Showing posts with label Marriage. Show all posts
Showing posts with label Marriage. Show all posts

Sinamot ( Cerita Dari Sumut )

Thursday, January 10, 2013


Sinamot Saya Dulu



“ Berapa sinamot yang diberi calon suamimu win?, pasti besar lah ya, kan kerja di BUMN”

Pertanyaan tersebut beberapa tahun yang lalu berhamburan dari orang-orang sekitar saat saya akan melangsungkan pernikahan dengan suami. Ada yang bertanya terang-terangan, ada yang menduga-duga bahkan tak sedikit yang menyarankan ini itu.


“ Minimal 3 ikat lah win, kau kan sarjana”

Atau

“ Wah, ibunya windi panen nih, soalnya kau kan perempuan bekerja win, lain dong sama yang ngga kerja”

Merupakan hal yang lumrah, di daerah saya yang notabene masih masuk dalam wilayah Sumatera Utara mempertanyakan hal-hal di atas.

Sinamot dalam bahasa batak adalah sejumlah uang yang diberikan calon mempelai pria kepada ibu mempelai wanita sebagai balas jasa karena telah membesarkan dan mendidik si anak sehingga menjadi wanita yang siap diperistrinya.

Walapun jaman sudah modern, teknologi sudah canggih, namun kebiasaan yang dulunya hanya dilakukan oleh suku batak, akhirnya malah menjadi kebiasaan dan keharusan di daerah saya. Saya yang notabene tinggal di kota Medan, ibukotanya SUMUT pun masih mengikuti kebiasaan tersebut. Padahal ayah saya bersuku Jawa. Namun karena ibu saya berdarah Batak Mandailing, tak pelak, sinamot pun menjadi salah satu syarat dalam melangsungkan pernikahan.

Karena merupakan balas jasa pada sang ibu, maka sudah menjadi aturan tidak tertulis bahwa besarnya jumlah sinamot tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal. Diantaranya pendidikan dan pekerjaan si wanita. Jadi semakin tinggi pendidikannya, maka semakin besarlah sinamot yang harus diserahkan si pria. Sekilas terdengar seperti menjual anak, namun pada kenyataannya menurut saya, sinamot ini seperti bentuk pengakuan terhadap hasil didikan orangtua. Tak heran, jika yang dilamar adalah seorang dokter, si pria pasti harus menguras lebih banyak lagi koceknya. Nilai tambah lagi jika si wanita telah bekerja, karena dianggap nantinya ia akan turut mencari nafkah dan membantu si suami.

Makanya, teman-teman dulu banyak yang menduga-duga berapa kira-kira sinamot yang diberikan suami kepada saya. Karena selain pendidikan saya S1, saya juga bekerja di sebuah bank BUMN. Kalau dipikir-pikir sekarang rasanya lucu. Padahal saya kuliah dan bekerja dulu sama sekali tidak memikirkan hal tersebut.

Yang paling susah dari proses pemberian sinamot tersebut adalah menyampaikan kepada calon suami. Bagaimana tidak?. Kalau kebetulan si pria berasal dari Sumatera Utara juga pastilah ia sudah mengerti, namun lain ceritanya kalau berasal dari daerah dan suku yang memiliki budaya berbeda.

Untunglah walau suami saya berasal dari Jogja namun karena sebelumnya ia telah mencari tahu mengenai adat istiadat di daerah saya, masalah penyampaian tidak menemui kendala yang berarti. Bahkan ternyata suami sudah mempersiapkannya dengan matang. Setelah melamar saya secara pribadi di sebuah kafe, ia langsung terang-terangan menanyakan perihal sinamot atau biasa disebut uang hangus tersebut kepada saya.

Proses yang biasa terjadi, si pria akan menyampaikan ke wanita kesanggupannya dalam menyediakan uang hangus tersebut. Kemudian si wanita akan menyampaikan kepada ibunya. Kalau si ibu cocok, berarti dicapai kata sepakat, namun kalau belum pas, maka perundingan akan berlanjut. Menurut pengalaman saya, tidak jarang suatu pernikahan gagal berlangsung, jika tak kunjung dicapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Untunglah hal tersebut tidak terjadi pada keluarga saya. Tanpa banyak tanya, ibu langsung menyetujui saja jumlah yang disanggupi suami.

Alhamdulillah ya punya ortu yang bijak bestari.

Tak cukup sampai disitu, setelah kata sepakat diambil, prosesi menjelang pernikahan masih panjang.Calon mempelai pria harus datang dulu bersama keluarga dekatnya yang terdiri dari orangtua dan beberapa kerabat saja, namanya meresek. Disini acara masih setengah formil, hanya berupa perkenalan antara keluarga pria dan wanita. Saat inilah disampaikan maksud dan tujuan kedatangannya sekaligus dibicarakan jumlah sinamot yang secara tidak resmi telah disepakati sebelumnya.

Tahap selanjutnya, melamar secara resmi dengan didampingi orangtua dan kerabatnya, martuppol. Yang menarik di acara martuppol tersebut adalah adanya acara berbalas pantun yang sungguh sayang untuk dilewatkan. Mungkin karena dipengaruhi oleh adat melayu, makanya diselipkan pantun didalamnya.

Martupol atau lamaran sekaligus hantaran biasanya hanya berselang beberapa minggu setelah meresek. Di martupol ini, si pria akan membawa semua yang telah disepakati di acara meresek. Barang-barang yang biasanya disyaratkan adalah:

Tepak Sirih


Tepak sirih, sebuah kotak yang didalamnya berisi daun sirih, kapur sirih, dan berbagai macam bunga. Nantinya, si tepak ini sebagai pembuka acara lamaran. Pihak pria akan menyerahkannya kepada orang yang dituakan di pihak wanita. Tepak tersebut ditutup oleh sebuah kain ulos. Dengan diterimanya tepak ditandai dengan dimakannya sirih oleh orang yang dituakan tadi, maka kedatangan keluarga pria dianggap sudah diterima di keluarga calon mempelai wanita. 

Oya, konon dipercaya, kalau seorang gadis yang belum ada jodohnya memakan sirih yang ada di tepak, maka tak lama ia akan menemukan jodohnya. Maka, berlomba-lombalah para gadis memakannya. Siapa tahu cepat dapat jodoh.

Selain tepak sirih, barang-barang lain yang harus dibawa adalah seperangkat isi kamar, yang terdiri dari tempat tidur, lemari dan toilet. Ini dulu pas saya cerita ke temen di luar Sumatera pasti kaget, piye gitu hantaran isi kamar hahaha.


Kemudian perlengkapan calon mempelai wanita , sepasang kebaya, sepatu, tas, pakaian dalam, kosmetik. Peralatan sholat, mukena, sajadah, sarung. Juga peralatan mandi seperti sabun, shampoo, lotion, sikat gigi, macem-macem lah. Sebagai syarat juga dibawa beraneka macam minuman, seperti teh,kopi,gula. Wah kalau dibungkus dalam keranjang, hantarannya bisa mencapai sepuluh keranjang bahkan lebih.


