Nggak Level

Thursday, April 26, 2012

Kemarin siang saya ingin sekali makan soto kudus . Sejak satu jam sebelum waktu menunjukkan pukul 12, saya sudah membayangkan segarnya semangkok soto daging plus segelas es teh manis. Hmm pasti maknyus.

Jam 12 teng, saya segera berjejalan dengan warga kantor mengikuti kata hati dan suara di perut saya. Tampaknya hidup di Jakarta memang segala sesuatunya penuh perjuangan. Ga percaya?

Coba antri lift saat jam makan siang di gedung BRI. 

Setelah antrian di menit ke lima belas, akhirnya saya pun berhasil melalui perjuangan hidup pertama dengan mendaratnya kaki saya  di lantai dasar. Tanpa membuang waktu, saya focus pada tujuan hidup saat itu, Be We, tempat makan “segalanya ada” yang melayani warga 3 gedung perkantoran yang kelaparan

Setelah memesan si soto idaman, mata saya nyalang menyusuri deretan bangku demi bangku yang penuh sesak oleh warga seantereo bendungan hilir.

Kamu bilang hidup ini susah?

Buktikan dengan mencari tempat duduk di Food Court terlengkap di bendungan hilir ini. Setelah itu , bandingkan dengan susahnya hidupmu.

*****

“ Itulah kalau perempuan ga bekerja, pikirannya sempit. Abis kerjaannya cuma nonton sinetron dan gossip doang sih. Ga kayak kita, ada kesibukan, pergaulannya juga beda, jadi lebih melek sama perkembangan jaman. Lain kali ga usah ngajak si Ika deh, ga nyambung, levelnya beda.”

Lah, yang dilakukan barusan itu apa, bukannya menggosip?. 

Saya tutup buku yang saya baca sambil meninggalkan taman tersebut, menjauhi wanita-wanita karir yang begitu jumawa dengan statusnya, mengganggap dirinya lebih tinggi dari ibu rumah tangga, merasa lebih berpendidikan dan lebih modern dari para wanita yang mengabdikan dirinya menjadi full mother.

***
Aaaah, setelah seminggu penuh wara-wiri Jakarta-Bengkulu akhirnya terkabul juga keinginan bebas dari rutinitas kantor. Cuti sehari sambil memanjakan diri sejenak di salon adalah sebentuk surga kecil di dunia. Hampir saja mata saya terpejam menikmati pijatan lembut  si mba di pundak, sambil menunggu creambath di rambut meresap.

“ Eh, bu Ira kemana, kok ga ikut nyalon hari ini”
“ Biasa, akhir bulan, banyak kerjaan di kantornya”
“ Wah, ternyata enakan kita ya jeng, bisa kapan aja ke salon, ga perlu kerja keras, tiap bulan ditransfer suami, ngapain capek-capek “
“ Iya, padahal sama aja yah, pemasukan dua tapi kan pengeluaran juga dua “
“ Oya, arisan periode depan, kita-kita aja yah, biar gampang ngatur waktunya”

Dan cekikikan kedua sosialita tadi sukses menghalangi bertemunya kedua kelopak mata saya.

Diskriminasi

Yah, dalam kasus ini, Para perempuan tersebut sudah mendiskriminasikan perempuan lain. Berlaku tidak adil karena perbedaan. Baik perbedaan fisik maupun perbedaan status.

Si perempuan ber blazer executive, dengan sepatu high heels yang akan mengeluarkan suara tuk tuk tuk kalau berjalan, merasa dirinyalah ikon kartini masa kini. Berfikiran terbuka, dan dialah si perempuan abad 21. Hingga memandang rendah wanita tidak bekerja dan tidak pantas masuk dalam golongannya.

Mungkin sekali, ia tidak mengerti bagaimana nikmatnya mengurusi seluruh kebutuhan keluarga, menyiapkan sarapan suami, mengantar anak-anak sekolah dan dengan senyum sesegar pop ice menyambut suami yang telah berlelah-lelah menafkahinya. Disitu terdapat ladang pahala dari keikhlasannya.

