kantor banknya mereka. Eh ndilalah, kamera malah nyorot ke bagian belakang Tania, di sana si Tyo suami Tania lagi nungging-nungging karena sakit perut. Yha dhalah si nasabah marah, merasa tele conference itu ga serius, ngga profesional, dan deal-dealan 2 T pun tinggal mimpi.

Apa Tania marah?

Off course lah yaw. Impian jadi senior manager pun musnah. Tapi dia ngga mere-mere ke Tyo, malah merenung di taman rumah sakit dan ujug-ujug ngemasin pakaian, mau pulang ajah. Doi kecewa berat sama kelakuan Tyo, karena ngga nganggap penting pekerjaannya.

Duh nyesek sih ya pas bagian ini. Tau banget rasanya, gimana lagi excited banget sama impian naik jabatan , eh gagal gegara hal konyol yang dilakukan suami pulak, combolah keselnya.

Tapi trus saya jadi sedih sendiri abis nonton filmnya. Karena kondisinya tuh kebalik di keluarga saya. Di luar masalah doi yang suka ngga aware sama kesehatan dirinya, Mas Teguh tuh yang support banget sama kerjaan saya.

Kalau saya pulang malam, dia pasti nawarin jemput, karena tau saya rabun kalau malam nyetir. Kalau malamnya saya kurang tidur pasti besok paginya nawarin nganter ke kantor. Bahkan saat saya pernah ngerasa jahat karena abis marahin anggota yang ngga becus kerja, eh mas Teguh malah  menghibur dengan bilang " Bunda ngga jahat ah, kan namanya atasan, sebagian gajinya memang untuk marah, udah jangan nangis", hahahahaha ngingetnya sambil ngetik ini jadi pengen ketawa.

Dia begitu, tapi akunya yang kadang suka ngomel-ngomel ngga menentu kalau dia pulang malam. Suka berisik kalau Sabtu dia ngantor. Sebenernya marahnya bukan karena ngga suka sama kerjaan dia, tapi karena mikirin kesehatannya itu. Karena setelah aku itung-itung, mas Teg seperti punya loop waktu tepar.

Anyho, ini postingan udah panjang banget, dan aku juga udah ngantuk.

Satu quote penting dari film 7/24   

The foundation of everything is a good family

And a good family itu ngga bisa sim salabim abakadabra tercipta gitu aja. Butuh usaha dari masing-masing pihak. Betapa udah berkeluarga selama bertahun-tahun, kelihatan harmonis, ternyata diuji 7 hari 24 jam stuck dalam satu ruangan, malah berantemnya bisa sampe yang saling menuding telunjuk. Saling ngeluarin ketidakpuasan terhadap pasangan. Lyfe.

Dan bagi suami istri yang sama-sama kerja nih, aku mau bilang, bahwa support pasangan itu memang kadang ngga berbentuk tersurat kayak yang nelfon tiap hari pas kita kerja, atau bantuin nyelesaian kerjaan kita. Tapi turut menjaga kesehatan diri sendiri itu juga bentuk support bangetlah untuk pasangan. Sehingga ngga ada cerita, yang lain "Terpaksa" ikutan tepar gegara salah satu sakit.

Ingat-ingatlah, walau segimana pun tubuh ya punya hak untuk istirahat, karena saat kita udah menikah apalagi sudah punya anak, kesehatan kita tuh udah bukan soal kepentingan diri sendiri. Sehat atau sakitnya kita bakal berpengaruh ke seluruh keluarga, bakal ngaruh ke ritme keseharian di rumah.

Perhatikan alarm tubuh. Saat udah kedap-kedip segera recharge jangan gas teroooos.

Oya satu lagi, pesan moral film ini, bahwa yang namanya wanita, sekelas Dian Sastro pun bakal nancep hatinya sama pria yang membiarkan ia menjadi dirinya sendiri even udah menjadi istri si Tyo atau ibu si Nadia.

Trylah try kalau ngga percaya.









Tentang Perceraian

Monday, January 8, 2018

Kalau mendengar berita perceraian, saya pasti yang bakal diem untuk beberapa waktu. Diem yang merenung dan kayak ada yang nyubit-nyubit di hati.

Perceraian.

Saya ngga tau kenapa, dalam beberapa tahun belakangan rasanya kata itu kayak akrab banget di telinga saya. Akrab dalam arti beberapa orang yang saya kenal mengambil jalan ini. Reaksi saya kebanyakan seperti orang-orang pada umumnya.

" HAAAAH KOK BISA?"

"WAH NGGA NYANGKA"

" YA AMPUUUUN SAYANG SEKALI"

Karena bagi saya, mendengar berita perceraian itu sama dengan mendengar berita kematian, sesuatu yang lumrah tapi tetep bikin kaget dan shock. Lumrah dalam arti, ya memang bisa saja terjadi pada siapapun, pada keluarga manapun. Apalagi kalau yang bercerai adalah orang-orang yang secara kasat mata kita lihat tidak memiliki masalah keluarga. Yang kelihatannya mesra, saling mendukung, ngga ada gosip miring, langsung nyesek mendengarnya.

Sesuatu yang kita berusaha menyangkalnya.