Dalam acara hantaran ini, nantinya pembawa acara akan menyebutkan satu persatu barang yang dibawa si pria. Setiap satu barang disebut, maka dihantarkanlah keranjang yang berisi barang yang dimaksud ke tangan si ibu mempelai wanita. 

Sampai terakhir yang disebut adalah jumlah sinamot yang telah disepakati sebelumnya. Penyebutan jumlah tersebut di muka umum salah satunya menunjukkan rasa bangga si ibu atas nilai putrinya. Walaupun bukan berarti harga diri si anak setara dengan uang yang diberi, namun penyebutan angka tersebut merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu.

Biasanya para tetangga pun datang ke acara hantaran hanya untuk mengetahui berapa sinamot yang diberikan. Tak jarang jumlah tersebut menjadi gunjingan berhari-hari kalau menurut para tetangga tak sesuai. 

Cape dehhh

Namun ada juga orang yang tidak mau sinamotnya disebut secara terbuka. Seperti saat acara hantaran saya. Atas permintaan suami dan saya, jumlah sinamot tidak disebutkan. Untunglah ibu saya pun tidak menganggap hal tersebut suatu keharusan. Bukannya malu karena jumlahnya sedikit, tapi karena saya memang tidak ingin orang lain di luar keluarga mengetahuinya. Biarlah mereka menduga-duga saja. Biar makin penasaran wahahaha.Karena menurut saya pribadi, hal tersebut bukanlah sesuatu yang harus dibangga-banggakan atau malih dicaci caci.

Semua prosesi tadi yang paling memegang peranan adalah ibu si wanita. Setelah uang hangus diberi, dengan menggunakan kain/ulos si ibu akan menggendong dan membawa uang tersebut ke kamar, tempat dimana putrinya berada. Wah, acaranya akan menjadi haru, karena si ibu akan memutar-mutar kain berisi uang tersebut ke atas kepala anaknya dan mendoakan putrinya dengan doa semoga apa yang diberi si calon pria menjadi berkah bagi mereka.

Setelah rangkaian acara selesai, selanjutnya akan ditetapkan tanggal dan hari pernikahan. Berbeda dengan suku jawa yang biasanya melihat dari hari baik hari buruk berdasarkan weton si calon pengantin, penentuan tanggal di sumatera terkesan lebih simple. Tinggal ditentukan tanggal yang kiranya semua pihak tidak keberatan. Begitu saja. Setidaknya itu menurut pengalaman saya.

Tas,Sepatu dan Kosmetik


Sekilas kalau mengetahui adat di Sumatera Utara rasanya ribet sekali untuk melangsungkan pernikahan. Namun, ada sisi positifnya, bahwa pernikahan itu bukanlah suatu hal yang main-main. Perlu keseriusan untuk menjalaninya. Dan dengan keribetannya, saya merasa hal tersebut cukup melindungi pihak wanita dari keisengan para pria.

Sering saya mendengar celutukan teman yang bukan orang sumut berkata, “ Wah kalau nikah sama orang Medan itu ngajak bangkrut”.

Dipikir-pikir memang sepertinya iya. Belum-belum si pria sudah pusing tujuh keliling memikirkan dana yang harus dikeluarkannya. Namun jangan khawatir, banyak ibu yang kemudian akan mengembalikan uang hangusnya kepada pasangan pengantin tersebut lagi. Mungkin tidak seluruhnya, namun cukup membuat lega bagi pasangan pengantin baru.

Makanya ntar kalo jadi ortu jadilah ortu yang bijak ya. Dan syukurnya ibu saya termasjk ortu yang bijak tadi.

Setelah itu semua, prosesi pernikahan masih berlanjut.

Yang membedakan pengantin sumut dengan daerah lain salah satunya adalah pakaian. Banyak jenis pakaian adat Sumut. Dari pakaian batak Toba, Karo, hingga Mandailing. Karena ibu saya suku Mandailing, maka mau tak mau saya pun mengenakan baju adat Mandailing. Ya ampuun, hiasan kepalanya yang disebut bolang itu berat banget. Saya sampai migren saat memakainya. Namun entah kenapa, saya melihat, siapapun yang mengenakan baju adat Mandailing tersebut, aura kecantikannya begitu terpancar. Makanya saya tidak keberatan memakainya, karena disamping warnanya yang cerah yaitu merah, juga membuat saya tampil cantik eksotis.


Baju Adat Mandailing



Satu lagi, istimewanya pengantin Sumut dalam hal ini Mandailing. Alat musik yang digunakan saat acara berlangsung adalah gondang Sembilan. Terdiri dari Sembilan buah gendang dengan berbagai ukuran. Tidak tanggung-tanggung, acara adat ini bisa berlangsung tiga hari tiga malam. Bayangkan saja seperti apa lelahnya si pengantin. Tak heran di hari ketiga, biasanya pengatin memakai kaca mata hitam untuk menutupi lingkar hitam di matanya.

Gondang ini dimainkan dengan lagu pengiring yang sendu mendayu-dayu. Pasangan pengantin akan menari mengikuti iringan lagu. Kalau di Jawa ada acara sungkem, maka di adat mandailing, sungkemnya sambil menari ala tor-tor.

Prosesi Tarian Batak, Saat adik Saya Menikah


Namun lagi-lagi untunglah, saya tidak mengalaminya. Bukan karena tidak mau, namun karena keterbatasan waktu, apalagi keluarga suami yang berasal dari Jogja tidak bisa terlalu lama tinggal, maka acara pernikahan saya cukup ringkas tanpa mengurangi nilai adat istiadat di dalamnya.

Kalau mengingat-ingat kembali saat pernikahan berlangsung saya dan suami sering menertawakannya. Dimana saat salah satu kerabat ibu saya memberi nasehat dalam bahasa Mandailing, saya dan suami cuma pandang-pandangan sambil tersenyum, tak mengerti apa yang dikatakannya.

Awalnya keluarga suami sempat shock dan agak kaget dengan panjangnya prosesi dari mulai lamaran sampai pernikahan. Namun, mereka senang mengikutinya, karena melihat hal baru yang tidak ditemui di tanah Jawa.

Bagaimanapun ribet dan melelahkannya prosesi pernikahan yang saya alami, namun ada kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri di hati. Bahwa saya telah ikut melestarikan kekayaan budaya bangsa dan nenek moyang. Saya rasa tidak ada salahnya sebagai generasi penerus , kita mengabulkan dan menuruti keinginan orangtua di hari pernikahan . Merupakan bentuk bakti sebelum meninggalkan rumah yang telah membesarkan kita.

Sepulang dari bulan madu dan kembali masuk kantor, kembali teman-teman usil bertanya kepada saya, “ Jadi berapa win sinamotmu?”


“ Seharga satu buah mobil” jawab saya enteng.