Di sisi lain, full mother merasa kasihan dengan si wanita karir yang harus berjibaku di hiruk pikuk dunia kerja, yang menurut kacamatanya tidak senyaman istana yang didiaminya sepanjang hari. Hingga terkadang, dalam pergaulan mereka mengkotak-kotakkan diri, dengan membaur hanya sesama IRT, dan menganggap wanita bekerja ancaman bagi mereka.

Bisa jadi, ia tidak tahu, betapa menyenangkannya menemukan dan belajar hal-hal baru di tempat kerja, pengalaman bertemu orang-orang dari segala bidang dan membantu perekonomian keluarga. Disitu pula ada ladang ibadah jika ia bekerja dengan ridho suami , gajinya bisa untuk memperbanyak sedekah, membantu keluarga dan bukan hanya sekedar ajang eksistensi diri.

Kalau saja, mereka saling menghargai pilihan pihak lain, saling berempati kepada yang lain, pasti tidak ada pelecehan dan sikap merendahkan sesama wanita.

Kesetaraan?? kata apa itu?







Cicak Dan Cinta

Friday, April 20, 2012


Suamiku…..

Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah kata Alhamdulillah, namamu adalah yang pertama kusebut. Seperti tetes embun di ujung rerumputan perasaanku pagi ini, segar dan sejuk. Matahari pun seolah-olah bersinar hanya untukku. Aku sedang jatuh cinta.

Gombal….

Itu katamu, setiap aku mengucapkan tiga kata sakti itu.

Aku cinta kamu mas

Dan kau pun akan mengatakan aku ini penulis. Apapun bisa kuucapkan. Bukankah penulis seperti itu?. Pintar merangkai kata, menyulam huruf sehingga terdengar seperti nyanyian surgawi.

Namun tak urung kau jawab juga ungkapan cintaku.

Too…. Katamu, hanya itu

Padahal dari rona di wajahmu aku tahu kau sangat suka mendengar kata yang bahkan tidak kau ucapkan saat melamarku.

Cinta…..

Dulu aku sering salah memaknai cinta. Aku mendefinisikan cinta dengan berbagai bentuk yang aku yakini saat itu. Pakaianku masih putih abu-abu. Bedakku masih merk pigeon, bibirku hanya dipoles lipgloss rasa stoberi hasil kecentilanku meniru teman-teman seperjuangan.

Cinta bagiku berarti seorang laki-laki mau bersusah payah di tengah hujan membelikanku seporsi martabak mesir kesukaanku.

Cinta bagiku berarti seorang laki-laki menghujaniku dengan puisi dan menciptakan lagu khusus untukku.
Cinta bagiku, berarti aku memenangkan hati teman lelaki idola semua gadis.

Seperti itu gambaran cinta di dunia remajaku.

Seiring bertumbuhnya kedewasaanku, aku memaknai cinta dengan cara yang berbeda.

Cinta adalah kebebasan.
Cinta adalah menghargai
Cinta adalah kepercayaan

Sampai aku berkenalan denganmu.

Tidak ada denting piano dan gesekan biola yang menjadi soundtrack terlepasnya panah cupid ke jantung hatiku. Bahkan aku tak yakin bayi bersayap itu sedang bermain-main di sekitar kita saat itu.

Tidak ada kupu-kupu terbang di perutku. Semua biasa saja.

Yang justru hadir adalah seekor cicak.

Cicak…….

Kau tahu cicak?. Binatang bertubuh pucat transparan yang merangkak kesana kemari. Aku tidak suka dengannya. Lebih dari tidak suka, aku jijik. Suaranya yang berdecak-decak di malam hari membuatku susah tidur. Awal ketidaksukaanku dengannya, karena dulu di kos masa aku kuliah, ada mbahnya cicak nangkring di plafond kamarku, tokek. Tubuhnya besar menyerupai kadal. Ada corak totol-totol kehijauan menghiasi badannya. Tiap malam ia akan bernyanyi “tokek….tokek…”, dan selama 3 hari tidurku dihantui mimpi buruk. Aku takut dia merambat turun dan menggigitku. Mati-matian aku berusaha mengusirnya, tapi dia tetap betah menjadi penghuni kamar sempitku.

