Showing posts with label Review. Show all posts
Showing posts with label Review. Show all posts

Jadi Penulis, Siapa Takut (Bag 2)

Sunday, July 8, 2012
Sebelum mulai menulis, ada baiknya kita jabarkan dulu, apa sih manfaat dari kegiatan menulis. Kalau ngga ada manfaatnya ngapain kita buang-buang waktu untuk menulis yang belum tentu juga orang baca. Sebenarnya mungkin kita sudah banyak membaca manfaat-manfaat menulis dari buku-buku tentang kepenulisan. Tapi yang ini versinya mba Asma Nadia. 

Yang pertama, dengan menulis wawasan jadi bertambah. Jelas, karena untuk menulis sesuatu dibutuhkan riset. Tulisan tanpa riset akan kosong.  Riset bisa dilakukan dengan membaca, bertanya ke narasumber, atau  langsung terjun mengalaminya. Mba Asma cerita bahwa beliau pernah menulis cerita dengan settingan lokalisasi di daerah Bungkaran, namun beliau hanya melakukan studi pustaka. Hasilnya beliau dikritik oleh salah satu editor. Mba Asma nulis kalau disana ada gang-gang sempit, ternyata tidak ada sama sekali. Dan hal yang dilewatkan mba Asma, daerah Bungkaran itu dilewati oleh lintasan kereta api, seharusnya bunyi-bunyi kereta, suasana pinggiran rel menyatu dalam cerita, namun itu semua tidak digambarkan mba Asma. 

Saya juga pernah mengalami hal yang sama. Saat menulis flash fiction dengan tokoh seorang dokter. Ceritanya, seorang calon dokter kandungan yang bingung menghadapi pacarnya yang juga mahasiswi kedokteran hamil di luar nikah. Saya memang tidak melakukan riset sama sekali, hanya berdasarkan pengetahuan dangkal saya. Tulisan saya posting di note FB, tak perlu menunggu lama, seorang dokter langsung mengkritik habis tulisan saya. Tidak masuk akal, mengada-ada, tidak ada dokter yang panik kalau hamil, kan tahu ilmunya, mana ada koas yang waktunya lengang sampai sempet nganter pacarnya kesana-sini , begitu katanya. Awalnya saya sedikit defensif, " Terserah gue dong tulisan-tulisan gue ini, kalau mau pas sesuai keinginan ente, tulis aja cerita sendiri jangan ngerecokin tulisan orang", begitu kata hati saya.  Namun, setelah saya pikirkan, benar juga, walaupun tujuan saya mengangkat tema itu untuk memberi pesan bahwa -bahkan seorang dokter kandungan pun bisa "kecelakaan" sehingga remaja harus berhati-hati- tulisan harus tetap masuk akal. Ke depannya saya menjadi lebih berhati-hati dalam menulis, pun hanya sebuah flash fiction yag terbatas 200-700 kata saja. Tulisan bisa dilihat disini ( tapi bukan dokter di komen itu yg saya maksud ya).

Manfaat kedua, menulis dapat menyalurkan hobi. Ini khusus bagi yang hobinya memang menulis. Namun bisa juga, orang yang hobinya beternak ayam misalnya, ya nulis tentang cara beternak ayam, atau yang suka tentang keuangan, nulis tentang keuangan. Atau bagi yang hobinya menggalau di media sosial, daripada nulis curhat ngga jelas, marah-marah, bete, mending statusnya dibuat jadi tulisan. Misalnya lagi marah nih karena teman berkhianat, alih-alih nulis " Sialan, ngga nyangka aku , kamu kayak gitu, nyesel setengah mati mengenalmu, Bete " mending dirubah jadi " Berharap pada manusia bisa menimbulkan kekecewaan, karena itu letakkan kepercayaan tertinggimu hanya padaNya". Gimana, lebih baik ngga?.Syukur-syukur temen yang kita maksud menyadari kesalahannya, bukan malah menambah musuh. Ini opini saya pribadi, kalau ngga setuju ya ngga usah di retweet atau di like :)).

Terus, bisa meluaskan jaringan. Ini ngga usah dijelasin juga udah pada tahu lah ya. Contoh kecilnya, sahabat pena, jaman saya masih baca Bobo. Kalau sekarang, dengan ikut lomba nulis, sesama kontributor jadi saling kenal, trus dengan orang lain baca tulisan kita, minimal nambah teman baru lagi. Saya pribadi benar-benar merasakan ini. Sejak suka nulis, padahal yang saya tulis hal remeh temeh, tapi jadi banyak yang malah jadi teman akrab, bahkan yang awalnya hanya saling sapa di dunia maya, berlanjut ketemuan. Satu lagi, dengan menulis, saya jadi ketemu Asma Nadia, jadi kenal Fauzan Mukrim, Sanie B Kuntjoro, Clara Ng. Seneng kan ya.

Berikutnya bisa menjadi profesi. Kalau sudah jadi profesi bisa menghasilkan income. Saya pribadi, menulis sampai saat ini hanya hobi saja. Hanya hobi saja sudah menghasilkan uang, walaupun tidak seberapa. Sombong kalau saya bilang saya tidak butuh uangnya. Tapi jangan khawatir, kalau ngga butuh ya didonasikan saja. Kalau menulisnya belum menghasilkan uang??, ya bukunya yang didonasikan. Menulis bisa menjadi ladang amal dan ibadah. Sejauh ini, saya sudah memperoleh honor dari tulisan yang lolos ke media cetak, walaupun dikiiit banget, dapet voucher belanja. Lumayan banget kan. Beberapa proyek menulis yang saya ikuti bahkan tanpa bayaran sama sekali, hanya kata-kata " Semua royalti akan didonasikan ke yayasan X,Y atau Z". Masih bilang, ngga punya uang buat sedekah?. Yang benar saja prend.

Lanjut, menulis sebagai ajang pengungkapan apa yang tidak bisa kita ungkapkan secara verbal. Biasanya orang yang tertutup-Introvert,  kesulitan mengungkapkan perasaannya, marah,sedih,kecewa hanya dipendam sendiri. Ini bahaya, bisa-bisa menjadi bom waktu. Saya termasuk orang yang ekstrovert, suka bicara apa adanya. Namun ada kalanya ,saya tidak bisa mengungkapkan perasaan saya. Saat saya begitu marah dengan teman yang tidak menepati janji, atau saat saya kecewa dengan suami yang tidak mengerti perasaan saya, biasanya saya tulis di selembar kertas. Kadang bentuknya cerpen, bisa jadi puisi. Setelah itu?? saya lega. Padahal tulisan itu tidak pernah sampai ke orangnya. Tapi saya merasa masalah sudah selesai, tidak ada yang tersakiti dengan kata-kata kasar yang mungkin tanpa sadar kita keluarkan saat amarah merasuk.