Katakanlah beberapa pesohor yang kita kenal

Brad Pitt - Anniston
Tom Cruise - Nicole Kidman
Tom Cruise - Katie Holmes
Chris Martin - Gwyneth Paltrow
Ben Afflect - Jennifer Garner
Bruce Willis - Demi Moore
Mel Gibson - Robyn Moore

Di Negara tetangga , yang baru-baru ini kita tahu, maksudnya saya yang baru tahu ada pasangan super sweet Engku Emran - Erra Fazira.

Kalau di tanah air, perceraian terjadi juga di artis-artis kesayangan kita ((KITA))

Ray Sahetapi - Dewi Yull
Jamal Midrard - Lidya Kandow
Katon - Ira Wibowo

Dan yang baruuuu aja seliweran di temlen, berita perceraian Ahok- Veronika Tan. Duh bikin nyesek ya. 

Betapa keromantisan, keserasian, miskin kabar miring, membuat kita yakin banget kalau kehidupan rumah tangga mereka layak jadi #relationshipgoals lah bagi pasangan suami istri. Tapi nyatanya, nasib rumah tangga mereka berakhir di pengadilan jua, huhuhuhu, sedih.

Kalau habis denger berita perceraian gitu, di kepala saya langsung berkecamuk pertanyaan-pertanyaan " Kenapa ya mereka memutuskan bercerai". 

Karena pada umumnya penyebab perceraian biasanya adalah masalah ekonomi, perselingkuhan, atau KDRT. Tapi untuk pasangan-pasangan yang saya sebutkan di atas, rasa-rasanya sepanjang yang kita lihat tidak ada masalah itu, makanya banyak fans yang patah hati. 

Patah hatinya karena lha ini gimanaaaaa, kalau pasangan seideal mereka saja bisa bercerai apa kabar pernikahan yang biasa-biasa aja nih. Makanya ngga heran banyak juga jadinya orang skeptislah sama pernikahan. 

Bahwa bagaimanapun serasinya, harmonisnya, mesranya, ancaman perceraian selalu ada. Dia seperti momok yang mengintai setiap pasutri.

Kadang ngga jarang yah kita denger kalimat " Wah padahal mereka baik-baik saja kok bisa cerai ya"

Atau malah salah satu pasangan itu sendiri yang mengatakan , " Ngga tau, aku merasa semua baik-baik saja"

Setelah melihat banyak kasus perceraian, even yang pasangan suami istri sangat-sangat harmonis pun, saya bisa bilang, bahwa yang namanya pasutri sampai memutuskan bercerai itu ya pastinya mereka tidak baik-baik saja. Kita-kita ini yang di luaran yang melihatnya seperti baik-baik saja. Bagaimanapun, masalah keluarga yang paling tau ya si pelaku sendiri.

( Baca : Menikah Dengan Yang Selevel )

Kalau dulu kita pikir perceraian paling mungkin terjadi karena alasan tidak siapnya pasangan itu menikah, maka ternyata justru perceraian banyak juga terjadi pada pasangan di usia matang.

Kalau kita bilang perceraian rentan terjadi pada pasangan yang kurang mendalami karakter masing-masing sebelum menikah,nyatanya banyak juga pasangan bercerai yang notabene sudah menjadi pasangan atau berpacaran lama sebelum menikah.

Maka saat tadi temen saya nanya " Kira-kira kenapa ya mba Win Ahok-Vero bercerai, padahal kelihatan ga pernah ada masalah"

Saya jawab

Karena kedua belah pihak sudah berhenti berusaha


Apapun masalah dalam pernikahan, sepanjang masih ada salah satu yang berusaha mempertahankan, pastinya perceraian tidak akan terjadi.

Dulu, saya memandang negatif orang-orang yang memutuskan bercerai.

Seperti " Yah kok ngga mikirin anaknya sih"

Atau ngga " Duh kenapa mereka ngga berusaha lebih keras lagi"

Tapi semakin tua usia, semakin banyak beriteraksi dengan orang, plus mengalami sendiri bahwa yang namanya pernikahan itu memang ngga semudah bilang " I do", ngga semudah bilang " You Jump I Jump", bahwa ada banyak stok kompromi, mengalah, tarik ulur, menahan gemeletuk geraham hanya agar tidak meledak, sampai berusaha merendahkan ekspektasi agar tidak terlalu sering kecewa.

Dari seorang teman juga saya menyadari bahwa untuk pasangan-pasangan yang kita anggap begitu serasi, memang benar, bukan faktor ekonomi, faktor seks, atau faktor rasa cinta yang berperan dalam keputusan mereka. 

Di Desperate Housewife, Lynette bercerai dengan Tom justru karena salah satu selalu mengalah.

Gabrielle dan Carlos bercerai justru malah saat kondisi ekonomi lagi bagus-bagusnya, dan malah rujuk saat mereka jatuh miskin.

Banyak banget penyebabnya sampe ngga bisa dirumuskan.

Terkadang hal-hal sederhana seperti tidak sepaham dalam pemikiran, cinta tapi merasa tak nyaman, nyaman tapi merasa tak aman, aman tapi merasa tak bahagia, aaaaaah bener-bener deh, so complicated.

Melihat hal tersebut, setidaknya pendapat saya soal orang-orang yang memutuskan bercerai pun mengalami pergeseran.

Orang-orang yang memutuskan bercerai mungkin memang mereka akhirnya berhenti berusaha, karena mungkin mereka sudah sampai di tahap limit terakhir sebelum pertalian yang dijalin atas nama Tuhan akhirnya terputus juga.