Kau ingat, malam sebelum ijab Kabul kita. Aku dan kamu mengusir kegalauan dengan saling bertukar suara di ujung telepon. Aku terkikik-kikik mendengar ceritamu. Orang-orang sibuk lalu-lalang mempersiapkan perhelatan cinta kita esok hari. Aku memilih sudut garasi untuk bercengkrama denganmu.

Tiba-tiba………..pluk, seekor cicak jatuh menimpaku. Tepat di atas kepalaku. Aku menjerit. Sejurus kemudian aku ketakutan. Pertanda apa ini?

Kejatuhan cicak di malam menjelang pernikahan, hal burukkah itu?. Jangan-jangan akan terjadi sesuatu denganku. Atau denganmu? Bukankah aku kejatuhan cicak saat berbicara denganmu?.

Setelahnya aku tidak dapat tidur. Aku berdoa panjang-panjang di malam itu. Semoga semua baik-baik saja. Semoga perjalananmu besok menuju rumahku akan selamat. Dan semoga semoga yang lain.

Dan ternyata, semua memang baik-baik saja. Aku segera melupakan insiden cicak tersebut.

Suamiku…

Tanpa terasa, waktu bergulir mengiringi jejek-jejak kaki kita di bilangan ke empat. Ribuan malam kita lewati. Jutaan peluk kita rasakan. Kita semakin mengenal. Sedikit –sedikit ada bagian dari dirimu yang melebur bersamaku, seperti kemalasanmu misalnya. Demikian juga, ada potongan jiwaku yang menyublim ke jiwamu.

Walau demikian, kita tetap dua orang yang berbeda. Kau tetap si pendengar, aku tetap si cerewet.  Namun selera makan kita mulai seiring. Itu kemajuan bagi hubungan kita.

Kini aku yakin, insiden cicak itu adalah pertanda baik bagi kita , hahahaha.

Dan kini defenisi cintaku berubah kembali.

Saat kau membatasiku, aku sedikit jengkel, tapi tak membuatku berfikir bahwa kau tak mencintaiku.

Suatu saat kita saling tidak menghargai. Kau mengacuhkan teleponku. Aku pun mengacuhkan dirimu. Tapi kita tetap merindu.

Atau, saat kau tak mempercayaiku karena kesleboranku, dan aku pun tak mempercayaimu karena rokokmu. Ternyata itu pun membuat kita tetap bergenggaman.

Mungkin cinta itu seperti matematika. Seperti sebuah angka dibagi nol, atau tak terhingga dibagi nol, atau tak terhingga dibagi tak terhingga, atau nol dibagi nol.

Ah, aku tak mau lagi mendefinisikan cinta. Biarlah para pujangga itu saja yang mendefinisikannya. Atau para penulis-penulis itu.

Bagiku , cinta itu kamu.


Happy Anniversary suamiku sayang

Potong Saja Kukunya, Jangan Kaki Yang Diamputasi

Wednesday, April 18, 2012


Sebenarnya saya mau nulis ini dari beberapa minggu yang lalu, tapi tersebab beberapa hal yang membuat saya seolah-olah dikejar waktu, akhirnya baru sempet corat-coret sekarang. Makanya harap maklum kalau isu yang diangkat sudah begitu basi. Mudah-mudahan yang baca ga sakit perut hehehe.

Kira-kira dua minggu yang lalu saya berada dalam kondisi kesehatan yang sangat rendah. Malam hari sepulang dari Medan tubuh saya menggigil hebat. Malam itu saya demam tinggi. Tapi keesokan paginya saya paksakan diri untuk ke kantor, soalnya saya baru cuti selama seminggu. Dan sakit setelah cuti adalah suatu hal yang sangat diharamkan di kantor saya.

Setelah memeriksakan diri ke dokter, didiagnosa saya menderita infeksi saluran kemih atau dalam bahasa gaulnya ISPA ( Infeksi Saluran Pipis Akut). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri dan bakteri inilah yang menyebabkan saya demam yang diikuti rasa menggigil. Namun, lagi-lagi saya tidak mau istirahat di kos, karena pekerjaan yang menumpuk setelah cuti panjang tadi.

Tapi apa daya, dihari keempat saya ambruk juga. Demam saya tinggi sekali, kepala pusing, perut mulas dan pinggang saya sakit bukan main. Pagi-pagi buta saya keluar dari kos, menyetop taksi langsung menuju rumah sakit terdekat, sendiri.