Selain yang diatas, menulis juga membuka peluang untuk jalan-jalan ke belahan bumi manapun.  Sudah ke 30 negara dan puluhan kota yang disinggahi mba Asma karena menulis. Baik itu untuk mengisi ceramah, maupun seminar dan belajar kepenulisan. Keren ya. Tidak hanya itu, salah satu keuntungan meluaskan jaringan yang saya sebut diatas, dalam travelingnya mba Asma banyak mendapat tawaran menginap dari para fans ataupun teman. menghemat budget kedua terbesar dalam traveling, yaitu penginapan. Wow, menulis bikin irit.

Yang terakhir, menulis membuat kita abadi. Kalau kata Pramudya Ananta Toer, " Aku menulis karena itu aku ada". Ya, karena saat tulisan kita tercetak di dalam buku, atau di blog, atau di manapun, iya akan ada selamanya. Kata mba Asma, menulislah minimal satu buku sebelum mati. Sutan Takdir Ali Syahbana, Buya Hamka, Chairil Anwar, Shidney Sheldon, adalah penulis yang sudah tidak ada di muka bumi, namun kita masih bisa merasakan keberadaannya melalui tulisan-tulisan mereka. Bagi orangtua, saya contohkan Fauzan Mukrim, yang menulis buku khusus berisi pesan-pesan untuk River buah hatinya. Contoh lain, Mba Asma Nadia sendiri, mengatakan, ia ingin suatu saat kalau ia sudah tidak ada, saat Adam putranya punya masalah keluarga, jangan sampai membatin, kalau ada umi apa ya yang akan dikatakan umi. Tidak perlu berandai-andai karena mba Asma sudah menuliskannya di buku " Sakinah Bersamamu".

Wuih, banyak banget manfaat menulis ya. Ya sudah, jangan cuma dibaca doang. Ayo ambil kertas dan pena, atau segera ambil laptop, ipad, dan nulis sekarang juga.

Ntra nyambung lagi yah, udah maghrib saya mau balik kos dulu. See ya ;)



Jadi Penulis, Siapa Takut?

Hari ini sebenarnya saya tidak punya rencana apa-apa, pengen males-malesan di kos, sambil nuntasin baca buku-buku yang belum sempet dibuka plastiknya. Sambil tidur-tidutan lihat FB, eh ada acara seminar menulis dengan pembicara Asma Nadia. Hwaaa mupeng, tapi ya kok jauh banget ya, di Jakarta Timur. Mana ngga ngerti lagi daerahnya. Tapi.. Asma Nadia gitu, kapan lagi bisa dapat ilmu dari salah satu penulis perempuan paling produktif di tanah air. Dengan semangat saya sms panitianya, nanyain tempat acaranya dimana, sampai nanya kalo naik busway jurusan apa dan turun dimana, niat lah pokoke.

Dan akhirnya sampai juga saya di STIE Jakarta di bilangan Sunan Giri, setelah nanya sama pak satpam ditunjukin ke ruangan seminar, lantai 5 katanya. Segera saya melangkah ke arah yang ditunjukin pak satpam, cari lift kesana-sini , ngga ada. Beuugh, ni kampus ngga punya lift, padahal bangunannya tinggi. Dengan ngos-ngosan sampai juga saya di aula. Bener-bener perjuangan dah mau ikut seminar ini.

Acara dibuka dengan ice breaking oleh MC. 

" Gerakkan tangan ke atas ya, trus setelah itu kaki bawah juga digerakkan" kata si MC

Segera setelah ice breaking selesai, kata-kata si mba MC dikoreksi oleh mba Asma. Yang namanya kaki pasti dibawah. Gunakan kalimat yang efektif saat kita berbicara , pun saat menulis. Wow, belum masuk materi udah kena aja langsung ke tips menulis.

Kata mba Asma, sering para penulis, mubazir dengan kata-kata. Misalnya, bibirnya mencibir, jelas yang mencibir itu pasti bibir. Kepalanya menggelang, jatuh ke bawah, memegang dengan tangan. Tanpa perlu dijelaskan orang sudah tahu kalau menggeleng pasti kepala, kalau jatuh ya memang ke bawah dan memegang sesuatu itu dengan tangan. Sip mba, dicatet tips pertamanya.

Mba Asma menyampaikan materi dengan santai dan sangat komunikatif, disertai dengan contoh-contoh konkrit. Peserta diajak aktif dan berbaur dalam materinya. Ntar saya bagi tips menulis ala mba Asma di postingan berikutnya.

Hal pertama yang ditekankan oleh mba Asma adalah bahwa semua orang bisa menjadi penulis, asal ada kemauan. No Excuse, jangan biasakan mencari-cari alasan. Tidak punya waktu, ngga punya komputer, lagi ngga mood. Hal-hal tersebut membuat kita semakin jauh dari impian yang ingin kita raih.

Kalau dulu profesi penulis dipandang sebelah mata, maka saat ini sudah jauh berbeda. Menulis merupakan profesi yang menjanjikan, terutama bagi perempuan. karena bisa dilakukan dimanapun, oleh siapapun tanpa memandang usia, miskin-kaya , di desa atau di kota. Tidak sedikit penulis yang memperoleh materi melimpah dari karyanya. Sebutlah JK Rowling. Kalau di negeri ini adaAhmad Fuadi, Andrea Hirata, Habiburrahman EL Shirazy, contoh penulis yang sukses menggemukkan pundi-pundi keuangannya.  Namun sebaiknya , bukan materi yang menjadi alasan kita untuk menulis.

Yang membuat saya kagum, mba Asma tuh bukan hanya seorang penulis, namun menurut saya beliau seorang enterpreuner handal. Di sela-sela materi , dengan lincahnya mba Asma mempromosikan buku-bukunya, buku Isa suaminya, sampai buku-buku kedua anaknya. Tak ketinggalan promosi bisnis beliau yang meliputi tas, pakaian, dan pernak-pernik lain. Namun semuanya disampaikan tanpa terlihat promosi. Sekali merengkuh dayung semua pulau terlampaui.

Selesai menyampaikan materi, peserta diminta untuk membuat satu judul tulisan dan membuat satu paragraph pembuka. Menurut beliau, judul suatu tulisan memegang peranan sangat penting. Selain menggambarkan isi tulisan, judul juga membuat pembaca memutuskan ingin membaca tulisan kita atau tidak. Karena itu jangan ngasal milih judul. Jangan terlalu panjang dan jangan terlalu pendek. Kecuali kamu Putu Wijaya, judul harus sangat diperhatikan.

Sedangkan paragraph pembuka, berguna sebagai penarik pembaca untuk terus membaca tulisan kita atau berhenti sampai disitu. 