(Jangan tanya mobilnya mobil apa ya wkwkwkw)

Foto: Koleksi Pribadi

Hip Hip Hurray Tujuh Belasan

Friday, September 14, 2012

Gara-gara usia saya dan abang saya hanya terpaut dua tahun, maka sejak kecil saya nempel terus kemana abang saya pergi. Dia main ketapel saya ikutan, dia manjat pohon rambe saya ga mau ketinggalan, dia berenang di sungai ya saya ngekor juga, bahkan nengkepin ikan gobi di parit pun saya selalu dengan setia ngintil di belakangnya.

Saat akhirnya abang saya harus mendaftar sekolah dasar, saya terpaksa ga bisa ikutan lagi, hiks sediih sekali waktu itu. Karena ga mau pisah dan selalu ngerecokin akhirnya setahun kemudian saya didaftarkan sekolah juga. Saat itu umur saya baru 5 tahun. Dengan badan mungil dan umur yang masih kecil praktis saya selalu menjadi anak bawang di kelas. Anak bawang itu, kalau diibaratkan kartu dia itu joker, bisa kemana aja, kebal terhadap segala hukuman, dan dianggap ga pernah bersalah. Masih inget , penggilan saya dulu tuh si unyil, ada juga yang manggil ikan teri, karena saya imut-imut banget. Waktu TK malah ada temen yang suka sekali kalau duduk sambil mangku saya, xixixi.

Awalnya sih asik-asik aja, kalau ada kerja bakti di sekolah pasti dikasi kerjaan yang ringan-ringan. Mulai bermasalah, saat hari kemerdekaan tiba, tujuh belas Agustus. Udah lazim kan kalau menjelang tujuh belasan pasti banyak banget diadakan berbagai macam lomba. Lomba makan kerupuk lah, junjung botol, guli dalam sendok, balap karung, lomba lari, wah banyak deh. Saya pun sibuk ikut mendaftar, ingin  berpartisipasi dan sangat berharap bakal menang. Padahal hadiahnya ya waktu itu palingan buku tulis sama pensil.

Lomba pun dibagi dalam beberapa kategori. Salah satunya sesuai umur, ada juga sesuai kelas, misalnya kategori umur 5-7 tahun atau kelas 1-3 SD. Nah , mau ikut kategori manapaun, saya selalu menjadi peserta yang terkecil. Bisa dipastikan, tak satupun lomba tujuh belasan yang saya menangkan. Pas lomba makan kerupuk, ukuran kerupuk dengan mulut ,gedean kerupuknya, saya ngunyahnya 32 kali baru ditelen, peserta yang lain udah habis. Ikut lomba balap karung, kesrimpet terus sama si karung. Lomba lari, kaki saya kalah lebar dibanding anak lain. Hadeeeh, frustasi banget rasanya. 




Sebenarnya saya jago lompat tali, tapi entah kenapa ga pernah dilombain pas agustusan. Akhirnya lama-lama saya menyadari dengan sendirinya, pokoknya segala perlombaan yang melibatkan fisik saya harus melipir jauh-jauh, cukup jadi penonton saja. Saya sering menghayal, gimana yah biar badan saya bisa tinggi trus kaki saya bisa panjang biar bisa menang macem-macem lomba, minimal makan kerupuk.

Bertahun-tahun kemudian, setelah puluhan agustusan saya lewati, akhirnya saya menemukan si belahan jiwa. Kami tinggal di perkebunan di daerah Kisaran, Sumatera Utara. Tradisi di perkebunan setiap tujuh belasan mengadakan lomba untuk semua kalangan. Mulai dari anak-anak sampai untuk orang dewasa. Paling seru, lomba untuk suami istri. Ada lomba jogged jeruk. Jadi jeruk diletakkan diantar kening suami dan istri, terus diputar lagu dangdut dan mereka harus jogged. Siapa yang bertahan sampai akhir tanpa menjatuhkan jeruk dia yang menang. Sekali lagi saya hanya jadi penonton, soalnya malu mau ikutan.




Tapi entah mengapa, saya ingiin sekali memenangkan salah satu hadiah yang disediakan panitia. Hadiahnya sih ga seberapa, ada uang, peralatan dapur, kaos, handuk, macem-macem gitu. Dan ada piala. Wow melihat piala, mata saya berbinar-binar. Dengan tekad membara, saya kuatkan hati untuk ikut lomba apa aja deh yang penting bisa menang.

“ Yak, kepada para suami yang ingin ikut lomba gendong istri silahkan mendaftar ke meja panitia”

Aih, pucuk dicinta ulam pun tiba, dengan setengah memaksa saya seret suami ke meja panitia. Dengan wajah memelas saya bujuk dia “ Ikut yah mas, pliiisss”. Entah ikhlas entah tidak, suami saya pun mendaftakan nama kami, yess.

Tak disangka ternyata pesertanya membludak, jadilah perlombaan dibagi dalam 6 sesi. Setelah diterangkan aturannya, dan ditunjuk garis finish, saya pun segera bertengger di punggung suami. Sebelum panitia meniup peluitnya, saya bisikkan ke telinga suami, “ Mas, adek belum pernah sekalipun menang tujuh belasan, plis mas usahain ya kita menang” ;).

Priiit…….

Begitu ditiup peluit, suami pun berlari secepatnya. Ternyata ada untungnya juga saya ga terlalu ndut, jadi masih masuk dalam kategori ringan untuk digendong. Sanking serunya, penonton berteriak-teriak menyemangati. Ada pasangan yang istrinya lebih gemuk dari suami, terang saja baru beberapa langkah udah jatuh. Ada lagi yang karena gak sabaran, belum mencapai garis di salah satu ujung langsung balik menuju garis start sekaligus garis finish, akibatnya didiskualifikasi. Pokoknya lucu-lucu deh. Saya pun teriak-teriak diatas punggung suami, menyemangati dia sekaligus berpegangan erat supaya ga sampai jatuh. Udah ga peduli lagi deh, urat malu rasanya udah putus, dan ga merhatiin peserta lain.

Begitu sampai di garis finish penonton pun bersorak, horeeee… Ahahaha siapa sangka, kami jadi peserta tercepat, cihuuuy. Akhirnyaaa, saya bisa juga menang lomba tujuh belasan. Tepatnya sih suami yang menang, lah saya Cuma nangkring doang. Ga peduli lah, yang penting saya menang, horee horee.



Kalau nginget-nginget kejadian itu lagi, pasti suami saya ngomel-ngomel. Katanya, “ Sebenernya ade tuh berat tauk, mas kasihan aja ade ga pernah menang lomba makan kerupuk “. Duuh, gemes banget deh kalau dia lagi misuh-misuh gitu.

Sekarang, kalau pas tujuh belasan lagi, rasa penasaran saya tuntas sudah. Yang penting udah pernah jadi juara tujuh belasan, Puaaas deh. Tujuh belasan kali itu menjadi tujuh belasan paling membahagiakan dalam hidup saya. Tapi kalau disuruh ikutan lagi, hmmm saya ga mau  soalnya sekarang udah berat, mana kuat lagi suami gendong saya sambil lari-lari J

Itu ceritaku, kalau kamu, apa nih kenanganmu di hari kemerdekaan. Atau punya kenangan saat lebaran ?. Ikutan Kontes Kenangan Bersama Sumiyati-Radit Cellular yuks. 