Saya langsung menuju IGD ( instalasi Gawat Darurat), mendaftarkan diri saya yang diikuti dengan pertanyaan dokter jaganya.

“ Siapa yang sakit mba”
“ Saya dok”
“ Tadi kesini diantar siapa?”
“Sendirian”

Kemudian si dokter dan perawat saling memandang ( emang aneh ya ke dokter sendirian?)

Saya beritahu, biaya pendaftaran pasien di rumah sakit tersebut adalah Rp 120 ribu. Catatan : ini adalah rumah sakit umum dengan fasilitas ala kadarnya dan pelayanan yang memprihatinkan ( saya sempat dibentak sama perawatnya karena saya protes kok tangan saya yang diinfus sebelah kanan, saya minta yang kiri saja)

Kemudian setelah menanyakan keluhan saya, saya pun disuruh berbaring di tempat tidur yang tersedia. Periksa tensi, ambil darah, nampung urine, dibawa ke lab. Hasil lab keluar, positif saya memang terkena ISPA plus typus. Biaya lab Rp 176 ribu. Saya dianjurkan untuk opname. Saya pasrah saja. Toh di kos juga ga ada yang merawat saya.

Maka saya harus mendaftarkan diri lagi untuk rawat inap. Setelah melihat harga kamar, saya putuskan untuk menempati kamar kelas II. Biaya satu malam Rp 245 ribu. Sebelum dipindahkan ke kamar, saya diinfus dulu, plus diijeksikan antibiotik. Biaya tindakan gawat darurat Rp 138 ribu. Obat-obatan plus administrasi Rp 325 ribu. Total biaya yang saya keluarkan, bahkan saya belum diantar ke kamar adalah Rp 1.004.000. Heeeeh, sampai disini saya ingin menarik nafas panjang. Dompet saya langsung kosong.

Kamar kelas II diisi oleh tiga orang pasien. Di sebelah saya, terbaring seorang ibu yang ditunggui anak lelakinya. Entah berapa kali si ibu merengek untuk dibawa pulang oleh anaknya. Saya dengar dia berbisik pelan ke lajangnya.

“ Ibu sudah sehat kok, besok pulang aja ya, sayang uangnya”

Saya hanya bisa menghela nafas panjang (lagi).

Tak lama, masuk pasien baru. Gadis remaja, demam berdarah. Ia ditemani oleh ibunya. Mungkin karena bosan si ibu jalan-jalan ke tempat tidur saya. Berbincang ala kadarnya. Dari situ saya tahu ia seorang janda, pekerjaanya berdagang. Sampai detik ia berbincang dengan saya, ia sudah harus mengeluarkan uang Rp 3 juta untuk biaya berobat putrinya, karena ia diwajibkan si rumah sakit untuk membayar biaya kamar langsung sepuluh hari di depan. Itu belum termasuk obat-obatan dan pemeriksaan lab.

Siangnya teman kantor saya datang menjenguk. Melihat kondisi rumah sakit yang sepertinya bisa diramalkan saya akan bertambah sakit disitu, maka saya dipindahkan teman saya ( atas persetujuan kantor) ke rumah sakit yang jauh lebih baik . Syukurlah…

Rumah sakit yang baru berbeda 180 derajat dari RS pertama. Bagai surga dan neraka perbandingannya ( kaya pernah aja kesana  hihi ). Rumah sakit ini wangi, bersih, mewah, dan pelayanannya sangat memuaskan. Namun, “ ada rupa ada harga”, selama dua hari saya dirawat disitu, biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp 5.600.000. Untunglah saya tidak harus mengeluarkan biaya sepeser pun, karena saya dijamin oleh perusahaan.

Setelah pulang dari RS, hati saya teriris-iris, membayangkan dua pasien yang sekamar dengan saya kemarin. Bayangkan, saya saja yang punya penghasilan tetap dan belum mempunyai tanggungan merasa berat sekali harus mengeluarkan uang sebesar 1 juta lebih  di rumah sakit yang pertama. Itu adalah rumah sakit umum, tempat dimana masyarakat kelas menengah ke bawah berobat.