Dan ternyata tulisan satu parapraph yang saya buat, kata mba Asma bagus. Penokohannya kuat, karakternya jelas. Hwaaa seneng banget dinilai seperti itu. Saya pun dapat souvenir cantik dari mba Asma.


Ini paragraph yang saya buat. Sudah pasti, yang di benak saya itu langsung tergambar sosok suami :D 

"Tajam tatapannya menghunus tepat ke retinaku. Aku hanya membisu. Membiarkan ia mentransfer segala sumpah serapah yang ada dibenak. Aku tahu pasti tak akan ada kata yang keluar dari bibirnya. Selalu, hanya gesture dan perubahan raut di wajah mengisyaratkan suasana hatinya."

Opening dalam suatu tulisan, entah itu cerpen, artikel , novel, ataupun roman harus menyentak. Membangkitkan rasa ingin tahu dan sebaiknya pembaca sudah bisa meraba kira-kira kemana cerita akan kita bawa. Jangan bertele-tele. 

Hindari membuka kalimat dengan suara-suara seperti "Prang", "Bruk", Tet..tet.". Deskripsikan,  jangan dituliskan." Petir mengelegar" oke,  not "JDEEER".

Saya jadi ingat pernah membaca dimana gitu saya lupa, mungkin di grup penulis yang saya ikuti. Bahwa banyak sekali penulis yang memulai tulisan dengan bunyi-bunyian seperti itu. Yang paling populer adalah bunyi " Kriiiing" bla bla bla .... Di blog salah satu penerbit mayor menyatakan bahwa naskah yang seperti itu, langsung disingkirkan tanpa dibaca terlebih dahulu. Catet itu.

Oya, mumpung inget, Dewi Lestari juga pernah nulis tentang hal ini. Katanya, sesuatu itu harus dideskripsikan, bukan di tulis secara gamblang. Misalnya, "tertawa terbahak-bahak", it's oke, but menuliskan hahahaha, hehehe, hihihi, xixixi, not recomended untuk sebuah tulisan. Kalau nulis status FB atau twitter silahkan. Saya baca ini beberapa bulan yang lalu di blognya Dee, sejak itu saya tidak pernah lagi menggunakannya di tulisan saya. Kalau dulu, wuih di setiap tulisan pasti ada kata-kata "hahaha, hihihi ' tersebut. 

Oke sekian dulu, lanjut di postingan berikutnya yah. Yang pasti, ga rugi sama sekali ikut seminar menulis kayak gini. Dan yang bikin saya heran, berapa biayanya coba, Rp 20.000, saudara-saudara, seharga kopi yang lagi saya minum. Padahal itu sudah termasuk snack,alat tulis dan sertifikat. Jadi kalau ada seminar kepenulisan lagi, dan kita banyak alasan , itu tanda belum baca bukunya Isa Alamsah, No Excuse. Ups, saya jadi promosi. Begitu tuh, salah satu cara Asma Nadia mempromosikan buku suaminya. 

So, jadi penulis? siapa takut.



Sarapan Paling Indonesia

Saturday, June 30, 2012

Dari sekian banyak hal yang membuat saya cinta banget kerja di perusahaan saya sekarang ini adalah nemplok sana sini ke berbagai kota-kota di nusantara. Dan dari kesenangan itu, hal yang paling saya sukai adalah nginep di hotel. Bisa bermanja-manja ria, leyeh-leyeh menikmati kemewahan sesaat setelah sehari-hari ribet dengan urusan kantor, pekerjaan, dan kos saya yang yah standar abis lah. Dan yang paling mempengaruhi saya dalam menilai kekerenan sebuah hotel, bukan kamarnya, bukan pula kolam renangnya atau keramahan pegawainya. Yang paling membuat saya betah dan merekomendasikan sebuah hotel itu bagus atau tidak versi saya adalah sarapannya. Yup, menurut saya sarapan itu penting banget sebagai gimmicks menarik yang bisa ditawarkan ke tamu hotel.

Selama ini, juara sarapan paling enak adalah salah satu hotel keren di Medan, di depan Merdeka Walk. Itu hotel sarapannya, wuih enak banget dan super komplit. Mulai dari menu utama, nasi goreng, lontong sayur,bubur ayam,nasi perang, soto, dan bakso. Itu baru yang berat. Yang ringannya, ada salad, sushi, waffle, aneka roti, aneka buah, lupis, cenil, segala macam bubur mulai dari bubur sumsum, kacang ijo, ketan hitam. Dan juara dari segala juara, ada dimsumnya booo, dimsum goreng dan dimsum steam, Ah my favorit food ada semua disini. Aneka gorengan. Beughh, dengan noraknya saya betah nongkrong di restorannya dari jam tujuh sampe jam setengah sepuluh, bayangkan.


Nah hal unik yang saya temui, di masing-masing kota, hotel pasti menyediakan menu sarapan khas kota tersebut. Kalau hotel di Medan, menyediakan Lontong Medan dengan tauconya, lain lagi di Jogja, pasti ada menu gudeg, di Solo ada nasi liwet, di Bandung ada nasi kuning,karedok,batagor. Nah di Bali??? Saya ngga nemu makanan khasnya ada di counter makanan. Yang ada malah makanan Western, yang saya ga suka sama sekali.

Balik lagi ke kantor, saya dihadapkan pada kenyataan hidup. Menu sarapan saya, bubur ayam lagi bubur ayam lagi. Sering saya berandai-andai, kalau saja ada warung yang nyedian menu sarapan dari Sabang sampai Merauke pasti saya ngga bingung setiap paginya.

Saya jadi penasaran nih dengan sarapan-sarapan khas nusantara. Setelah nanya-nanya sama teman-teman saya yang tersebar dari Pulau Weh sampai buntutnya pulau Irian, saya berhasil mengumpulkan menu sarapan yang khas banget. Beberapa malah sudah jarang beredar. Yuks, ikut jalan-jalan bersama saya, sambil menikmati sarapan ala nenek moyang.

Kita start dari ujung Barat Indonesia. Kata teman saya yang di Aceh, makanan di samping ini adalah sarapan khas disana, namanya nasi gurih. Mungkin di kota lain ada juga yang menamainya nasi lemak. Namun yang membedakannya adalah di atas nasi tersebut ditaburi kelapa gongseng, sambal tauco, kuah lemak dan paru goreng. Yang bikin nikmat, karena nasinya dibungkus oleh daun pisang sehingga memberi aroma yang mengundang selera, apalagi ditambah kacang goreng sebagai kriuk kriuknya.