Ket ; Gambar dari Google


Apa Yang Dicari 2

Friday, July 6, 2012
Apalagi yang dicari?

Pertanyaan itu menari-nari di otakku. Mengisi ruang-ruang kosong disana seperti hantu di tengah malam. Saat memutuskan pergi hanya ada satu kata yang melintas di kepalaku, " Kesempatan tidak datang dua kali" dan " Rezeki tidak boleh ditolak". Dengan mengesampingkan semua omongan orang, aku hanya fokus pada satu suara, suamiku.

Kuserahkan segala keputusan padanya.

" Pergilah, kita tidak akan tahu apa yang terjadi kalau belum menjalaninya, kalau mas larang ade saat ini, suatu saat mungkin ade akan menyesalinya"

Dan begitulah aku pergi dengan banjir airmata. Bolak -balik boarding room ke luar ke tempat ia melepasku. Satu roll tisu habis dalam sekejap. Keputusan telah dibuat, tak boleh mundur lagi.

Sehari berlalu, air mataku masih menetes. Seminggu berlalu, setiap ditelepon pasti berurai air mata. Sebulan waktu yang kubutuhkan untuk konsentrasi ke masa depan. Setahun berlalu, Jakarta-Medan ternyata hanya seperti jarak sepenggal galah.  Tidak ada jarak yang jauh, yang ada hanya jarak yang mahal.

Tak terhitung lembaran boarding pass menyesaki dompet mungilku.

Menyesal?

Pengalaman berharga tidak untuk disesali.

Dua tahun berlalu, dan aku semakin mensyukuri langkah-langkah yang membawaku ke segala tempat yang kusinggahi.

Apa lagi yang dicari?

Sayangnya , aku tak mencari apa-apa. Namun aku mendapat begitu banyak hal yang sama sekali tak terpikirkan akan kutemui. Perjalanan mempertemukanku ke pencarian yang tak tersebut.

Life is adventure.



Apa lagi yang dicari ???


"Para penumpang yang terhormat, dalam waktu beberapa saat lagi, kita akan segera mendarat di bandara Soekarno Hatta Jakarta. Waktu menunjukkan pukul enam belas lewat 20 menit dimana tidak ada perbedaan waktu antara Jogjakarta dan Jakarta “

“ Damn", sepertinya tidak akan cukup waktuku untuk mengejar penenerbangan berikutnya. 

Ternyata memilih armada yang berbeda untuk penerbangan lanjutan bukanlah ide yang brilliant, spare waktu selama dua jam yang telah kuperkirakan berantakan gara-gara alasan operasional yang sampai sekarang aku tidak tahu apa itu. Entah kenapa, para mba-mba petugas di counter ruang tunggu penumpang begitu membosankannya dengan selalu memilih alasan yang sama setiap pesawatnya delay, “ alasan operasional” fuih, alasan apa itu. Aku yakin kalau saja ada yang menanyakan alasan operasional yang dimaksud kemungkinan besar mereka tidak tahu dengan pasti apa itu. 

Yah beginilah nasib para penumpang di negeri ini, selalu harus mengalah dan cukup puas dengan sogokan kue kotak dan segelas air mineral, itu pun harus menunggu berapa lama waktu sesuai dengan pertauran yang ada. Oalaaaah…. Udah dirugikan pun tetap harus bersabar.

“ Para penumpang yang terhormat, anda dipersilahkan keluar melalui pintu depan di sebelah kiri anda”

Satu perstau  penumpang mengantri untuk keluar dari pesawat super murah yang tidak murah ini.
Dengan tergesa kuayunkan langkahku keluar dari gedung terminal 3 C . Terlihat terminal ini lain daripada terminal yang lain. Kesan mewah sengaja ditinjolkan disini. Restoran dan kafe yang mengisinya pun lebih berkelas.

Bandara, bagaimanapun mewahnya, tetap tak mampu mengusir aroma kesedihan dan perpisahan di setiap ruang udaranya. Beberapa orang menganggap bandara sebagai langkah awal untuk mencapai ke tempat tujuannya. Namun tak sedikit yang menjadikan bandara sebagai muara perjalanannya.

“Taksi”, 

“ Terminal 1 A, cepet ya pak, pesawat saya berikutnya jam lima”, kataku

Kulirik jam di pergelangan tanganku, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum waktu boarding penerbangan berikutnya.

Jarak terminal 3C dengan 1 A tidaklah terlalu jauh, namun di hari jumat seperti saat ini, segala sesuatu menjadi tidak terukur. 

Untunglah supir taksi yang satu ini seperti mengerti kegelisahanku.Tak sampai sepuluh menit kemudian aku sudah berdiri di depan counter 27 armada singa udara ini. Tanpa membuang waktu kutunjukkan tiket dan tanda pengenalku.

“ Maaf mba, untuk tujuan penerbangan ke sumatera, di terminal 1 B. disini untuk tujuan Jawa dan luar sumatera.” Kata si petugas santun

‘ WHAT!!!!!! Pindah katanya, sejak kapan? 

Memang benar kata orang, saat kita lagi terburu-buru biasanya seluruh alam akan berkonspirasi menghambat jalan di depan kita dan menjadikan semua yang terjadi seolah-olah tidak ada yang benar. 

“ Sejak dua minggu yang lalu mba” jawabnya takjim

Hufft, tanpa berkata apa-apa segera aku mencari pintu keluar, dan berlari di sepanjang lorong yang menghubungkan terminal 1A dan 1B.

Dengan nafas yang masih terengah-enagh kuserahkan tiket dan tanda pengenalku ke mas-mas penjaga counter
.
“ Maaf mba, pesawat anda sudah take off”

Oh my God, lemaslah seluruh persendianku. Percuma saja sudah berlari-lari sepanjang lorong, ternyata masih tidak terkejar juga.  “ Kalau mba mau, kita bisa pesankan tiket untuk esok hari”

Aku sudah tidak mendengarkan lagi kata-katanya. Perlahan mataku berkaca-kaca. Ya , sudah menjadi kebiasaanku, kalau terlalu emosi pasti akan menangis. Dengan gontai kulangkahkan kakiku keluar ruangan .

Ponselku bergetar-getar, kulirik nama yang tertera di layar, ah suamiku
“ Gimana ade, dah berangkat belum”
Tanpa bisa dibendung, akhirnya aku menangis terisak-isak, "Huhuhu uda ketinggalan mas”

Kira-kira seperempat jam suamiku menenenangkanku. Kalau saja ada yang melihat, pastilah mengira aku sedang menerima kabar buruk dari keluarga. Memang tampaknya demikian. 