Bagaimanpun mereka adalah orang-orang yang berani. Kalau dulu saya cenderung berfikir negatif , sekarang jadi lebih respect. Karena saya yakin, sebelum palu diketuk di persidangan, pasti ada ratusan atau ribuan malam yang sudah mereka lewati untuk berusaha tetap bersatu.

Bahwa memang pernikahan harus selalu diusahakan, direfresh, dicharge, diperjuangkan, dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

Tapi manusia tetaplah manusia, yang paling tahu apa yang membuat dirinya bahagia ya diri  sendiri. Bertahan demi anak, bertahan demi lingkungan, bertahan demi nama baik, mungkin akan terlihat ideal di mata orang lain, tapi apa gunanya membahagiakan perasaan orang yang kadang kala kastanya ya cuma di kursi penonton.

Pada kenyatannya, saya banyak melihat, orang-orang yang kemarin terlihat jatuh, terpuruk, mungkin dicibir bahkan mungkin dikasihani saat memutuskan bercerai, ternyata jauh lebih bahagia saat melepaskan satu sayapnya. Malah lebih bisa terbang jauh dan tak jarang menemukan pasangan sayap dengan warna yang begitu senada.

Anak-anak yang tadinya dikhawatirkan masyarakat akan terganggu kejiwaannya, ternyata bisa juga bangkit. 

Pastilah ada yang terluka dari sebuah perceraian, ada hati yang menangis, kecewa, malu, tapi waktu yang akan menghapusnya.


Karena kebahagiaan kalau bukan kita yang memperjuangkan siapa lagi. 

Balik ke kabar perceraian Ahok-Vero. 

Tentu banyak yang menyayangkan, tapi kita ini cuma penonton, mari sama-sama doakan, untuk pasangan-pasangan di luar sana, untuk kita, semoga diberi kekuatan dan semangat dalam menjalani pernikahan.

Terima kasih kita ucapkan untuk pembelajaran dari pasangan-pasangan hebat di atas, bahwa pernikahan dan perceraian adalah sebuah proses dalam hidup, sehingga kita-kita ini nih yang masih nyinyir sama orang-orang yang belum menikah, alih-alih ngurusin urusan jodoh orang mending mikirin bagaimana merawat cinta dan komitmen bersama pasangan.

Bagi orang-orang yang masih menganggap perceraian adalah sebuah akhir, kita juga bisa belajar dari pasangan-pasangan di atas, kadangkala malah perceraian bisa jadi merupakan awal hidup yang lebih baik, dan menjadikan mereka orang-orang yang lebih baik di masa datang.

Dan bagi saya pribadi, banyaknya kasus perceraian dan mengetahui lebih dalam sebab-sebab orang bercerai setidaknya membuat saya yang super duper kepo ini sedikit belajar untuk mengerem pertanyaan " Kenapa??? kenapa?, Siapa yang salah?, siapa yang menggugat"

Karena selain Life Happens, kemungkinan Shit Happens pun ada.

Stop kepo sama orang bercerai ya gengs. Doain aja mereka.









Menikah Dengan Yang Selevel

Thursday, January 4, 2018



Dulu pas mas Teguh melamar saya, saya sempet ngajuin pertanyaan

" Mas sebelum sama aku, pernah pacaran ngga? atau pernah dikenalin dengan cewek lain?"

Kenapa saya nanya begini?. Karena di lingkungan pekerjaan mas Teguh tuh lumrah banget proses perjodohan. Maklum di tempat kerjanya banyak perantau jadi biasanya atasannya suka membantu ngenalin ke orang yang dirasa pantas gitu buat dijodohin.

" Pernahlah dek, beberapa kali "

" Trus? Kok ngga lanjut?"

" Ya gimana, yang dikenalin ke mas itu anak-anak pejabat, ngga mau ah, mas bukan level mereka"

Hahahahaha, saya langsung cembetut.

 " Jadi maksudnya levelku itu di bawah ya, makanya mas niat banget nikah sama aku, mau menjajah ya?" Tetiba sewot, wakakakaka.

( Baca : How I Met My Hubby )

Setelah ngobrol panjang lebar dengan mas Teg, ternyata maksudnya itu  saya dan doi itu sekufu.

Sekufu itu maksudnya kurleb samalah level keluarganya. Baik dari segi ekonomi, gaya hidup, pendidikan, agama. Menurut mas Teguh, keluarga dia dan keluarga saya dalam banyak hal itu mirip. Kami sama-sama berasal dari kota kecil, background kerjaan ortu kami sama. Bapak mas Teguh itu guru, ibu saya juga guru. Pendidikan kami juga sama, ngga njomplang, selevellah dalam banyak hal..

Hmm, saya jadi mikirin perkataan mas Teguh itu lagi sekarang, gegara ngobrol sama Gesi soal pernikahan. Dan saya mengaminkan banget apa yang dibilang mas Teguh.



Menikah itu memang bukan perkara mudah sih ya. Dalam pernikahan itu ada dua sosok yang niatnya hidup bersama. Maka memang jauh lebih mudah kalau latar belakang kehidupannya ngga njomplang-njomplang amat.

( Baca : Menikah Atau Tidak )

Saya terkesan banget dengan sebuah pecakapan di film Sabtu Bersama Bapak. Bunyinya kira-kira begini

“Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain”

Walau di sini arah quote itu lebih ke soal finansial, tapi relate juga ke masalah sekufu tadi. Karena pernikahan itu akan jauh lebih mudah saat effort untuk beradaptasi dengan kehidupan pasangan dialihkan untuk maju bersama.