Selain nasi gurih, di Aceh Selatan ada sarapan khas suku Kluet bernama Rabee. Sayang saya tidak dapat fotonya. Rabee adalah daging rebus yang dicampur dengan sayur pakis yang telah dibumbui dengan rempah-rempah . Kemudian dicampur seluruhnya dengan kelapa gongseng yang sudah dihaluskan. Biar seger bisa ditambahi perasan jeruk nipis. Wah, ini sih kayak anyang kalau di Medan.

Bergeser ke kota yang berdampingan dengan Aceh, ibukota Sumatera Utara ini sangat terkenal dengan wisata kulinernya. Hanya ada dua rasa makanan di Medan, enak dan ueenak banget. Jadi kamu belum merasakan surganya makanan kalau belum ke kota saya yang sodap nian ini. Khusus sarapan, mungkin karena bersebelahan dengan Aceh, nasi gurih juga termasuk menu sarapan yang selalu ada. Disamping itu yang tak pernah ketinggalan adalah lontong Medan, Lupis dan Cenil. Soto Medan??. Walaupun sangat khas, namun menu soto biasanya lebih familiar disajikan buat makan siang.


Lontong Medan mungkin hampir sama dengan lontong Cap Gomeh kalau di Jakarta, bedanya, kalau di kota lain biasanya tambahan lauk berupa opor ayam, maka di Medan, lauknya adalah rendang dan tak ketinggalan tauco yang membuat rasa menjadi pedas. Kalau lupis dan cenil sih saya sering menemukannya juga ada di kota-kota lain, apalagi di Jawa. dari penampilan dan rasanya , jelas makanan ini pasti berasal dari Jawa. Konon Chenil itu katanya sih asli Cilacap. 

Perjalanan kita berlanjut, ke kota si Malin Kundang, Padang. Tidak usah diragukan lagi, warung makan paling enak ya warung makan Padang, namun coba kita lihat menu sarapannya. Di Padang, Lontong dan Soto menjadi sarapan sehari-hari.Perbedaan  lontong Padang dan lontong Medan terletak pada sayurnya, kalau di Medan biasanya pake sayur gulai gori/nangka kalau di Padang pakai gulai sayur pakis, perbedaan lain di kerupuk yang menghiasinya. kalau di Medan biasanya pakai kerupuk merah putih atau emping goreng, maka di Padang ada kerupuk yang sangat khas, yaitu kerupuk merah.Ambooi, sedap nian. 


Karena sama-sama tanah melayu, Palembang, Bengkulu dan Lampung  memiliki sarapan yang hampir mirip. Salah duanya yaitu Burgo dan Laksan. Terdiri dari tepung sagu yang dicampur dengan ikan. Disajikan dengan kuah santan. Kayak gulai kali ya. Karena daerah pesisir makanan khas di daerah ini hampir sebagian besar terbuat dari bahan baku ikan. Modifiksi mpek-mpek.

Nyebrang ke Pulau Jawa, Betawi punya sarapan khas yaitu Nasi Ulam. Nasi putih yang ditaburi dengan parutan kelapa yang digongseng kering pedas gurih, lalu dikasi lalap yang terdiri dari toge pendek,kemangi dan timun. Tambahannya bisa pake tempe goreng atau bakwan. Kalau pengen pedas, tinggal disiram kuah kacang.

Ada juga tahu telor, sesuai namanya ya campuran tahu sama telor yang diomlete gitu deh, disiram saus kacang. Dan tak ketinggalan soto betawi yang segar. Kata teman saya kadang ada juga yang suka makan nasi uduk campur jengkol. Ga kebayang saya, pagi-pagi sarapan jengkol. tapi pasti maknyus deh

Gambar disamping ini namanya Awug, khas Jawa Barat. hampir mirip dengan putu, hanya saja cetakan nya berebeda, pake cetakan seperti membuat nasi tumpeng. Terbuat dari tepung beras, kelapa, gula merah dan daun pandan. 

Jadi ingat saya kalau di Medan ini makanan khas Siborong Borong, namanya Ombus-ombus. Beda pulau tapi sarapannya sama aja ternyata. Kalau di Jember namanya berubah jadi Orog-orog.

Khas Sunda yang lain, namanya Nasi Tutug Oncom.. Nasi yang dicampur dengan sampuran oncom,kencur,bawang putih,cabe rawit. DImakan dengan lauk lainnya, sesuai selera.

Masih sanggup kan, baru separuh Indonesia nih. Gila, Indonesia luas banget ternyata. Berikutnya kita ke Klaten. Kota Jogja dan Solo saya lewatkan karena udah tahu semua kan ya, khas nya Gudeg dan Nasi liwet. Di Klaten itu ada sarapan yang bernama Tahu Lethok. Dimakan bersama dengan gudangan atau kalau di Sumatera namanya urap dan kerupuk. 



Masih di Jawa. Jawa Timur punya nasi Krawu khas kota Gresik. Nasi putih pulen yang disajikan dengan daun pisang disertai irisan daging sapi, jeroan, terasi dan serundeng. Enak banget deh ini, saya biasa makannya dulu sewaktu kerja praktek di Petrokimia Gresik. Kangeen.

Langsung nyebrang ya ke Pulau Madura. Nasi jagung  merupakan makanan khas disana. Terdiri dari nasi putih yang dicampur dengan jagung dilengkapi dengan sayur-sayuran seperti urap. Rasanya agak sedikit manis. Tapi jangan khawatir ada sambalnya kok kalau mau berasa pedes-pedes.

Udah di Madura, kita ke Lombok. Dan ternyata di Lombok, sarapannya ya nasi kuning. pelengkapnya sama dengan di Bandung, ada teri, lalapan dan di tambah sambal jika ingin terasa pedas. Tapi saat saya jalan-jalan ke Lombok, saya sarapan pakai nasi putih dan plecing kangkung. Ih kangkungnya itu lho, kok bisa ya enak banget, kinyis kinyis, beda sama kangkung di tempat lain. Karena konon katanya kangkung di Lombok nanemnya di air kolam. Itu kata temen saya lho.

Capek mengelilingi pulau Jawa dan Nusa Tenggara, kita meluncur ke Kalimantan. Di Kalimantan Selatan atau Banjar ada sarapan khas yang bernama Katupat Kandangan. Hampir sama dengan lontong sayur, tetapi uniknya, makanan berkuah ini lebih nikmat kalau dimakan langsung pakai tangan. Apa sebab?, karena jika dengan tangan, Katupat bisa lebih mudah diurai dan kuahnya juga lebih meresap. Diatas Katupat diberi ikan Haruan dan bawang goreng, kalau ikan haruan ngga ada, bisa diganti dengan telur itik.


Sementara itu Kalimantan Barat, kotanya si hantu Pontianak,  memiliki Sate yang sangat khas, karena disiram dengan kuah kaldu yang diaduk dengan minyak samin, namanya sate kuah. Campuran kuah kacang dan kaldu membuat lidah menari salsa, hmm Yummy. 