“ Mau kemana mba” sekonyong-konyong ada seorang pria menghampiriku. Ah aku malas menjawabnya, paling-paling calo bandara yang sering berkeliaran. Sudah terlalu sering aku melihat para calo yang menawarkan jasanya. Tampak seperti menolong namun karena mereka-mereka inilah terkadang harga tiket melonjak naik. Bukan pemandangan aneh lagi jika tadinya tiket sudah habis di internet, kira-kira satu jam menjelang keberangkatan  ada yang menawarkan dengan harga yang tentu saja sudah selangit. Namun melihat pakaian yang dikenakannya, sepertinya ia adalah salah seorang petugas di bandara ini. 

“ Medan”, jawabku singkat

“ Ketinggalan pesawat ya mba, kalau mba mau saya bisa bantu mencarikan tiket untuk penerbangan berikutnya, tapi nambah 300 ribu ya mba”

Wah, seperti mendengar nyanyian selamat datang aku mendengarnya. Tanpa pikir panjang akupun mengiyakannya. Dengan bantuan, orang yang bernama Doni ini akhirnya aku bisa mendapatkan tiket untuk penerbangan malam itu. Syukurlah.

***
Cerita itu terjadi dua tahun yang lalu. Saat aku memutuskan menerima tawaran promosi dari kantor. Awalnya hanya coba-coba, iseng-iseng berhadiah. Setelah beberapa kali test, ternyata dari kantor cabang tempat aku bekerja hanya aku satu-satunya yang dinyatakan lulus. Dilema pun melanda. Antara ingin mengaktualisasikan diri dan tanggung jawab terhadap keluarga. Dengan diskusi yang sangat singkat karena waktu yang mepet, suami mengijinkanku menerimanya. Setahun pendidikan membuatku harus berpisah darinya.

Sebenarnya hal tersebut sudah aku pikirkan sebelum memutuskan pilihan ini. Namun ternyata kenyataan yang ada jauh lebih berat dari yang kubayangkan. Apalagi ditambah dalam lima bulan aku harus OJT ( On the Job Training) di Jogjakarta. Lengkaplah sudah, bukan saja jarak tempuh yang semakin jauh, plus harus melakukan dua kali penerbangan ditambah lagi budget yang harus disisihkan semakin besar. Oh nasib….

Pacaran jarak jauh? itu sih biasa. Suami istri jarak jauh?, belum punya baby?, sungguh bukan  hal biasa.

Banyak temanku mempertanyakan keputusanku. Apalagi yang aku cari?. Jika seluruh kebutuhan hidup sudah terpenuhi, apalagi yang dicari??

Ya, Apalagi yang dicari ????

Lagi Galau ( Dulu )

Sunday, June 24, 2012
Eh, saya nemu blog saya jaman dulu tahun 2007-an. Ternyata udah pernah bikin blog tapi kemudian lupa password jadi ga pernah diintip lagi. 

Tulisan saat-saat menggalau, menuju usia 25 dan panik lihat orang-orang satu persatu menemukan belahan jiwanya. Syukurlah masa-masa itu sudah terlewati.

Apa kamu pernah mengalaminya?


Kenapa ya sulit sekali menentukan kapan waktu yg tepat untuk menikah. Akhir2 ini aku kepikiran terus soal nikah,apalagi temenku si Eka kayanya juga lagi pusing soal ini.

Apa iya ya kalo dah umuran 25 harus nikah?

Trus kalau belum ketemu orang yang tepat gimana ?.

Emang ada ya orang yg bener-bener tepat ?

Hmmm mungkin  ga ada orang yg tepat hanya saja waktu yg tepat, nah kapan dong waktu yg tepat itu ?.

Tapi kalo ngomonginnya aja udah bikin seneng apalagi jalaninnya yah

Kalo kata seseorang menikah itu seperti makan nasi kotak, wih rasanya serem banget, aku kan ga suka nasi kotak.

Trus ada juga yang bilang menikah itu seperti main enggrang ( itu tuh yang pake kayu panjang trus dinaikin ) . 

Apalagi itu, kan susah naiknya, harus jaga keseimbangan , harus hati2.
hmmm apa iya serumit itu ?

Menurutku menikah itu kaya makan coklat, manis , kadang2 eneg juga tapi pasti ketagihan hehe.

Halah sok tau amat nikah aja belum

sumber :http://windiwidiastuty.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal

Just Married

Sunday, May 27, 2012
Menikah itu kayak main Enggrang
Harus jaga keseimbangan kalau gak mau jatuh

Menikah itu Kayak main Enggrang
Sehati-hatinya pun kamu, pasti pernah jatuh

Menikah itu kayak main Enggrang
Setelah jatuh kamu tetap bisa bangkit
Setelah jatuh kamu masih bisa tertawa

Jangan takut main Enggrang
Jangan Takut Untuk Menikah

Married

Menikah itu kayak makan coklat
Manis, ada pahitnya juga, kadang-kadang eneg tapi tetap bikin ketagihan

Kalau ada orang bilang coklat tidak baik untuk kesehatan, 
toh tetap penjualan coklat ga pernah ada matinya.

Menikah itu seperti makan coklat. 
Membayangkannya aja udah bikin seneng 
apalagi bener-bener makannya.

I Love Chocolate 
I Love being Married

Cicak Dan Cinta

Friday, April 20, 2012


Suamiku…..

Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah kata Alhamdulillah, namamu adalah yang pertama kusebut. Seperti tetes embun di ujung rerumputan perasaanku pagi ini, segar dan sejuk. Matahari pun seolah-olah bersinar hanya untukku. Aku sedang jatuh cinta.

Gombal….

Itu katamu, setiap aku mengucapkan tiga kata sakti itu.

Aku cinta kamu mas

Dan kau pun akan mengatakan aku ini penulis. Apapun bisa kuucapkan. Bukankah penulis seperti itu?. Pintar merangkai kata, menyulam huruf sehingga terdengar seperti nyanyian surgawi.

Namun tak urung kau jawab juga ungkapan cintaku.

Too…. Katamu, hanya itu

Padahal dari rona di wajahmu aku tahu kau sangat suka mendengar kata yang bahkan tidak kau ucapkan saat melamarku.

Cinta…..

Dulu aku sering salah memaknai cinta. Aku mendefinisikan cinta dengan berbagai bentuk yang aku yakini saat itu. Pakaianku masih putih abu-abu. Bedakku masih merk pigeon, bibirku hanya dipoles lipgloss rasa stoberi hasil kecentilanku meniru teman-teman seperjuangan.

Cinta bagiku berarti seorang laki-laki mau bersusah payah di tengah hujan membelikanku seporsi martabak mesir kesukaanku.

Cinta bagiku berarti seorang laki-laki menghujaniku dengan puisi dan menciptakan lagu khusus untukku.
Cinta bagiku, berarti aku memenangkan hati teman lelaki idola semua gadis.

Seperti itu gambaran cinta di dunia remajaku.

Seiring bertumbuhnya kedewasaanku, aku memaknai cinta dengan cara yang berbeda.

