Menertawakan Musibah

Tuesday, February 21, 2017



Tahun 2004, saat tsunami menerjang Aceh dan sekitarnya, banyak spekulasi bermunculan. 

Kaum agamais menyebut bencana tersebut sebagai murka Tuhan. Bahkan di awal bencana terjadi penyanyi cilik Sherina menyanyikan lagu dengan lirik yang menyatakan bahwa semua ini adalah murka Tuhan.

" Tuhan marahkah kau padaku
Sungguh besar .....murkamu..
Kau hempaskan jarimu di ujung Banda"

Namun, akhirnya lirik tersebut diganti. Kalimat kedua yang berisi kata murka diganti menjadi "Inikah akhir duniaku"

Karena memang saat itu begitu banyak korban yang jatuh, tidak hanya di Aceh, tapi juga di Srilanka, India dan Thailand. Menyebut bencana yang membuat hati siapapun bakal menangis itu sebuah murka Tuhan, sungguh bukan sesuatu yang bijak.


27 Januari 632 Masehi atau menjelang awal Zulkaidah 10 H, gerhana matahari terjadi di jazirah Arab bertepatan dengan peristiwa meninggalnya putra Nabi Muhammad SAW. Saat itu banyak orang yang mengkaitkan gerhana sebagai tanda bahwa Allah sedang bersedih. 

Namun Rasul langsung menyangkalnya. Beliau menyampaikan bahwa gerhana matahari bukanlah karena kematian atau kelahiran seseorang, melainkan salah satu tanda kekuasaan Allah.

Peristiwa alam, sering sekali dikaitkan dengan sifat Ketuhanan.

Mungkin Tuhan lagi bersedih
Mungkin Tuhan sedang Murka

Padahal yang namanya peristiwa alam bisa terjadi kapan saja.

Banjir, gempa, tsunami, longsor, gunung meletus, adalah tanda-tanda kekuasaan Tuhan, bukan suatu hal yang harus selalu dikaitkan dengan perasaan Tuhan.

Seolah-olah kita tahu isi hati Tuhan.


Hari ini, kembali manusia menebak-nebak suasana hati Tuhan.

Banjir yang melanda ibukota disebut-sebut sebagai murka Tuhan. Tak sedikit malah yang bergembira.

Iya gembira karena menurutnya Tuhan sedang menunjukkan Kuasanya.

Menunjukkan kuasa dengan mengirimkan bencana.

Iya, Tuhan sedang murka kepada seseorang, sehingga mengirim banjir ke seluruh negeri. Karena kenyataannya di kota-kota besar negeri ini, Semarang, Brebes, Solo, Bali,Mojokerto, Bekasi, Depok, Tangerang juga ikutan banjir.

Apakah Tuhan juga sedang Murka disana?

Siapa disana yang mulutnya seperti jamban?



Saya ngga habis mengerti, apa yang terjadi pada diri kita , saat ini.

Apakah seperti itu saja batas pemahaman kita soal sifat Tuhan yang maha kuasa, maha berkehendak, maha mengetahui, maha pengasih, maha penyayang.

Apakah Tuhan seperti yang kita gambarkan?

Ehm sebenarnya pertanyaan saya lebih ke apakah memang kita tahu isi hati Sang Kuasa, hingga seenaknya menduga-duga.

Seolah-olah Tuhan adalah pengirim malapetaka.

Padahal manusialah penyebab malapetaka itu sendiri, kok malah nyalah-nyalahin Tuhan


Lebih jauh lagi, apakah kebencian terhadap seseorang, bisa membuat seseorang menertawakan musibah, mensyukuri kesusahan orang lain, hanya demi pembuktian sebuah kalimat " Tuh kaaan, sombong sih lo, lihat nih ditunjukin Tuhan kan ke muka lo"

Tapi kan siapa suruh takabur.

Jepang dulu juga dibilang takabur,  sesumbar mengatakan bangunan mereka anti gempa.

Saat gempa mengguncang Negara mereka dan jatuh banyak korban,  apa membuat kita wajar saja mengatakan " Rasain takabur sih"

Atau saat ada teman membanggakan anaknya.

" Anak gw dong ga pernah muntah lagi lho,  soalnya aku udah Kasih macam-macam vitamin"

Trus tiba-tiba anaknya muntah,  masa iya kita bilang " Hahahaha syukuri sombong sih,  tuh muntah kan anaknya"

Ngga kaaan,  ngga kaaaan. 

Padahal kalau mau menelaah. bencana alam apapun itu adalah sesuatu yang bisa dijelaskan secara ilmiah.

Mau banjir, longsor, gempa, tsunami, bisa dijelaskan.

Tidak melulu soal murka Tuhan, tapi ada andil tangan manusia disana.

Nyatanya banjir Jakarta kali ini juga terjadi di belahan bumi lain.  Ngga cuma di Jakarta aja. 

Kalau mau dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa agama di jaman dulu kala pun sepertinya tidak tepat.

Memang kalau kita baca di banyak literatur, banyak kisah yang menceritakan bencana di jaman nabi karena murka Allah. Sebut saja bencana banjir yang terjadi pada kaum Nuh, atau bencana lain pada kaum 'Aad, Tsamud, Ibrahim, penduduk Madyan.

Namun bersyukur atas sebuah bencana apalagi sampai menjadikannya bahan lelucon kok kayaknya seperti kehilangan sisi kemanusiaan.

Mungkin perlu ditanya ke hati masing-masing, apakah sebuah peristiwa, apapun itu, atau sebuah nomongan manusia lain, atau sebuah ketakaburan orang bisa mensahkan mensyukuri musibah?

Apakah benar bahwa Tuhan sedang murka, sehingga orang berhak menertawakan sesumbar orang lain karena merasa sedang dibela Tuhannya?

Bagi teman-teman yang lagi terkena banjir atau musibah dimanapun, hati-hati ya, semoga banjir cepet surut, aamiin.




“Jangan menertawakan musibah yang menimpa saudaramu. Bisa jadi Allah akan merahmatinya dan berbalik mengujimu” [HR. Tirmidizi]



3 comments on "Menertawakan Musibah"
  1. Sedih ya Kak kalo ada orang yang mulutnya begitu. Orang lagi ditimpa musibah harus didoakan, disemangatin, bukan malah diketawain. Huhu. *kirim doa untuk teman-teman yang daerahnya lagi dilanda banjir, semoga lekas surut. Aamiin. :’)

    ReplyDelete
  2. akupun heran loh mbak Windi sama reaksi banyak orang yang semangat menyudutkan satu orang tapi lupa sama perasaan orang banyak yang terkena musibah.

    ReplyDelete
  3. Sedih banget kalo ada orang yang kayak gitu huhuhu

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga senang yah main kesini :)

Custom Post Signature