Alangkah mahalnya biaya kesehatan di negeri ini. Baru mendaftar sebagai pasien saja sudah harus mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah. Belum obat-obatannya. Pantas lah banyak orang sakit yang tidak mau berobat ke rumah sakit. Mati mengenaskan di deretan rumah-rumah kardus. Menikmati perih dalam diam.  Boro-boro menyisihkan dana kesehatan, kalau untuk meredam nyanyian di perut pun harus berfikir sampai rigit terkecil.

Makanya, orang miskin dilarang sakit.

Saat isu kenaikan BBM menguar, akal sehat saya berkata, kenaikan adalah hal yang tidak dapat dihindari. Secara logika, ketersediaan bahan bakar di alam semakin lama semakin menipis. Sudah merupakan prinsip ekonomi, semakin sedikit barang yang tersedia, dan semakin besar permintaan, maka harga akan semakin melangit. Supply yang berbanding terbalik dengan demand akan membuat pricing gonjang ganjing.

Kemarin-kemarin saya tidak terlalu pusing dengan wacana kenaikan BBM. Toh saya jalan kaki ini. Gaji saya juga masih cukup walau tidak berlebih untuk memenuhi kebutuhan saya sendiri. Namun setelah kejadian di rumah sakit tersebut, saya memilih membuang akal sehat saya.

Kalau saya saja merasa sesak nafas saat mengeluarkan uang untuk biaya kesehatan saya sendiri, bagaimana lagi dengan saudara-saudara kita yang tidak punya pekerjaan tetap. Yang pendapatannya dibawah UMR. Yang untuk makan besok saja harus dicari hari ini. Bagaimana dengan nasib tukang cuci di kos saya yang gajinya hanya sebesar tiga buah novel “ Serial Anak Emak”  karya Tere Liye.

Walaupun secara gamblang saya menyadari, bahwa subsidi BBM itu memang memberatkan keuangan negara. Saya juga baca berita, harga minyak mentah dunia semakin melambung. Saya juga tahu, di negara-negara lain BBM harganya jauh lebih mahal dari di negeri kita.

Tapi……

Saya ga peduli kalau gara-gara BBM ga jadi naik, APBN bakal jebol
Saya juga ga mau tahu kalau APBN jebol akan berbahaya bagi ekonomi bangsa
Saya ga mau ambil pusing jika dengan terancamnya ekonomi kita menyebabkan para investor kabur membawa uang mereka

Saya benar-benar ga mau tahu.,

Yang saya tahu, saya baru melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana berartinya lembaran-lembaran ribuan di dompet seorang janda yang anaknya terserang penyakit mematikan. Lembaran yang mungkin saat ini bisa ditukar dengan seliter beras, namun bisa dipastikan akan berkurang nilainya saat kebijakan sang penguasa itu terealisir.

Yang saya tahu, bukankah negara punya ahli-ahli ekonomi yang handal. Ahli-ahli berdebat di gedung parlemen. Menteri-menteri yang mumpuni di bidangnya. Saya setuju rakyat tidak boleh tergantung pada subsidi pemerintah. Saya juga setuju , negara perlu mengurangi biaya untuk melangsingkan APBN yang semakin hari semakin gemuk.  Tapi…….. bisa tidak yang dicabut jangan subsidi BBM. Cabut saja subsidi dari pos lain. Kurangi biaya yang membebani anggaran negara, kecuali BBM. Apa saja, asal bukan BBM.

Orang idiot juga tahu, kenaikan harga BBM punya efek domino terhadap harga barang-barang kebutuhan pokok yang lain. Bahkan jauh sebelum kenaikan benar-benar terjadi.

Biaya rapat yang beritanya sampai menghabiskan milyaran rupiah, SPJ pejabat negara yang bisa untuk makan ratusan pengemis di Jakarta bahkan mungkin ribuan. Kalau perlu hentikan dulu semua pembangunan infrastruktur yang tidak bersinggungan langsung dengan hajat hidup orang banyak terutama rakyat kecil. Ngapain pajak dialokasikan untuk pembangunan, kalau yang menikmati pembangunan tersebut orang yang digembar-gemborkan sebagai orang yang tidak layak disubsidi BBM. Apa gunanya menginjeksikan ke pikiran rakyat bahwa selama ini subsidi BBM turut dinikmati oleh orang yang tidak berhak kalau toh akhirnya mereka juga yang paling banyak menikmati pajak yang dikumpulkan dari tetes keringat dan darah rakyat yang katanya justru dibela tersebut. Omong kosong. Benar-benar basa-basi busuk.