Cinta adalah kebebasan.
Cinta adalah menghargai
Cinta adalah kepercayaan

Sampai aku berkenalan denganmu.

Tidak ada denting piano dan gesekan biola yang menjadi soundtrack terlepasnya panah cupid ke jantung hatiku. Bahkan aku tak yakin bayi bersayap itu sedang bermain-main di sekitar kita saat itu.

Tidak ada kupu-kupu terbang di perutku. Semua biasa saja.

Yang justru hadir adalah seekor cicak.

Cicak…….

Kau tahu cicak?. Binatang bertubuh pucat transparan yang merangkak kesana kemari. Aku tidak suka dengannya. Lebih dari tidak suka, aku jijik. Suaranya yang berdecak-decak di malam hari membuatku susah tidur. Awal ketidaksukaanku dengannya, karena dulu di kos masa aku kuliah, ada mbahnya cicak nangkring di plafond kamarku, tokek. Tubuhnya besar menyerupai kadal. Ada corak totol-totol kehijauan menghiasi badannya. Tiap malam ia akan bernyanyi “tokek….tokek…”, dan selama 3 hari tidurku dihantui mimpi buruk. Aku takut dia merambat turun dan menggigitku. Mati-matian aku berusaha mengusirnya, tapi dia tetap betah menjadi penghuni kamar sempitku.

Kau ingat, malam sebelum ijab Kabul kita. Aku dan kamu mengusir kegalauan dengan saling bertukar suara di ujung telepon. Aku terkikik-kikik mendengar ceritamu. Orang-orang sibuk lalu-lalang mempersiapkan perhelatan cinta kita esok hari. Aku memilih sudut garasi untuk bercengkrama denganmu.

Tiba-tiba………..pluk, seekor cicak jatuh menimpaku. Tepat di atas kepalaku. Aku menjerit. Sejurus kemudian aku ketakutan. Pertanda apa ini?

Kejatuhan cicak di malam menjelang pernikahan, hal burukkah itu?. Jangan-jangan akan terjadi sesuatu denganku. Atau denganmu? Bukankah aku kejatuhan cicak saat berbicara denganmu?.

Setelahnya aku tidak dapat tidur. Aku berdoa panjang-panjang di malam itu. Semoga semua baik-baik saja. Semoga perjalananmu besok menuju rumahku akan selamat. Dan semoga semoga yang lain.

Dan ternyata, semua memang baik-baik saja. Aku segera melupakan insiden cicak tersebut.

Suamiku…

Tanpa terasa, waktu bergulir mengiringi jejek-jejak kaki kita di bilangan ke empat. Ribuan malam kita lewati. Jutaan peluk kita rasakan. Kita semakin mengenal. Sedikit –sedikit ada bagian dari dirimu yang melebur bersamaku, seperti kemalasanmu misalnya. Demikian juga, ada potongan jiwaku yang menyublim ke jiwamu.

Walau demikian, kita tetap dua orang yang berbeda. Kau tetap si pendengar, aku tetap si cerewet.  Namun selera makan kita mulai seiring. Itu kemajuan bagi hubungan kita.

Kini aku yakin, insiden cicak itu adalah pertanda baik bagi kita , hahahaha.

Dan kini defenisi cintaku berubah kembali.

Saat kau membatasiku, aku sedikit jengkel, tapi tak membuatku berfikir bahwa kau tak mencintaiku.

Suatu saat kita saling tidak menghargai. Kau mengacuhkan teleponku. Aku pun mengacuhkan dirimu. Tapi kita tetap merindu.

Atau, saat kau tak mempercayaiku karena kesleboranku, dan aku pun tak mempercayaimu karena rokokmu. Ternyata itu pun membuat kita tetap bergenggaman.

Mungkin cinta itu seperti matematika. Seperti sebuah angka dibagi nol, atau tak terhingga dibagi nol, atau tak terhingga dibagi tak terhingga, atau nol dibagi nol.

Ah, aku tak mau lagi mendefinisikan cinta. Biarlah para pujangga itu saja yang mendefinisikannya. Atau para penulis-penulis itu.

Bagiku , cinta itu kamu.


Happy Anniversary suamiku sayang

Syndrome Pulang Kondangan

Monday, March 12, 2012

Puncak dari setiap fase hidup kita selalu dilewati dengan perayaan.
Perayaan kelahiran yang dinisbatkan dengan penabalan nama.
Perayaan  menjelang akhil baligh dalam seremoni sunatan
Kelulusan sarjana digelar dengan wisuda 

Dan master dari segala perayaan, adalah perayaan cinta, bersatunya dua hati, dua keluarga, dua pribadi dan dua latar belakang dalam sebuah akad yang ditutup dengan resepsi pernikahan.

Kemarin malam saya baru saja menghadiri perhelatan akbar sebuah perayaan cinta. Saya sebut akbar karena yang menikah adalah putri dari salah seorang direktur BUMN yang  kebetulan teman kerja satu divisi dengan saya.

Begitu memasuki ruangan, seorang teman saya langsung nyeletuk dengan komentar gak pentingnya, “ Wah berapa ya harga sewa gedung ini” ( plis deh , ngapain dipikirin ),. Serentak kami menjawab, “Bukan urusan elo kale”

Jangan ditanya bagaimana megahnya pesta tersebut. Terus terang dengan tamu yang sangat berjubel dari segala golongan yang tumpah ruah disana., saya tidak sempat memperhatikan dekorasi gedung tersebut. Tapi yang pasti dari mulai pintu masuk, antrian tamu yang akan memberi ucapan selamat kepada pengantin sudah mengular.  Alih-alih memikirkan bagaimana menembus antrian tersebut, saya dan teman-teman yang notabene adalah anak kos sejati langsung kalap dengan makanan yang nangkring di setiap sudut ruangan.

Jangan bayangkan saya akan mengitari seluruh stand makanan untuk memilih mana yang akan saya cicipi, tidak sempat. Agar efisien kami langsung memulai dari yang terdekat. Dimsum, salad, lasagna,spaghetti dan zuppa-zuppa menjadi menu pembuka kami ( menu pembuka???). Konter makanan tradisional seperti gudeg, bakso, sate, nasi liwet langsung kami coret dari to do list ( bisa beli sendiri).  Dilanjutkan dengan nasi + lauk yang terdiri dari daging asap, udang goreng tepung mayones plus sapi lada hitam ( keputusan yang kemudian saya sesali karena setelah itu saya kekenyangan).

Itu masih sisi kanan ruangan. Setelah meregangkan otot-otot perut, kami pun melanjutkan gerilya makanan ke sisi kiri ruangan. Saya memutuskan memilih wafel dengan es krim dan saus coklat kemudian dilanjutkan dengan kebab dan tekwan. Sampai disini saya dan teman-teman memutuskan istirahat dulu. Kebetulan kami lihat antrian tamu yang ingin memberi selamat sudah menipis. Kami pun tidak menyia-nyiakan kesempatan segera menuju pelaminan, untuk mengucapkan selamat dan doa restu ke pasangan raja dan ratu sehari tersebut, sekaligus menegaskan kehadiran kami atas undangan mereka.