Intinya, ya kalau kita tuh nyari pasangan hidup yang pas awal start bisa sama-sama gandengan mencapai tujuan keluarga. Energinya difokuskan kesitu, bukan ke hal lain.

Saya ngga bilang kalau ngga selevel atau sekufu pernikahan bakal ngga berhasil lho. Karena yang namanya jodoh kan bukan kita yang atur. Siapa yang bisa nolak kalo Cinderella dilamar pangeran ye kan?. Tapi perlu usaha lebih keras untuk bisa menyatukan dua orang yang ngga sekufu atau selevel.

( Baca : Tentang Jodoh )

Gimana coba maksudny?

Level Ekonomi, Gaya Hidup dan Background Keluarga

Saya bayanginnya gini. Misal yah ada perempuan anak pejabat yang terbiasa hidup mudah. Kemana-mana diantar supir, pembantu di rumah 13 belas orang, beda nyuci, masak, nyetrika, beresin rumah, bersihin WC,terbiasa semua dibatuinlah, trus jajan aja sehari dikasi 300 ribu, ngopi harus di Starbak. Kemudian menikah dengan seorang pria yang orangtuanya guru, hidup sederhana, apa-apa dikerjain sendiri, ke sekolah ngangkot, jajan di kantin, 300 ribu buat sebulan.

Saat mereka menikah, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah adaptasi gaya hidup dulu. Kemungkinan yang akan terjadi, si istri bakal minta fasilitas hidup layaknya yang diberikan orangtuanya selama ini kepadanya. Even gaji suaminya mungkin gede pun, kemungkinan tetap akan ada penyesuaian di sini.

Misal bagi si suami, ngasih uang bulanan 10 juta itu udah gede, ekspektasi dia uang segitu cukup untuk makan, make up dan tetek bengek rumah tangga sehari-hari. Si istri yang biasa jajan 300 ribu sehari, ya uang segitu mungkin cukup tapi untuk belanja doang. Kebutuhan ngafe, pulsa, make-up harusnya di luar itu.

Atau sesederhana, bagi si suami belanja baju itu ya di Matahari aja udah oke. Bagi si istri, baju itu yang paling penting nyaman dan harus bermerk, yang sebiji aja harganya sejutaan.

Dalam hal ini saja, perlu usaha saling  mengerti banget. Karena sebenernya ngga ada yang salah. Soalnya gaya hidup selama ini memang beda.

Si suami harus maklum bahwa si istri mungkin ngga ngerti bahwa ngopi itu ada lho yang enak cuma 15 rebuan, ngga harus keluar 50 ribu untuk secangkir doang. Sementara si istri juga harus ngerti bahwa suami yang terbiasa hidup sederhana pengen setiap rupiah yang dikeluarkan itu dipikirin banget manfaat dan peruntukannya.

Jadi bahkan pengertian hemat dan boros mereka bisa beda.

Masih inget sinetron Pernikahan Dini ngga?

Di situ ceritanya kan si Dini anak orkay, trus si Gunawannya anak kampung gitu yang akhirnya jadi supir taksi. Pas si Gunawan gajian pertama kali, dengan gembiranya ngajak si Dini belanja ke supermarket dan ngomong " Aku baru gajian, kamu bisa belanja sesukamu"

Dan wow, gaji sebulan abis buat belanja yang bahkan ga cukup untuk seminggu. Karena bagi si Dini, belanja itu ya jajan Coca Cola, coklat, roti. Di bayangan si Gunawan, belanja itu ya beras, minyak gula. Pulang-pulang mereka bertengkar.

Ini bakal terjadi di soal belanja apa aja. Mulai dari beliin makanan untuk anak, beli perlengkapan bayi, milih rumah, beli kendaraan. Huuuft. Munkin butuh waktu bertahun sampe keduanya bisa berada di level yang sama.




Level Pendidikan

Level pendidikan ini ngga melulu soal gelar, tapi memang paling mudah dilihat ya dari pendidikan yang sudah dtempuh.

Kalau yang satu S2, yah minimal pasangannya kalo bisa S1. Biar obrolannya masih nyambung. Kalo yang satu S2, trus pasangannya tamatan SMA. Ntar diajak ngomongin ekonomi global eh istrinya cengok. Diajak ngobrol politik, istrinya cuma tau dari share-share-an grup WA dan facebook, kan susyeh ya. Mungkin awal-awal bisa menyesuaikan, dengan si suami, ngobrolnya yang ringan-ringan, tapi namanya orang kan butuh temen ngobrol, dan sebaik-baik temen ngobrol itu seharusnya pasangan kita.

Ngga heran kan, banyak kejadian perselingkuhan karena salah satu menemukan temen ngobrol yang pas di tempat kerja. Karena di rumah istrinya lebih hapal sama berita Jejedun dan sepak terjangnya. Diajak becanda soal politik ngga ketawa, karena ngga ngerti dimana lucunya. Huhuhu kan ngga asik yah.



Level Agama

Ini agak sulit dilihat kalau menilainya hanya berdasar penampilan. Harus dari proses mengenal sampai ke cara berfikir.

Misal si istri berjilbab, pakaian tertutup, sopan tapi cara berfikir agamanya cenderung liberal, dalam arti menganggap semua agama tujuannya baik, maka ngga perlu membeda-bedakan teman.