Kalau bisa hanya memotong kuku kaki, Buat apa harus mengamputasi kakinya??

Saya sarankan sebaiknya , para manusia setengah dewa tersebut sekali-kali disuruh ikut tantangan hidup di belantara Jakarta dengan uang seminim mungkin di dompetnya, dan disuruh kerja seperti rakyat jelata. Biar tahu apa arti uang sepuluh ribu, yang mungkin selama ini hanya digunakan untuk beli sebotol air mineral di pesawat. Ups , saya lupa, mana pernah mereka naik pesawat kelas ekonomi yang harus tabah menunggu delay berjam-jam.

Atau boleh jadi mereka harus melewati On The Job Training dulu ke daerah-daerah yang jauh dari bling –bling metropolitan agar belajar kebersahajaan dan lebih terasah empatinya.

Mungkin saya sok tahu. Mungkin apa yang saya tulis ini pemikiran yang sangat sempit. Yang ga pakai akal sehat, ga logis. Whatever lah.

Walau demikian saya mengerti, beratnya beban menjadi pemimpin negeri ini. Seperti makan buah simalakama. Sebenarnya, saya tidak pernah tahu seperti apa buah simalakama itu. Tapi saya yakin rasanya tidak pahit. Sebab kalau pahit, toh buktinya masih mau terus-terusan memakannya. Buktinya lagi, masih banyak yang berebut untuk memakannya.

SEORANG NENEK DI BAWAH POHON KASTURI


(50 Kisah Nyata Penuh Inspirasi Indahnya Peduli Nikmatnya Berbagi)

“Saya banyak mendapat suplai spirit setelah membaca kisah-kisah di buku ini. Hati saya sempat bergetar diselimuti haru, ketika membaca kisah-kisah di buku ini….”
(Badiatul Muchlisin Asti, Direktur LAZ Ilmanafia Peduli)

“The Power of Giving dalam kisah-kisah di buku ini mengajarkan kita untuk memberi dan berbagi, semampu kita, dilandasi rasa ikhlas seperti buang kotoran, tak peduli Allah akan membalas atau tidak, yang penting kita bahagia bisa berbagi dengan sesama. Itu saja.”
(Wiwid Prasetyo, novelis)

Elisabeth Dunn, pakar psikologi dari University of British Columbia (Kanada), pernah melakukan penelitian yang hasilnya adalah, bahwa kebahagiaan ternyata ada hubungannya dengan jumlah uang yang dikeluarkan untuk orang lain daripada jumlah absolut bonus atau gaji yang digunakan untuk kepuasan diri sendiri.

Rincian penelitian itu diterbitkan di jurnal ilmiah dunia Science volume 319 (21 Maret 2008). Karya ilmiah itu diberi judul “Spending Money on Others Promotes Happiness” (Membelanjakan Uang untuk Orang Lain Meningkatkan Kebahagiaan).
Penelitian Elizabeth Dunn juga dimuat di ScienceNOW Daily News (20 Maret 2008) dengan judul “The Scret to Happiness? Giving” (Rahasia Menuju Bahagia? Memberi) dan dikupas Brendan Borrell di majalah ilmiah Nature dengan judul “Money Buys Happiness, Especially If You Give it Away” (Uang Membeli Kebahagiaan, Terutama Jika Anda Menghadiahkannya).

Satu kali memberi mungkin menjadikan seseorang bahagia dalam sehari, tapi ketika kebiasaan memberi ini menjadi sebuah cara hidup, dampak kebahagiaan itu bisa menjadi sangat lama,” ujar Dunn.

Nah, buku ini memuat 50 kisah nyata penuh inspirasi tentang indahnya peduli nikmatnya berbagi kepada sesama, sebagaimana hasil penelitian Dunn. Bacalah buku ini, dan jadikan spirit peduli dan berbagi menjadi bagian dari cara hidup kita. Berbagilah, maka kita akan bahagia!