Eh di sepanjang jalan menuju pelaminan ternyata masih banyak hidangan yang belum kami eksplore. Dari bebek Hainan, rib steak, ikan salmon, sampai aneka kue dan buah yang tadi luput dari perhatian. Oh my  God, melihat semua itu saya dan teman saling pandang-pandangan. Huwaaa kami kekenyangan dan udah ga sanggup lagi mencerna semuanya. Itu adalah moment paling menyedihkan dalam hidup anak kos. Dimana melihat makanan bergelimpangan tapi tak bisa lagi menikmati dan sadar besok pagi tidak punya makanan apapun di kos, oh hidup hidup.

Selesai dari acara, kami segera pulang dan dilanda syndrome kekenyangan. Di dalam mobil  yang hanya berisi empat orang tersebut, selain syndrome kekenyangan ternyata kami pun dilanda syndrome galau. Tiga diantara kami sudah menikah termasuk saya . Dan hanya satu orang teman saya yang masih single, cewek.

Dan dimulailah pembicaraan galau meracau.

“Aduh, pestanya mewah banget. Gimana yah nanti kalau gw pesta, gw kan bukan anak pejabat mana bisa buat pesta semewah itu “ ( Galau 1 )

“ Dan sampai sekarang gw belum punya pasangan, kapan nikahnya nih” ( Galau 2)

“ Kenapa ya gw selalu ketemu cowok-cowok yang gak pernah serius, apa gw sebegitu gak menariknya untuk dijadikan calon istri “ ( Galau 3).

Hahaha, saya melongo, percaya atau tidak , saya pun pernah mengalami hal tersebut beberapa tahun lalu. Dimana setiap pulang kondangan saya langsung terkena penyakit bisu mendadak, rasa bahagia melihat teman menemukan separuh jiwanya yang  disertai perut mules bercampur dengan rasa iri tiada tara. 

“ Kok bisa ya, dia nikah dengan pacar pertamanya, so sweet banget sih”

Atau ga

“ Duh, pasangan serasi banget sih, yang satu anaknya siapa yang satu anaknya siapa, pasti mereka dulu lahir di spring bed deh”

Atau begini

“ Ya ampun, si cowok kerja di Freeport, yang cewek dokter, dunia sungguh tidak adil”

Dilanjutkan dengan

“Kapan giliran gue…. “ ( mewek)

Oke Lanjut.

Masih mengenai teman saya tadi. Teman saya ini terkenal dengan sikapnya yang rame, apa ya kalo dalam bahasa Indonesia, yah sedikit pecicilan gitu deh. Tapi dia tuh anaknya polos banget, baik dan positive thinking. Pembicaraan pun berlanjut dengan pertanyaannya.

“ Apa gw harus berubah dulu jadi lebih kalem gitu, biar cowok-cowok senang dan ga malu-maluin jadi calon menantu?”

Can You Believe it ?

Ternyata di jaman serba modern gini, dimana kesetaraan gender gaungnya udah sampe ke seantereo jagad raya masih ada aja perempuan yang ngerasa harus menjadi seseorang yang diinginkan orang lain untuk membuat dirinya berharga.

Saya langsung mengguncang tubuhnya sambil teriak.

“Hello, hari gini, kalo kamu ga ngerasa dirimu cukup berharga untuk dicintai, jangan harap orang lain menghargaimu.”

Yah itulah realita, kita hidup di jaman dan lingkungan dimana masih ada anggapan setinggi apapun karir seseorang, entah itu laki atau perempuan, seberapa cantik atau tampannya dirimu, seberapa terkenal dan pentingnya kamu, kalo belum ada kata-kata “ sah  sah”, sepertinya belum dianggap sukses. Oh what a life?

Maka tak heran banyak status galau menghiasi timeline social media. Ujung-ujungnya perasaan desperado akan melanda diri saat melihat gerakan umur yang semakin hari semakin beranjak mendekati limit wajar suatu perhelatan. Ah miris.

Apakah itu karena jumlah wanita lebih banyak dari pria, sehingga begitu sering kita melihat wanita single, mapan, sukses yang masih sendiri di umur mendekati kepala tiga?

Tunggu dulu. 

Tiga hari yang lalu saya mengikuti polling di Yahoo di rubrik apa saya lupa, yang kaya Oh My God itulah. Di polling tersebut dipaparkan begitu banyak perempuan single di kota Jakarta. Pertanyaannya ,apakah pernikahan itu suatu keharusan??

Saya tidak ingin membahas soal pertanyaan polling tersebut. Namun nyatanya di sekeliling saya sangat banyak dijumpai pria-pria mapan di usia after tiga puluh yang juga single, dengan jumlah sebanyak perempuan single yang mengaku susah mencari pasangan hidup saat ini. Nah lho, berarti bukan masalah jumlah. Tapi ada yang lebih substansial disitu.

Pertanyaan sebesar toge muncul, kenapa mereka ga saling melihat dan saling menjajaki satu sama lain??

Di usia saya yang ke 24 tahun  lima tahun yang lalu, saya sempat mengalami kegamangan hidup luar biasa. Dimulai dengan kandasnya hubungan asmara saya dengan seseorang yang merupakan kandidat terbesar calon suami. Beberapa bulan lagi usia saya mendekati seperempat abad. Alarm biologis saya mulai berbunyi, waspada. Saya pikir saat itu, saya ga akan bisa lagi menjalin hubungan baru. Bagaimana tidak, saya tinggal di kota kecil, ditambah diri saya yang tidak gaul sama sekali, rasanya sangat kecil kemungkinan saya akan bertemu dengan orang baru yang berpotensi menjadi calon suami.

Sempat terlintas di benak saya untuk melanjutkan kuliah S2. Bukan, bukan karena ingin mengupgrade pengetahuan saya. Tapi lebih kepada keinginan untuk mencoba dunia baru. Siapa tahu dapat kenalan disana. Bukankah dunia perkuliahan selalu memberi peluang untuk dunia percintaan, hahahaha, stupid.

Syukurlah niat itu belum terlaksana, saya sudah bertemu dengan seorang pria yang telah mematri namanya di prasasti hatiku ( cieee).

Karena sudah pernah menjalaninya, maka saya berani mengatakan ini. 

Ladies, siapapun anda, jangan pernah mau mengikuti parameter yang ditentukan orang lain untuk hidupmu. Apalagi untuk urusan jodoh. Kalau kamu orang yang pendiam, tidak usah memaksakan diri menjadi perempuan supel yang gampang ber haha hihi. Begitu pun sebaliknya, ngapain kamu susah payah menahan diri untuk menjadi perempuan kalem demi memuaskan penilaian orang lain.

Selera itu, seperti kata Albert Einstein adalah hal yang relative. Biarkan tangan Nya yang mempertemukan dirimu dengan jodoh yang bisa menerimamu dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kamu miliki. 