Dapat suami yang level agamanya sebenernya juga ngga jauh-jauh amat bedanya dengan dia. Tapi  dulunya full ikutan liqo, mabit, kajian islami dengan cara berfikir " pokoknya apa kata ustadz kita harus ikuti saja"

Ini imbasnya ngga hanya ke soal pandangan terhadap pergaulan ke orang lain tapi bisa sampe ke ngambil keputusan cara membesarkan anak,  nyekolahin anak, milih tempat tinggal, milih merencanakan keuangan keluarga segala.

Ngga menutup kemungkinan masalah sekolah anak aja bisa berantem. Si istri maunya anaknya sekolah internasionallah, si suami pengen pokoknya sekolah Islam.

Si istri maunya untuk planning keuangan pake cara investasi. Si suami anti dengan segala bau-bau investasi dan segala hal yang berhubungan dengan bank.


Waaah banyaklah hal yang bener-bener harus disesuaikan saat memutuskan menikah dengan orang yang berbeda level.

( Baca : Faktor Kebahagiaan Keluarga )

Itu baru antara si suami dan istri. Belum ke soal keluarga.

Mungkin pas mengunjungi rumah ortu. Dia yang biasa tidur di spring bed King Koil, tetiba pulkam ke rumah ortu kita yang kamarnya aja cuma dua, mana tempat tidurnya pake kapuk lagi. Bisa-bisa tiap lebaran, demi menjaga kenyamanan pasangan kita lebih milih nginep di hotel. Bukan karena malu atau apa, tapi ya karena faktor kebiasaan.

Belum soal rikuhnya ortu pas ketemu besan.

Dan yang terpenting dari semua itu, kita punya hak bicara ngga ntar baik di keluarga sendiri ataupun di keluarga besar dia? Bakal diremehin ngga sama om, tante, oma, opanya.

Kalau kita siap sih ya no problema

Hahaha mungkin saya overthinking. Tapi melihat pengalaman orang-orang sekitar yang menikah dengan level yang sungguh jauh berbeda, saya bisa ambil kesimpulan. Bahwa perlu usaha ekstra keras agar bisa bertahan di pernikahan seperti itu. Korban perasaan udahlah pasti, plus harus memiliki kemauan keras untuk mengimbangi pasangan jika ngga mau ketinggalan di belakang atau di bawah.

To sum up postingan ini, dari sudut pandang saya pribadi, menikah dengan siapapun baik selevel atau beda level, idealnya lakukan wawancara terfokus (astaga istilahnya) pra nikah agar tau hal-hal yang bisa kita tolerir atau tidak dan untuk mengukur seperti apa perbedaan level tersebut bisa kita hadapi.

Apakah kita tidak akan minder?

Apakah kita bisa cuek dengan perbedaan tersebut?

Apakah pasangan adalah orang yang akan mau menurunkan levelnya untuk mencapai posisi square?

Atau sebaliknya apakah kita atau pasangan mau sama-sama berusaha mengupgrade diri untuk menyesuaikan level pasangan kita?

Apakah kita dan pasangan mau berubah satu sama lain agar bisa sesuai kehidupannya?

( Baca : Segabruk Pertanyaan Sebelum Menikah )

So untuk pasangan yang jodohnya orang yang berbeda level.

Jika dirimu yang levelnya lebih tinggi.


  • Ingat-ingat bahwa keputusanmu menikahinya bukan soal status ekonomi, pendidikan atau gaya hidupnya. Tapi kamu menikahinya karena sesuatu di dirinya yang membuatmu mencintainya.
  • Maklumi jika dia akan kaget, shock, mungkin ga seide denganmu 
  • Jangan sekali-kali meremehkan pilihannya, meremehkan keluarganya. Bersikaplah seolah kau biasa melakukan apapun yang biasa dilakukannya.
  • Tanya pendapatnya saat akan memutuskan sesuatu. Kasih tau alasannya dan jelaskan jika ia tidak menangkap maksud baikmu. Karena saat kalian berbeda pendapat bisa jadi itu hanya karena ia tidak tahu.
  • Karena lebih gampang menurunkan level dibanding menaikkan, maka dirimu adalah orang yang seharusnya paling bisa menyesuaikan adaptasi di keluarga.
  • Jika, kamu si istri, sesuaikan gaya hidupmu dengan penghasilannya, atau berbuatlah sesuatu agar gaya hidupmu tidak bergeser jauh.
Jika dirimu level yang lebih rendah

  • Tanya apa kebiasaan dia di keluarga, cari tahu, kalau masih bisa diikuti lakukan, kalau ngga bisa - kompromikan.
  • Jangan paksakan dia hidup dengan caramu, tapi kenalkan bagaimana hidup caramu, lihat apa pendapatnya. 
  • Jika kamu si suami, pastikan saja dengan hidup caramu pun akan fun juga.
  • Tetap jadi diri sendiri namun lakukan penyesuaian-penyesuaian seperlunya.
Dan yang pasti, lepaslah bayang-bayang keluarga masing-masing. Muailah hidup sebagai diri kalian yang memiliki tujuan sama dalam pernikahan.

Duile gw sok iye banget ngomongnya. Ya gw ngomong gini mah enak yah, karena pada kenyataannya saya sama suami sekufu banget, jadi memasuki dunia pernikahan masalah perbedaaan model di atas ngga ngalami. Ini semata berdasar cerita orang-orang yang punya pengalaman Cinderella nikah dengan si pangeran atau si rakyat jelata nikah sama si putri kesayangan.