*Hasil penjualan buku ini 100% dialokasikan untuk kepentingan sosial melalui LAZ Ilmanafia Peduli. 


Daftar isi buku:
Kata Pengantar
Daftar Isi
· Berkah Sedekah Seribu Rupiah ___Putra Syafi’in
· Balasan Seratus Kali Lipat ____Sandza
· Antara Facial dan KKL ___Windi Teguh
· Anton Bukan Idiot ___Endah Wahyuni
· Antara Ray, Agil, dan Buyak ___Ari Jaztiva
· Berkah Mewakafkan Tanah ___Moh. Sopiyanto
· Berbagi Lewat Kisah ___Dee An
· Berbagi Titipan Allah ___Irkam Asnawi
· Belajar Berbagi dari Mbak Ulan ___T. Nurhasannah
· Bukan Hanya Dalam Kisah ___Redite Kurniawan
· Bulir Peluh, Bulir Permata Hati ___Adis Thibi Mada Khayatik
· Cerdas Berbagi ___Nurudin
· Seorang Nenek di Bawah Pohon Kasturi ___Irna Yulaika
· Berbagi dengan Ilmu dan Amal ___Ayna Wardhani
· Pak Ujang ___Nenny Makmun
· Kekuatan Doa dan Airmata ___Zahratun Nisa
· Menyambung Hidup Ibu ____Rahadyana Muslichah
· Hadiah Terindah ___Zurnila Emhar Ch
· Yakin ___Lisai
· Dan Aku pun Merasakannya ___Akhwatul Chomsiyah Firdausa
· Dengan Berbagi, Kumulai Segalanya ___Athika Darumas Putri
· Dengan Rumus Lillahi Ta’ala ___Endang Yusnia
· Gusti Ora Sare ___Impian Nopitasari
· Hibah Buku & Keajaiban Sepuluh Resolusi__Ila Rizky Nidiana
· Iin ___Dozi Swandana
· Indah Itu Mewangi Surga ___Inung Pratiwi
· Alhamdulillah Utangku Lunas ___Ninik Zumrotus Sholikhah
· Indahnya Peduli, Nikmatnya Berbagi ___Hanita Meirawati
· Jum’at Seribu ___Fanny YS
· Laa Tabkii (Jangan Menangis) ___Zelin Norma Resty
· Dua Ribu Rupiah ___Gea Harovansi
· Memberi Tak Perlu Nunggu Kaya ___Kholis
· Keajaiban Doa ___Ketty Husnia
· Ongkos ___Avridita Savitri
· Sampai Mati pun, Aku Tidak Akan Melupakan Ini, San ___Setiawan Ch
· Sedekah Terbaik ___Siti Maisarah
· Biar Allah yang Menjaga ___Ila Rizky Nidiana
· Seikhlas Teungku Hasan ___Siti Maisarah
· Selembar Berita ___Suparno
· Semangat Berbagi Kebaikan ___Akhmad Fachroji
· Sepiring Somay Cinta ___Liza Hidayati
· Sepotong Kue Berbuah Jutaan Rupiah ___Nurbaidha
· Seulas Senyum si Pemulung Tua ___Awiek Libra
· Sketsa Taman Baca ___Syaiful Mustaqim
· S.P.A ___Siti Mutmainah
· Tidak Harus Berupa Uang ___Siska Yuniati
· Uluran Tangan untuk Seorang Nenek ___Bayu Karina
· Untaian Tali Surga ___Sucia Ramadhani
· Wanita Renta di Kereta ___Dani Kunti Oktaviantari
· Warung Mak Hani ___Mariatul Kibtiah
Tentang Penulis ___251
 


Info pemesanan dimari 

She Lost Her Baby

Thursday, April 12, 2012
Hari ini saya sedih sekali. Sedih yang benar-benar sedih, sampai tidak mampu menggambarkannya. 

Saya baru dapat kabar, bahwa sahabat saya yang lagi menanti kelahiran buah hatinya tiba-tiba harus kehilangan calon bayi yang bahkan belum sempat memperdengarkan tangisnya ke semesta.
Kelilit tali puser, begitu berita yang saya tahu.