Melompat Ke Sulawesi, tak lengkap rasanya tanpa menyinggung Coto Makasar yang terkenal itu. Selain Coto, masakan khas Sulawesi lainnya adalah Binte yang berasal dari Poso. Berupa sop jagung, biji jagung ditambahi dengan ikan suwir, daun bawang dan bawang goreng. Rasanya gurih asin. Hmm Sehat benar kayaknya yah. 

Selain Binte aja juga Bassang, bubur jagung juga namun rasanya manis. 

Mungkin memang di Sulawesi selera masyarakatnya adalah makanan berkuah, karena di Palu pun, yang disukai untuk sarapan adalah Sop Kaledo, yaitu sop kaki lembu Donggala.

Selain makanan di atas, ada juga sarapan khas Sulawesi yang sudah mulai jarang dimasak orang yaitu La'Nya'. terbuat dari sagu yang dikeringkan menjadi tepung kemudian dicampur dengan kelapa parut yang masih muda. Trus semuanya dicampur jadi adonan, dipipihkan kaya mau  buat pizza. Kemudian diatasnya ditaburi gula merah , lalu digulung seperti mau buat dadar. Nikmat disajikan dengan teh atau kopi.


Wah ngga kerasa kita sudah sampai di ujung kepulauan Indonesia.Kita akhiri, perjalanan kita dengan menikmati sarapan Papeda khas Papua. Papeda terbuat dari sagu yang disiram air panas, biasanya dimakan dengan ikan kuah kuning. Sebagai pelengkap bisa ditambahi sayur kangkung atau daun pepaya. Rasanya tawar. Cara makannya nih yang unik. Harus dihisap, ga bisa dikunyah, soalnya mirip bubur bayi gitu sih ya.

Hwaaa, dah selesai nih keliling Indonesianya. Gimana? udah kenyang atau tambah laper. Sebenarnya itu masih sebagian yang saya tahu, masih banyak lagi sarapan khas nusantara yang tidak saya sebutkan. Karena keterbatasan saya tentunya. Kamu silahkan tambahkan sendiri sarapan khas daerahmu yang belum sempat saya ulas. 

Nah kalau sudah begitu, rasanya cintaaaa banget sama Indonesia. Kalau sarapan saja sudah begitu menggoda apalagi menu makan siang dan makan malam ya??. Hmm , tampaknya saya harus sering-sering minta dinas ke daerah-daerah nih.

Baiklah, selamat sarapan penduduk Indonesia.



Gambar dari berbagai sumber.
Artikel ini dari berbagai narasumber dari Sabang sampai Merauke. Special thanks to Warga BAW yang dengan antusias menginformasikan sarapan khas daerah masing-masing.Juga warga BRI yang tersebar dari ujung Sumatera sampai Irian Jaya.






Cinta Sejati Akan Selalu Menemukan Jalan

Sunday, June 24, 2012


Judul Buku      : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit   : 2012
Ukuran             : 512 halaman, 20 cm
Harga              : Rp 72.000,-
ISBN               : 978-979-22-7913-9
Genre              : Novel Dewasa