Karena banyak pernikahan kandas bukan soal cocok atau tidak cocok, cinta atau tidak cinta, tapi lebih ke hilangnya perasaan pride pada salah satu sehingga memutuskan untuk pergi mencari seseorang dimana ia bisa menjadi diri sendiri.






Bertengkar Dengan Suami

Wednesday, December 6, 2017


Kalau yang ngikutin IG saya, pasti tau bahwa saya sering share-share cerita di caption. Ya tentang anak, ya tentang mas Teguh. Beberapa DM pernah nanyain ke saya. Apa saya dan mas Teg sering bertengkar atau tidak, mengingat sifat-sifat kami berdua sering saya gambarkan sebagai pasangan bak langit dan bumi.Ada juga yang nanya, kok kelihatan saya hepi-hepi terus dengan mas Teg.

Ya boong bangetlah kalau saya bilang kami ngga pernah bertengkar. Yang namanya pasangan suami istri ngga mungkinlah ngga pernah bertengkar. Dua puluh empat jam tinggal bersama orang yang dulunya asing bagi kita pasti ada ketidakcocokan disana sini. Di tambah pula kalau pasangan kita memang 180 derajat berbeda dengan kita. Ya suku, ya usia, ya daerah dan kebiasaan-kebiasaan yang dulu dilaluinya sebelum kenal dengan kita.

Kalau boleh jujur, memang saya dan mas Teg itu kalau diitung frekuensi bertengkarnya bisa dibilang jarang banget. Jarang like JARANG.

Bertengkar versi saya itu yang sampe marah beneran gitu ya, sampe mungkin banting barang atau sampai mengeluarkan kata-kata yang saling menyakiti. Atau terparah sampe kabur dari rumah dan balik ke rumah ortu.

Yang model begitu jarang banget. Tapi kalau sebatas marah-marah ngambek ya pernah, tapi ngga sering.

Pertengkaran terbesar kami pernah terjadi di awal-awal saya menikah. Waktu itu ceritanya mas Teg masih parnoan banget sama mantan-mantan saya. Yah saya maklum sih soalnya waktu nikah dengan saya historynya mas Teg itu clear, bersih, bebas banget dari dunia permantanan, sementara saya, duh ngga usah diceritainlah. Makanya dia tuh agak-agak membatasi pergaulan saya di awal nikah.

" Ngga boleh komunikasi sama teman SMA ya"
" Ngga boleh ngasi no hape ke teman laki-laki tanpa seijin mas"

Lalalala, aturan-aturan semacam itulah. Sebenernya ini bisa banget bikin saya ngamuk " Apa maksud lo ngelarang-larang pergaulanku, aku ini istrimu bukan tahananmu". Bisa banget saya mikir seperti itu. Tapi, saat itu saya mikirnya simpel aja, " Emang apa susahnya ngga kontak-kontakan dengan orang-orang di masa lalu", makanya ya ngga keberatan samsek dengan aturan blio.

Namun, kadang kan kita ngga tau darimana orang bisa dapat no hape kita.

Suatu hari teman SMA saya laki-laki sms. Isinya mah biasa aja, cuma nanya kabar lalalala, gitu doang. Dan karena memang ngga ada apa-apa saya balasnya juga biasa aja, jawab apa yang ditanya, trus saya biarin aja SMSnya, ngga pake dihapus-hapus. Eh kebaca mas Teg deh tu SMS, karena memang saya ngga pernah larang mas Teg cek-cek hape saya.

Nah disitulah dia marah besar, hape saya sampe dibanting, patah jadi dua gengs, beneran patah, krak, jadi dua. Dramatis banget deh. Trus itu kartu saya dipatahin jadi dua juga, dibuang ke tong sampah. Agak serem sih.

Disitu bener-bener saya lihat mas Teg yang marah banget. Tapi dia kan marahnya ngga yang teriak-teriak ya. Abis banting hape, langsung ngajak saya ngomong.

" Kan udah mas larang berhubungan sama teman-teman SMA, kok masih SMS-an"

Ya udah saya ngga mau membela diri langsung minta maaf aja, bilang ngga diulangin lagi. Saat itu saya mikirnya mas Teguh lagi cemburu, itu doang. Ngga kepikiran " Kok dia jahat sih banting hapeku?, Kok dia kasar sih"

Ngga kepikiran ke situ. Makanya walau ada adegan banting-banting hape, tapi masalahnya langsung selesai saat itu juga. Awalnya mas Teg pikir saya bakal ngamuk.

" Adek, no nya ganti yah, yang lama biar jangan dipakai lagi"

Saya ngga keberatan samsek, sepertinya dia agak kaget kok saya no drama. Ya udah akhirnya  mas Teg bantuin saya mindahin segala no teman kantor ke hape yang baru (iya besoknya dia langsung beliin hape baru untuk saya).



Dari situ, saya bener-bener baru tau, kalau mas Teg itu bisa marah juga ternyata. Karena tau penyebab dia marah soal masa lalu saya, ya saya juga ngga mau deket-deket dengan yang ada bau-bau SMA nya.