Di suatu tempat entah dimana, pasti ada seseorang yang menganggap dirimu indah dan patut untuk diperjuangkan. 

Kalau kalian pernah menonton serial Friends, disitu ada adegan dimana Ross mengatakan kepada Rachel. “ Rachel, nantinya kamu akan bertemu seseorang yang saat bangun tidur dan melihatmu ada disisinya, akan mengatakan “ Wow I’m with Rachel”. Itulah moment dimana kamu tahu seseorang itu menganggap dirimu begitu berharga. Tentu saja dalam konteks ini tidak perlu sampai tidur bareng ;).

Jadi kalau ada seorang pria yang meminta untuk merubah kepribadianmu, apalagi yang harus dirubah bukan sesuatu yang berhubungan dengan akhlakmu ( contohnya tadi sifat pendiam, rame, kocak) , trust me he’s not the one. 

 Jangan habiskan energimu untuk mempertahankannya.

Akan ada saatnya, seseorang hadir dengan seizin-Nya. Memberimu sejuta warna pelangi, dan saat ini kamu tahu waktunya telah tiba. Pun kalau saat itu tidak datang juga. Yakinlah ada rencana indah yang disiapkan Nya untuk dirimu.

Kata Dian Satro, “Karena kamu begitu berharga”


Masa Lalu

Friday, March 2, 2012


Salah satu hal yang paling enggan dan sungkan untuk diungkapkan kepada pasangan adalah masa lalu. Apalagi latar belakang pergaulan yang berbeda, pastinya membuat berbahaya membicarakan tema sensitif ini. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari sebuah pernikahan, termasuk keterbukaan. Tapi, apa iya harus mengatakan semuanya?

Ini adalah tahun-tahun awal pernikahanku. Aku ingin berusaha membuatnya mengenalku apa adanya.Termasuk tentang masa lalu. Saat dia bertanya tentang si A,si B kubiarkan ia tahu. Terus terang aku merasa begitu malu dengan masa laluku yang diwarnai kejahiliyahan. Aku malu dengan karakterku yang begitu terbuka, interaksi-interaksi masa laluku dengan teman-temanku yang kebanyakan pria, yang dia katakan terlalu terbuka. 

***
Apa kabar ndi… sekarang tinggal dimana

Sebaris SMS itu kuterima tadi sore. Melihat nama pengirimnya, seketika ada yang berdebar di hati ini. Nama itu…. dulu pernah menghidupkan mimpi-mimpiku. Menggoreskan warna warni di hatiku.  Empat bulan telah berlalu sejak kata” sah” diucapkan para saksi di pernikahanku. Ini pertama kalinya ia berinteraksi kembali denganku. Sebersit senyum terbit di bibirku. Ah, dia masih memikirkanku batinku.

Cepat kutekan tombol delete di inboxku. Dia bukan siapa-siapaku lagi.

***
Mohon doanya, bulan depan aku akan menikah

Sebaris SMS kukirim untuknya lima bulan yang lalu

“Yang bener ndi, dengan siapa?,dimana kenalnya?,kapan? Kok cepat banget”

Bertubi-tubi pertanyaan dilontarkannya. Saat itu aku tersenyum geli. Sudah setahun lebih kami berpisah, belakangan hubungan aku dan dia sebatas teman saja. Seperti istilah anak remaja, kami putus baik-baik, makanya tetap bisa berteman, karena dulunya dia memang sahabat karibku.

“ Iya, dikenalin teman, insyaAllah baik, mohon doanya saja” kujawab dengan singkat.

Itulah terekhir kali kami melakukan komunikasi. Setelah hari itu, aku sibuk dengan kehidupan baruku. Kuharap dia pun demikian.

***

Pagi-pagi saat bangun, aku lihat suamiku sudah duduk di depan TV. Wajahnya muram. Kulihat ia sedang mengenggam handphoneku.

“ Ada telepon dari siapa mas” tanyaku

Ia diam saja. Matanya memandang tajam ke arahku.

Aku tak mengerti, merasa tak ada yang salah.

“ Kenapa kamu masih berhubungan dengan mantan-mantanmu” tanya suamiku

Pelan, namun mampu membuatku terkesiap. Kuingat-ingat lagi. Sepertinya sms terakhir kemarin sudah kuhapus.

Aku diam saja. Menunggu ia selesai bicara.

“ Nih tadi malam, dia sms kamu, ngasi tau film kesukaanmu lagi tayang di televisi” dingin suaranya sambil menyerahkan HP ku.

Aku tertunduk malu. Dalam hati ada amarah yang tak terbendung. Mengapa masih mengirimiku sms-sms murahan seperti itu.

Kulihat suamiku termenung. Matanya menatap kosong ke depan, Kudekati dirinya.

“ Mas, ade ga tau, kenapa dia sms ade, jangan marah ya”

Kulihat air mukanya mulai berubah, sedikit tenang. Sambil menghela nafas, dia menatapku.
Hari itu dia menjelaskan panjang lebar padaku bahwa masa lalu memang tidak bisa diubah. Itu adalah bagian dari hidupku. Namun ia tidak suka aku masih berhubungan dengan teman-teman lelakiku dahulu, apalagi mantan pacarku. Hari itu aku merasakan sesuatu yang membuatku begitu sesak. Antara rasa malu, marah,cemas, menyesal dan semua emosi yang begitu warna warni. Kadang kebenaran itu begitu menyakitkan . Hari itu aku mendengar kriktik pertama dari dia, tentang kesleboranku pergaulanku..

Kecairan interaksiku dengan lawan jenis, meski aku hanya menggangap sebatas teman, membuatku tersadar bahwa suamiku seorang yang mulia, terjaga.

Kusadari, diriku yang dulunya suka berhaha hihi sama setiap orang pastilah sangat berbeda dengan dirinya. Malah dia mengatakan aku terlalu berani menatap lawan bicara, yang akan berpotensi menimbulkan salah paham. Kadang dalam hati aku masih membela diri bahwa kalau ada yang GR bukan salah aku dong, masa aku harus menjaga hati setiap orang.

Sungguh betapa aku diam-diam selalu mensyukuri kehadirannya. Aku memang malu dengan masa laluku, tapi aku semakin ingin menjadikan dia bangga di masa mendatang. 

Hari itu, aku belajar bagaimana menghargai rasa cemburu yang mungkin muncul dihati para suami. Caranya menegurku membuatku berjanji untuk tidak lagi membuatnya tak berkenan.. Bukankah cinta melatih kepekaan untuk menghargai perasaan ?

Suamiku sayang …. Maafkan aku. 

***

Kubuka tutup belakang hpku. Kulepas simcard yang ada. Dengan mantap kupatahkan menjadi dua.

Selamat tinggal masa lalu.

Di ambang pintu kulihat suamiku tersenyum sambil berjalan mendekatiku


Gambar dari Sini



( Untuk suamiku tercinta… aku hanya ingin berproses menjadi seorang yang berbeda di masa depan, bersamamu ! )

Custom Post Signature