“Jika kita buang air besar di hulu Kapuas, kira-kira butuh berapa hari kotoran itu akan tiba di muara sungai,melintas di depan rumah papan kami?
Pertanyaan aneh yang keluar dari mulut seorang bocah kecil bernama Borno. Mungkin kita semua pernah mengalaminya, dimana saat kanak-kanak, begitu banyak pertanyaan berseliweran di otak. Hal-hal tidak masuk akal yang membuat orang yang ditanya kehabisan kata, jengkel dan geleng-geleng kepala. Namun dari semua pertanyaan, tidak ada yang bisa mengalahkan tentang pertanyaan yang satu itu, apalagi kalau bukan soal cinta. Itulah pertanyaan besar dalam hidup Borno.
Borno adalah yatim dari seorang nelayan. Tersengat ubur-ubur kabarnya.  Di lorong rumah sakit, Borno terduduk seorang diri,menatap kosong ke segala arah.Seorang gadis kecil berdiri di depannya dengan pandangan kuyu, sekuyu dirinya. Terhanyut dalam diam, sampai kabar tak masuk akal itu di dengarnya. Sebelum jantungnya berhenti berdetak, ayahnya menyetujui untuk mendonorkan jantungnya kepada seorang pasien gagal jantung yang telah lama menunggu donor namun belum juga mendapatkannya. Umurnya dua belas tahun saat itu, ia tidak pernah tahu, apa yang membuat ayahnya meninggal dunia, sengatan ubur-ubur atau pisau bedah dokter.
Setelah kematian ayahnya, hidup Borno berlanjut. Selepas SMA ia bekerja di sebuah pabrik karet,pekerjaan yang tidak disukainya.” Semua pekerjaan baik”, kata ibunya. “ Aku tahu bu, tapi tidak semua pekerjaan itu bau”. Bukan karena bau ia meninggalkan pekerjaan pertamanya, harga karet yang terjun bebas membuat pabrik gulung tikar, Borno pun berganti pekerjaan menjadi penjaga palang masuk di kapal Feri. Namun ternyata Feri adalah musuh tiga turunan keluarganya. Bang Togar yang merupakan teman dekat almarhum bapak menentang keras pekerjaan itu. Ia diberi ultimatum satu bulan untuk meninggalkan pekerjaan itu. Diboikot oleh pengemudi sepit atas perintah bang Togar, Borno pun menjalani pekerjaannya. Namun akhirnya,ditinggalkannya juga kapal Feri tersebut, karena ada uang haram terselip di antara gaji bulananannya. Setelah itu ia bekerja serabutan, mulai dari menjaga warung Cik Tulani, sampai membantu tetangga mencari kucing yang hilang.
Hingga, suatu pagi, Borno memulai pekerjaan barunya, pekerjaan yang membawa banyak kisah, termasuk bertemu dengan kisah cinta sejati-salah satu pertanyaan terumit selain berapa lama waktu yang diperlukan kotoran berhiliran dari hulu Kapuas hingga ke muaranya di laut Cina Selatan.
“Jangan pernah jadi pengemudi sepit Borno”
Wasiat ayah dilanggarnya. Borno akhirnya resmi menjadi pengemudi sepit, sebuah perahu kecil yang biasa disebut sebagai ojek perahu yang menghubungkan tepi Kapuas satu ke tepi yang lain.
Hari pertama ia menjadi pengemudi sepit, seorang gadis berbaju kurung kuning berpayung merah duduk manis di atas sepitnya. Sepeninggal gadis tersebut, sebuah surat bersampul merah, di lem rapi dan tanpa nama tertinggal di dasar sepitnya. Alamak, inilah asal muasal seluruh cerita. Tanpa membuang waktu Borno segera mencari gadis berbaju kuning tersebut. Yayasan tempat gadis itu mengajar dijambanginya, kejar-kejaran dengan boat fiberglass di sungai Kapuas demi menemui di gadis. Saat matanya tertumbuk ke si gadis, hatinya mencelos kecewa. Disana di tepi sungai Kapuas, seorang gadis peranakan cina sedang membagi-bagikan angpau persis seperti yang ada di tangannya.
“ Abang Borno mau angpau?”. Sepenggal kalimat dari si gadis menjadi pembuka cinta bersemi di hati Borno.
Pertemuan-demi pertemuan yang memang sengaja diciptakan Borno membuat ia semakin dekat dengan si gadis. Mei, nama yang baru diketahui Borno di pertemuan yang entah sudah ke sekian kali dengan sebuah insiden kecil akibat kegugupan Borno membuat lelucon tentang nama-nama bulan yang sering dijadikan nama orang.
Suatu pagi, Mei meminta Borno mengajarinya mengemudikan sepit, namun malang , pagi yang dijanjikan itu pula Pak Tua-orang yang sudah dianggap Borno sebagai pengganti ayahnya- sakit keras dan membuat Borno lupa akan janjinya. Padahal itu adalah hari terakhir Mei di Pontianak, ia harus kembali ke Surabaya tempat tinggal keluarganya. Itulah perpisahan pertama Borno dan Mei.
“ Cinta itu macam musik yang indah. Cinta sejati akan membuatmu tetap menari, meskipun musiknya telah lama berhenti”
Sepenggal nasihat pak Tua membuat Borno tetap tegar melewati hari-hari dilanda kerinduan kepada Mei.
“ Tetap semangat abang “
Ditambah lagi pesan Mei, membuat Borno semangat melanjutkan hidupnya. Tak dinyana ternyata ia memiliki bakat dalam hal permesinan. Berbekal uang hasil penjualan sepitnya dan hasil penjualan rumah ayah Andi-sahabat karibnya sekaligus partner bisnis- ia pun memulai usaha bengkel. Jatuh bangun usahanya termasuk penipuan mulai dari awal pembukaan bengkel tidak membuat Borno menyerah. Hingga akhirnya Mei menginjakkan kaki kembali ke Pontianak.
Namun tampaknya, kisah cinta Borno harus menghadapi badai. Di tengah-tengah cerita, muncul seorang dokter cantik bernama Sarah. Kehadiran Sarah menguak rahasia selama bertahun-tahun, ditambah sikap ayah Mei yang tidak bersahabat dengan Borno.
“ Kau dan Dia hanya akan saling menyakiti” peringatan ayah Mei membuat Borno bertanya-tanya.
 Tak lama setelah itu, Mei pun pergi meninggalkan Borno tanpa alasan.
“ Maafkan aku abang, sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi “.
Ada apa sebenarnya?, Siapa Sarah?, dan kenapa ayah Mei berkata seperti itu?, Apakah ada hubungannya dengan angpau merah tersebut ?.
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, sebuah novel dengan kearifan lokal yang kental. Dengan gaya bahasa yang ringan tanpa membuat kening berkerut ditambah lagi sempilan komedi yang membuat kita terbahak, membuat novel ini kaya rasa kaya makna. Bohong, kalau ada yang mengatakan ini novel kisah cinta. Novel ini lebih dari sekedar kisah kasih dua anak manusia.
Seperti biasa Tere Liye selalu membeberkan sisi lain dari sebuah cerita. Kekeluargaan, ketulusan, sikap pantang menyerah tersampaikan dengan jelas tanpa kesan menggurui. 
“ Tidak ada yang akan memecat kau hari ini. Seluruh pegawai bengkel ini adalah keluarga bagiku. Andi, bapaknya Andi, kau, montir lain, semuanya keluarga. Membiarkan kau mendekam lebih lama di sel dingin itu saja aku tidak tega, apalagi memecat kau.”
Saat membaca bagian ini saya sungguh terharu. Membayangkan bagaimana rasanya menjadi Lai, montir bengkel yang dianggap keluarga sendiri oleh bosnya, bahkan setelah berbuat kesalahan masih diberi kesempatan. Andai saja para atasan membaca buku ini, mereka harus belajar lebih banyak lagi tentang memenangkan hati pegawai dan membuatnya loyal seumur hidup.
Tidak melulu soal cinta, kisah persahabatan Borno dan Andi pun turut mewarnai kisah di novel ini.
“ Habiskan masa-masa sulit kau dengan teman terbaik, maka semua akan lebih ringan. Hanya teman terbaiklah yang nekat mengerjai kau sampai sebegitu, karena dia percaya kau tidak akan benar-benar marah padanya”
Ampuh sekali pesan pak Tua, saat Borno begitu kesal pada Andi karena Andi membohonginya dengan mengatakan Mei sudah kembali disaat Borno benar-benar merindukannya.
Namun bukan Borno namanya kalau tidak membalas perbuatan Andi. Beberapa hari kemudian ia pun balik mengerjai Andi dengan menyuruh Andi memborngkar mesin vespa seorang pejabat yang telah diwanti-wanti ayah Andi, agar jangan disentuh sedikitpun. Tak pelak, Andi pun terpaksa mengungsi dari rumahnya karena bapaknya mengamuk padanya.