Long story short, karena memang saya lempeng dan dilihat mas Teg ngga neko, neko, lama-lama dia sadar juga bahwa membatasi pergaulan saya seperti itu unfaedah banget, makanya akhirnya dia lebih santai. Malah seneng waktu temen SMA saya pernah berkunjung ke rumah. Setelah kenal dan ngobrol sama mereka baru dia ngeh kalo saya ya emang ngga ada niat macem-macem.

Yup, dia cuma pengen diyakinkan aja bahwa saya udah move on, halah.

Jadi kuncinya, kita memang harus tau apa hal-hal yang ngga disukai pasangan, dan menghindari melakukannya. Kalau itu dilakukan, mudah-mudahan aman jaya.

Balik ke pertanyaan di DM tadi, soal gimana kami mengatasi pertengkaran.

Tadi malam saya ngobrolin ini sama mas Teg, dan kami baru nyadar juga ternyata memang tidak banyak hal yang menurut kami pantas untuk menjadi penyebab pertengkaran. Semua-mua rasanya kok masih bisa dimaklumi.

Kalo mas Teg tiba-tiba pulang kantor hawanya ngga enak, saya ngga mau banget masukin ke hati " Alah paling dia lagi capek"

Saat saya baru ditegur atasan di kantor, trus pulang ke rumah dengan wajah ditekuk tekuk, trus mas Teguh minta diambilin makan, malah saya judesin, dia ngga yang langsung ngamuk " Istri macam apaaaaa kamu" hahahaha. Palingan dia melirik, trus diem, ambil makan sendiri. Saya ke kamar, bobo. Kalau kayak gitu, mas Teg tau kalo saya pasti lagi sebel doang, bukan karena sebel sama dia.

Saya ngga bisa merumuskannya, tapi sepertinya saat ini kami udah sampai di titik, melihat segala sesuatu tidak cuma di permukaan doang, halah bahasanya kok berat ya.

Pokoknya kalau dia begini belum tentu karena gw deh. Bahasa sekarang tuh ngurang-ngurangi baper.

Dia marah, bukan berarti marah ke saya. Mungkin lagi kesel tadi di kantor.
Dia ngga mau ngomong, bukan berarti udah bosen dengan kita, tapi ya mungkin lagi ada yang dipikirin.

Trus ya berusaha mengingat-ngingat karakter asli masing-masing, jadi bisa langsung nyadar " Ah biasanya dia ngga gitu kok, pasti karena ada masalah, pasti karena capek, pasti karena lagi bad mood aja"

Karena memang menikah itu challenging banget. Hidup dengan orang yang  beda keturunan,beda cara dibesarin, beda pengalaman hidup, ya pasti produknya beda.Makanya segala sesuatu perlu dikomunikasikan biar ga salah paham.

Pernikahan kami mah masih seumur jagung banget, tapi kalau boleh berbagi tips, coba lakukan hal ini untuk meminimalisir ribut-ribut di keluarga.

⇉Banyakin ngobrol kapan pun dimana pun untuk menjembatani perbedaan-perbedaan. Di mobil, pillow talk, malam-malam sambil nemenin doi sebat dua sebat, biar tau apa isi pikiran masing-masing. Ini rutin banget kami lakukan, biar tetep ngobrol dan menjaga kehangatan keluarga.

⇉Kalau masih bisa mengalah, ya pilih mengalah saja. kalau masih bisa dibawa ketawa ya dibecandain aja. Karena masalah apapun di keluarga , terutama keluarga normal ya yang bukan nikah karena dijodohin atau karena MBA (karena ini biasanya masalahnya lebih kompleks), kalau kita telaah lebih dalam dikit aja, bener-bener masalah tai burung bangetlah hal-hal yang kita berantemin. Ntar pas udah suasananya lebih enak baru dibicarakan, Karena gimanapun namanya masalah ya harus dibicarakan biar tuntas.

Terkadang kita terlalu keras berusaha membuat pasangan kita jadi seperti kita. Memaksa dia harus mengerti apa yang kita pikirin, ngertiin apa yang kita rasakan. Padahal lebih mudah kalau dibalik saja. Coba kita yang berusaha lebih menyelami perasaan dia. Berusaha lebih mengenali karakter dia. Kalau udah kenal mudah-mudahan kita jadi ngga gampang tersulut emosi.

⇉ Saat dia marah, lihat situasinya,  jangan buru-buru sakit hati. Diemin dulu, ntar tanya baik-baik kenapa kok tadi marah-marah. Biasanya beneran deh ada aja yang melatarbelakangi seseorang itu saat marah. Entah capek, entah ngantuk, entah lapar atau sekedar pengen merokok. Oh yes, kalian ngga akan percaya kalau orang sakau mau ngerokok bisa esmosian hahahah.

Ni pernah banget kejadian di kami. Saat ke mall, saya laper, jadi ngajak masteg makan. Masteg nolak, dan nyuruh saya makan aja sama anak-anak, dia mau nyari smooking room biar bisa merokok. Saya ngga mau dong " Ya ngapain kita pergi bareng kalo aku makan cuma sama anak-anak, mas ikutlah makan, ntar kita cari resto yang ada smooking areanya"

Akhirnya ketemu, eh makanannya ternyata ga cocok sama yang saya mau, jadi saya nesu-nesu " Ih aku pengennya nasi goreng terasi, disini ngga ada, aku males mas makan"

Mas teg langsung marah ke saya " Adek ini makan aja ribet banget sih", trus dia ngeloyor pergi merokok.