Ya Allah. Saya yang tidak mengalaminya secara langsung saja sedihnya ga terkatakan. Bagaimana lagi sahabat saya tersebut. Benar-benar tidak bisa saya bayangkan.
Sedari tadi saya tak henti-hentinya menangis. Ingin memeluk sahabat saya tersebut, tapi jarak kami terlalu jauh. Dia ada di pulau seberang.

Sembilan bulan yang lalu saat ia mengabarkan tetang kehamilannya kepada saya, saya langsung menitikkan air mata. Entahlah saya tidak tahu itu air mata apa. Bahagia, pasti. Dia termasuk sahabat dekat saya, pasti saya bahagia untuk kebahagiaannya. Walaupun jauh jauuuh di dilubuk hati terdalam saya terselip sedikit iri. Iri karena saya sudah begitu lama menanti waktu untuk memberi kabar gembira tersebut kepadanya.

Saat itu saya berfikir, betapa dewi fortuna sangat suka mengikuti jejak hidupnya. Ia seorang perempuan yang cantik, sangat cantik malah, baik, pintar, karirnya bagus, dapat suami dengan pekerjaan begitu mapan. Beberapa bulan menikah langsung diberi rezeki kehidupan baru. Bahkan begitu beruntungnya ia, sampai pada acara kantor ia mendapat ipad 2. Bayangkan siapa lagi orang yang lebih beruntung dari dia.

Namun tadi malam saya begitu tergugu membayangkan sedang apa ia sekarang.

Normalnya setelah melahirkan seorang ibu akan disibukkan dengan kegiatan baru. Mengasuh bayi mengilnya, menyusui, begadang karena tangisnya. Namun mungkin sahabat saya tersebut akan tetap begadang, tetapi sambil termenung mendekap baju-baju lucu hasil belanja kemarin. Atau juga sambil menciumi wangi bedak bayi . Saya tak sanggup memikirkan perasaannya.

Benarlah  kata orang tua, bahwa orang lain itu adalah cermin introspeksi bagi diri kita.

Terkadang kita perlu melihat kesedihan orang lain untuk mensyukuri nikmat yang diberi kepada kita. Terkadang kita harus ditampar dengan kejadian-kejadian luar biasa di hidup kita untuk lebih dekat kepada yang memberi hidup ke kita.

Saya jadi sadar, bahwa cobaan dalam hidup saya tidak ada apa-apanya. Saya hanya disuruh bersabar untuk memeluk bayi mungil yang akan meramaikan istana cinta saya. Sedangkan sahabat saya, ia harus kehilangan makhluk indah yang sudah menyatu di dirinya selama ini. Suatu perbandingan yang sangat tidak sepadan.

Saya yakin Allah sedang mengujinya untuk menaikkan derajatnya. Ia seorang perempuan yang begitu baik. Allah pasti punya rencana lain dan akan mengganti kesedihannya dengan sesuatu yang akan mengobati lukanya.

Saya juga jadi semakin yakin, bahwa sebaik apapun kita berencana, kita harus bersiap diri untuk ketentuan dari Nya. Hidup mati itu sepenuhnya hak preogratif-Nya. Allah yang paling tahu apa yang terbaik untuk diri kita. Di balik semua peristiwa pasti ada hikmah yang tersembunyi.

Sampai detik ini saya hanya memandangi hp saya. Membaca postingan twitternya beberapa hari yang lalu tentang kegembiraanya menyambut si jabang bayi. Foto saat ia senam hamil. Bahkan euforianya membeli seluruh perlengkapan bayinya.

Dan saya mencoba menghubunginya. Saya dial no hpnya. Berdering, sedetik dua detik tiga detik. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan.

" Turut berduka"    
            
" Tabah ya"

" Be strong dear"

Ah saya rasa dia tidak butuh kata-kata seperti itu. Mungkin saat ini ia hanya butuh waktu untuk sendiri. Menyatu dalam kesedihannya. Menumpahkan airmata di bahu suaminya.

Tidak...., saya yakin , ia tidak butuh hiburan dari orang lain. Yang ia butuhkan hanya bayinya.
Tuuut, saya tekan tombol merah. Tidak, saya tidak sanggup berbicara dengan nya.

***

Ya Allah berilah sahabat saya kekuatan

Ganti lah kesedihannya dengan yang lebih baik.

Custom Post Signature