Sama seperti di novel-novel sebelumnya, Tere Liye selalu berhasil menampilkan tokoh –tokoh di tulisannya dengan karakter yang kuat. Kalau dalam “Bidadari-Bidadari Surga”, ada kak Laisa yang sangat menginspirasi, maka di novel ini Pak Tua adalah karakter yang sungguh mempesona. Banyak quote-quote yang keluar dari mulutnya membuat kita mengangguk-angguk setuju, terdiam , dan tersadar akan kebenarannya.
“ Borno, jangan pernah menilai sesuatu sebelum kau selesai dengannya, mengenal dengan baik”
Nasehat Pak Tua saat Borno mempertanyakan sikap ayah Mei yang tak bersahabat.
“ Cinta adalah perbuatan, kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun rasa cinta. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi”
Menohok,  sering kita mengumbar kata cinta berulang-ulang pada seseorang yang bertahta di hati, namun terkadang kita lupa, bahwa satu perbuatan kecil lebih berarti dari ucapan yang bertubi-tubi.
Selain tokoh Pak Tua, karakter lain turut memperkaya keseluruhan jalan cerita sehingga tidak monoton berpusat di tokoh utama. Koh Acong, pemilik toko kelontong berdarah Tionghoa, Cik Tulani si pemilik warung makan berdarah Melayu, dan tentu saja bang Togar dengan perangainya yang meledak-ledak. Namun ternyata di balik wajah sangar dan suara kerasnya, bang Togar berhati lembut. Bahkan ia memberi tips-tips kencan pertama kepada Borno
Yang pertama, Jadilah diri sendiri, kau tak perlu bergaya seperti anggota grup musik ternama. Cukup jadilah diri sendiri, Borno,seorang pengemudi sepit. Tips kedua, Jadilah pendengar yang baik, wanita manapun suka itu. Yang ketiga, pusatkan perhatian pada dirinya. Dia,dia, dan dia, itulah topik kau sepanjang hari, bahkan bila perlu kau puji sol sepatunya.Yang terakhir, yang paling penting, penutup. Katakan bahwa kau senang menghabiskan waktu bersamanya, bilang bahwa ini jauh lebih hebat dibanding mengantar Gubernur Kalimantan Barat menyeberangi Kapuas.
“ Aku belum pernah mengantar Gubernur bang “ Potong Borno.
Disini saya tergelak melihat reaksi Borno diceramahi bang Togar yang super galak. Apakah Borno berhasil mempraktekkan saran bang Togar??.
Hmm tampaknya kamu harus bersabar membacanya sampai akhir.
Hal yang paling menarik dari karya Tere Liye kali ini adalah setting tempat cerita yang tidak biasa. Kalau Jakarta, Jogja, Bali, Surabaya sudah biasa diangkat menjadi latar, maka kali ini kota Pontianak dengan segala keunikannya tersaji apik menyatu dengan kisah cinta Borno dan Mei.
Novel-novel yang pernah saya baca dengan setting lokasi yang kuat adalah novel karya Sidney Sheldon, Jhon Grisham dan Paulo Coelho. Membacanya, kita seperti ikut melihat, menyaksikan dan berada di dalam suasana yang diceritakan. Pun di novel Tere Liye kali ini.
Pontianak adalah kota yang dibelah oleh sungai terpanjang di Indonesia dan dilewati oleh garis imajiner terpanjang di dunia. Tapi daya tarik kota ini tidak cuma terletak pada fakta geografisnya. Sejarah kota Pontianak diinformasikan secara mengalir oleh Tere Liye.
Saya jadi tahu bahwa kata Pontianak berasal dari nama hantu yang ditemukan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada tahun 1771. Kuntilanak ( atau Puntianak dalam bahasa melayu ), hantu wanita legendaris yang dicirikan dengan rambut panjang, gaun putih, dan tawa melengking. Pemuda tersebut kemudian mengusirnya menggunakan meriam. Bola besi yang ditembakkannya jatuh persis di persimpangan antara sungai Kapuas dan Landak, kawasan subur yang kemudian berkembang menjadi kota Pontianak.
Pemukiman tumbuh, pusat kekuasaan baru lahir. Syarif Abdurrahman menjadi Sultan. Dia mendirikan mesjid jami dan Istana Kadriyah, lalu membawa Pontianak jadi salah satu pusat ekonomi di Kalimantan bermodalkan  sistem transportasi air. Kapuas, sungai yang membelah kota, merupakan sungai terpanjang nomor satu di Indonesai dan nomor 139 di dunia.
Istana Kadriyah menjadi salah satu tempat penting di cerita ini, tempat Borno dan Mei janjian bertemu pertama kalinya. Dominasi warna kuning yang digambarkan Tere Liye membuat saya penasaran. Belakangan saya baru tahu bahwa warna khas Melayu ini melambangkan kewibawaan dan budi pekerti.
Landmark ikonik Pontianak lainnya yang turut melengkapi novel ini adalah Tugu Khatulistiwa, Di tahun 1928 seorang ahli geografi asal Belanda berkunjung ke Pontianak untuk menentukan titik Khatulistiwa.
Peristiwa paling ditunggu wisatawan di Tugu Khatulistiwa adalah kulminasi matahari, yakni momen di saat mentari berada tepat di atas garis khatulistiwa, matahari benar-benar berada di atas kepala dalam arti sebenarnya, hingga membuat semua bayangan raib selama beberapa detik. Peristiwa ini lazimnya terjadi dua kali per tahun, yakni antara 21-23 Maret dan 21-23 September.
“Membaca, membuat cakrawala  terbuka”, terbukti telak di novel ini. Saya yang sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di Pontianak menjadi lebih tahu keadaan geografis, sejarah dan budaya kota tersebut. Bahkan Tere Liye menyelipkan pertandingan sepit yang menjadi tradisi tahunan di tepian sungai Kapuas sampai adat istiadat suku dayak sebagai tambahan pengetahuan bagi pembacanya. Tidak cukup sampai disitu, kisah Borno dan Andi tertangkap saat ingin melintasi petugas perbatasan negara menuju Kuching juga menginformasikan hal-hal yang mungkin tidak akan kita dapat di novel lain.
Laiknya sebuah karya, tentu ada kekurangan yang tidak dapat dinafikkan.
Hal pertama yang mengganggu saya adalah cover. Kalau ini murni penilaian subjektif. Menurut saya cover memegang peranan penting bagi sampainya sebuah karya ke tangan pembaca. Pemilihan warna orange mungkin dimaksudkan untuk menggambarkan suasana senja di tepian Kapuas. Namun warna tersebut kurang eye-cathing untuk sebuah novel dengan kisah semanis madu. Hal ini termaafkan, karena jaminan nama penulis yang sudah tidak diragukan lagi kapasitasnya.
Satu hal yang menjadi catatan saya. Dalam setiap bukunya, kita tidak pernah tahu seperti apa sosok Tere Liye si penulis. Tidak ada informasi apapun mengenai dirinya. Biarlah, kita memang tak perlu secara kasat mata melihat biografi si penulis. Namun dari tulisannya, kita kenal orang seperti apa yang menulis kisah sedemikian indah dan menyentuh nurani.
Berikutnya, jumlah halaman yang begitu tebal ( 512 halaman), membuat cerita sedikit bertele-tele di awal. Saya yang biasanya membaca tulisan Tere Liye sekali lahap, kali ini harus terpotong beberapa kali.
Dan yang terakhir, khas Tere Liye dengan ending yang selalu penuh kejutan. Sepanjang cerita saya sering menebak-nebak jalan ceritanya, seperti halnya Andi yang suka berimajinasi terhadap cerita orang, dan sayangnya tebakan saya sering salah. Namun kali ini ending yang disajikan menurut saya To good to be true. Surprising, namun terkesan nyinetron.
Terlepas dari sedikit kekurangan yang ada, “Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah” sukses membuat saya iri akan kisah perjuangan cinta Borno dan Mei. Kembali mengutip petuah bijak Pak Tua,
“ Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memekasakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya. Tidak usahlah kau gulana, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendirilah yang akan memberikan jalan baiknya.”
Bagi anda yang ingin membaca kisah ketulusan, semangat, perjuangan tanpa menyerah, dan  para pecinta yang sedang gundah dan galau, novel ini menyajikannya sepaket komplit. Agar kita bisa belajar cinta sejati yang ditawarkan Borno, bukan cinta membabi buta, hanya cinta sederhana, seperti layaknya air. Air di laut akan menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan , apalagi hanya sekedar muara.
Selamat Membaca.