Duh sebenernya saya pengen marah, tapi trus mikir, lha iya ya kok aku ribet, bukannya tadi masteg ngga mau ikut makan, aku yang ngajak, kenapa sekarang aku yang ribet, panteslah dia marah. Ya udah saya diemin aja dia marah ngga bales samsek. Ngga lama dia balik, wajahnya udah cerah, trus malah baik-baikin saya, hahahah. Jadi beneran tadi tuh cuma karena sakau pengen ngerokok aja makanya kayak orang PMS


⇉ Jika suatu saat mulai terlihat perbedaan-perbedaan yang bisa bikin ribut, Kompromilah dahulu, cari jalan tengah yang win win bersama.

Misalnya nih saat jalan-jalan, saya doyan foto, dianya ogah banget .

Soal selera liburan. Saya tuh sukanya mall, mas Teg sukanya model staycation di tengah hutan, yang diem, tenang, adem ayem.

Belum cukup?

Bisa ditambah beda pandangan politik dan beda cara nyelesain masalah. Dia model semua didiamkan biar waktu yang menjawab, kita modelnya kalo ga diomongin kapan kelarnyaaaaa.

Heh pokoknya, Hal remeh gini aja bisa bikin acara jalan-jalan jadi ngebetein, acara liburan bisa berantakan.

Perbedaan macam begini ngga usah i diributin. Pokoknya sepanjang cuma masalah selera, masalah kebiasaan, dan bukan masalah prinsipil, ya abaikan. Jika masih bisa dikompromikan ya kompromi aja.

Mas Teg sukanya liburan di hutan, yo wis kalo liburan bersama di hutan ga apa deh, tapi ntar boleh ya saya liburan sama temen-temen ala mall to mall. Atau weekendnya ngemall sama anak-anak.

Mas Teg ga mau foto-foto ? . Ya udahlah selfie dewe.

Dalam hal menyelesaikan masalah, mas Teg tuh orangnya menghindari konflik banget. Prinsip dia kalo bisa dengan didiamkan masalah selesai, lha kenapa harus dibahas. Kalau saya?, yang namanya masalah sekecil apapun ya harus dibicarakan, biar selesai sampai akarnya.

Tapi untuk hal ini pun saya pilih kompromi.

Dia sifatnya kalo lagi berantem diem-dieman?  it’s oke, saya biasanya pilih keluar rumah sejenak, karena percuma di rumah juga mas Teg ngga mau ngomong , daripada saya stress ya saya mending menjauh dulu. Tapi perginya ngga jauh-jauh dan tetep kasih tau mas Teg.

" Mas aku mau keluar bentar" #sambil judes dan ngga nunggu dia jawab

Abis itu mlipir ke KFC samping komplek. Makan sejam dua jam sambil minum kopi, sambil ngetik WA sepanjang jalan kenangan yang isinya memuntahkan seluruh kekesalan saya.

" Mas tau ngga aku tuh marah banget sama kamu, karena mas ngga ngertiin perasaan aku, lalalalalal" 

Pokoke sampe berjilid-jilidlah WA nya. abis itu balik rumah. Dan secara ajaib saat balik ke rumah mas Teg, udah mau ngomong kayak biasa, sambil nawarin apaa gitu.

" Adek mau makan duren ngga, temenin mas dong"

Yo wis, gencatan senjata, kibar bendera putih, baikan . Gitu doang hahahaha. Jadi sebenernya saat dia baca WA berisi omelan saya ya dia mungkin tau dia salah, tapi dasar orangnya ngga ekspresif, ngga bisa gamblang bilang maaf, akhirnya cuma ngajak ngomong biasa pura-pura ngga terjadi apa-apa.

Kalau udah gini ya udah, jangan pulak kita mancing-mancing biar ribut lagi.

Beneran kayak gitu ngga gampang. Menekan ego itu rasanya berat sekali, kadang ada rasa " Kok aku harus ngalah sih, kok dia bentak-bentak aku sih" Tapi kita disini bukan mau saling memperlihatkan siapa yang lebih tinggi harga dirinya, siapa yang lebih kuat siapa yang lebih lemah, ngga seperti itu.

⇉Jangan lupa bicarakan di awal pernikahan, apa yang kalian ngga suka dilakukan pasangan. Batas-batas seperti apa yang bisa kalian tolerir. Ini ngga harus di awal sih, di tengah-tengah juga boleh.

Di kami, masteg itu permintaannya cuma satu, agar saya ijin ke dia kalau mau kemana pun. Kalau dari saya, permintaanya cuma, jangan pernah nyuekin saya kalau saya lagi marah, LOL.

Menikah memang perlu diusahakan terus menerus, dan pasangan hidup kita dengan segala paketan sifatnya memang jadi peer yang harus kita hadapi. Kita ga perlu berubah jadi seperti dirinya untuk membentuk keluarga tanpa konflik. Jalani aja cara hidup masing-masing.


Saya nulis begini ini bukan berarti saya merasa keluarga kami bener-bener bebas dari masalah pertengkaran sih, tapi sejauh ini kami bisa mengatasi hal-hal kecil yang tidak prinsipil. Saya mengerti ngga semua orang beruntung dapat pasangan yang bisa mengalah misalnya, atau dapat pasangan yang mau kompromi.

Kita cuma usaha, selebihnya serahkan ke yang di Atas.


Kalian punya cerita ngga soal menghadapi perbedaan dan meminimalisir pertengkaran dengan pasangan?

Custom Post Signature