Resentator       : Windi Teguh
Diikutsertakan dalam Lomba Resensi Gramedia Pustaka Utama

Ada Harga Ada Rupa

Tuesday, June 19, 2012

Kalau rezeki memang nggak kemana. Jum’at kemarin sebuah surat nemplok di meja kerja saya. SPJ ( Surat Perjalanan Dinas) ke Medan, cihuuuy., bisa ketemu suami lagi, ah senangnya. Tanpa membuang waktu saya segera searching tiket via internet. And, wow harga tiket gila-gilaan, maklum hari Jum'at. Saya yang biasanya naik maskapai merah urung melihat nominal yang tertera. Segera saya buka website penerbangan yang lain. Dan akhirnya saya pilih naik Garuda Indonesia. Soalnya harganya lebih murah dari yang lain, Asiiik.

Selama ini saya memang selalu menggunakan maskapai singa merah itu, karena disamping jam terbangnya yang ada setiap waktu juga biasanya harganya paling terjangkau. Namun karena ini dadakan, apa aja yang penting pulang.

Begitu lampu kantor diredupkan jam setengah lima tanda jam kerja berakhir saya langsung melesat mencari taksi menuju bandara. Sampai di terminal 2F, saya pun check-in menuju counter yang tersedia. Wah, terus terang saja, saya baru dua kali ini naik Garuda, pertama kali karena sebuah accident ( nanti saya tulis deh tentang ini ) dan kedua ya kali ini. Melihat tempat check-in nya saya sedikit takjub, tidak seperti di terminal 1A,B atau C yang biasanya antrian panjang mengular., disini antriannya rapi banget. Semua penumpang berdiri di garis batas yang ditentukan, dan satu persatu maju ke meja check-in setelah dipersilahkan petugas. Persis seperti antian di Bank.

Counter Garuda
Counter Lain











Saat saya sampai di depan petugas Check-in saya pun segera memperlihatkan kode booking saya. Berhubung saya dalam tujuan dinas, maka saya membawa bagasi berupa sebuah koper yang tidak terlalu besar, biasanya saya Cuma nge-ransel aja kalau pulang. Saat koper di timbang si petugas berkata kepada saya,

Si Mas :  “ Maaf ibu, kopernya silahkan diikat dulu dengan tali disana” katanya sambil menunjuk ke arah belakang saya.

Disana terlihat petugas packing koper yang selalu ada di setiap bandara. Dalam hati saya bergumam, ah males, cuma ngiket pake tali gitu doang bayar sepuluh ribu.

Saya pun menjawab “ Emang harus ya mas”.
Si Mas: “ Harus ibu”
Saya : “ Emang ada aturannya?”
Si Mas : “ Ada ibu, aturan maskapai memang seperti itu, demi keamanan koper ibu”
Saya : “ Tapi koper saya udah dikunci kok, udah aman” saya masih ngotot
Si Mas : “ Tetap harus diikat ibu “ jawab si mas sopan.
Saya : “ Ya baiklah kalo memang harus”, dalam hati saya masih gak rela.

Sebelum saya berbalik, si mas berkata sambil tersenyum manis, “ Itu gratis ibu, gak bayar”

Saya melongo, duh maluuu banget, ketauan deh kalau saya ini master of  Singa terbang tapi newbie di Garuda. Apalagi di koper saya masih tersemat kertas bagasi dari maskapai tersebut.

Dan selanjutnya,saya segera menuju ke ruang tunggu. Wah sepanjang jalan menuju ke boarding room, saya benar-benar melihat perbedaan sangat mencolok antara terminal yang biasa saya jambangi ( terminal 1) dengan terminal Garuda. Sangat rapi, eksklusif dan nyaman. Tidak tampak orang selonjoran disana-sini seperti yang biasa saya lihat. Kursi di ruang tunggu juga lebih empuk ( saya mulai lebay).

Eskalator datar menuju Boarding Room
Dan saat masuk ke pesawat, saya bergumam dalam hati, “ Pantes harga tiketnya lebih mahal, worthed lah dengan fasilitas yang didapat”. Ukuran kursi lebih besar dan lebih nyaman. Lalu di depan masing-masing kursi terdapat sebuah layar mini dengan berbagai pilihan hiburan, film, musik, komedi,sampai  info tempat wisata dilengkapi dengan headset.  Oya FYI aja, colokan headset nya ada di lengan kursi. Soalnya awal-awal saya bingung nyarinya. Tapi ya gitu, entah karena excited atau karena kampungan, saya akhirnya cuma sibuk pilah-pilih acara, tukar chanel sana sini, malah ga ada satu pun yang bener-bener saya nikmati. Sampai akhirnya saya putuskan nonton film, kebetulan ada film korea disitu. Eeeh, baru lima belas menit saya tonton, ternyata udah nyampe Medan, padahal film nya enak tuh, tentang cowok cewek yang sama-sama divonis tumor dan selalu kebetulan bertemu di ruang praktek dokter, di restoran, sampai sama-sama membatalkan uang muka yang telah mereka setor untuk memesan gedung pernikahan. Wah penasaran lanjutannya.

Kabin Pesawat 
Karena sudah ada semacam televisi gitu, maka tidak ada lagi pramugari yang melakukan demo safety seperti di penerbangan lain. Syukurlah, bukan apa-apa, soalnya saya suka sebal dengan pramugari yang melakukan demo keselamatan, entah Ge-er entah apa, selalu terlihat tidak focus saat melakukan demo. Matanya kesana kemari, tidak berani kontak mata dengan penumpang, dan terkesan yang penting selesai, makanya sebelum instruksi keselamatan selesai dibacakan, si pramugari sudah buru-buru balik kanan. Kalau pramugari Garuda sih, mature banget deh, anggun dan sangat sopan.

Begitulah saudara-saudara, akhirnya saya selamat sampai di tempat, dan langsung merasa malas naik maskapai lain, somboooong hahahaha.  Tapi saya sadar, harga tiketnya itu loo, sekali jalan setara dengan tiket pulang pergi kalo pake maskapai lain. Baiklah saya terima pelayanan kurang memuaskan asal bisa sering ketemu suami. “Ada harga ada Rupa”.

Please jangan sampai anda mengulang ke-alay-an saya.




Custom Post Signature