Judul
Buku : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau
Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit : 2012
Ukuran : 512 halaman, 20 cm
Harga : Rp 72.000,-
ISBN : 978-979-22-7913-9
Genre : Novel Dewasa
“Jika kita buang air
besar di hulu Kapuas, kira-kira butuh berapa hari kotoran itu akan tiba di
muara sungai,melintas di depan rumah papan kami?
Pertanyaan
aneh yang keluar dari mulut seorang bocah kecil bernama Borno. Mungkin kita
semua pernah mengalaminya, dimana saat kanak-kanak, begitu banyak pertanyaan
berseliweran di otak. Hal-hal tidak masuk akal yang membuat orang yang ditanya
kehabisan kata, jengkel dan geleng-geleng kepala. Namun dari semua pertanyaan,
tidak ada yang bisa mengalahkan tentang pertanyaan yang satu itu, apalagi kalau
bukan soal cinta. Itulah pertanyaan besar dalam hidup Borno.
Borno
adalah yatim dari seorang nelayan. Tersengat ubur-ubur kabarnya. Di lorong rumah sakit, Borno terduduk seorang
diri,menatap kosong ke segala arah.Seorang gadis kecil berdiri di depannya
dengan pandangan kuyu, sekuyu dirinya. Terhanyut dalam diam, sampai kabar tak
masuk akal itu di dengarnya. Sebelum jantungnya berhenti berdetak, ayahnya
menyetujui untuk mendonorkan jantungnya kepada seorang pasien gagal jantung
yang telah lama menunggu donor namun belum juga mendapatkannya. Umurnya dua
belas tahun saat itu, ia tidak pernah tahu, apa yang membuat ayahnya meninggal
dunia, sengatan ubur-ubur atau pisau bedah dokter.
Setelah
kematian ayahnya, hidup Borno berlanjut. Selepas SMA ia bekerja di sebuah
pabrik karet,pekerjaan yang tidak disukainya.” Semua pekerjaan baik”, kata ibunya. “ Aku tahu bu, tapi tidak semua
pekerjaan itu bau”. Bukan karena bau ia meninggalkan pekerjaan pertamanya,
harga karet yang terjun bebas membuat pabrik gulung tikar, Borno pun berganti
pekerjaan menjadi penjaga palang masuk di kapal Feri. Namun ternyata Feri
adalah musuh tiga turunan keluarganya. Bang Togar yang merupakan teman dekat
almarhum bapak menentang keras pekerjaan itu. Ia diberi ultimatum satu bulan
untuk meninggalkan pekerjaan itu. Diboikot oleh pengemudi sepit atas perintah
bang Togar, Borno pun menjalani pekerjaannya. Namun akhirnya,ditinggalkannya
juga kapal Feri tersebut, karena ada uang haram terselip di antara gaji
bulananannya. Setelah itu ia bekerja serabutan, mulai dari menjaga warung Cik
Tulani, sampai membantu tetangga mencari kucing yang hilang.
Hingga,
suatu pagi, Borno memulai pekerjaan barunya, pekerjaan yang membawa banyak
kisah, termasuk bertemu dengan kisah cinta sejati-salah satu pertanyaan terumit
selain berapa lama waktu yang diperlukan kotoran berhiliran dari hulu Kapuas
hingga ke muaranya di laut Cina Selatan.
“Jangan pernah jadi
pengemudi sepit Borno”
Wasiat
ayah dilanggarnya. Borno akhirnya resmi menjadi pengemudi sepit, sebuah perahu
kecil yang biasa disebut sebagai ojek perahu yang menghubungkan tepi Kapuas
satu ke tepi yang lain.
Hari
pertama ia menjadi pengemudi sepit, seorang gadis berbaju kurung kuning
berpayung merah duduk manis di atas sepitnya. Sepeninggal gadis tersebut,
sebuah surat bersampul merah, di lem rapi dan tanpa nama tertinggal di dasar
sepitnya. Alamak, inilah asal muasal seluruh cerita. Tanpa membuang waktu Borno
segera mencari gadis berbaju kuning tersebut. Yayasan tempat gadis itu mengajar
dijambanginya, kejar-kejaran dengan boat fiberglass di sungai Kapuas demi
menemui di gadis. Saat matanya tertumbuk ke si gadis, hatinya mencelos kecewa.
Disana di tepi sungai Kapuas, seorang gadis peranakan cina sedang
membagi-bagikan angpau persis seperti yang ada di tangannya.
“ Abang Borno mau
angpau?”. Sepenggal kalimat dari si gadis menjadi pembuka
cinta bersemi di hati Borno.
Pertemuan-demi
pertemuan yang memang sengaja diciptakan Borno membuat ia semakin dekat dengan
si gadis. Mei, nama yang baru diketahui Borno di pertemuan yang entah sudah ke
sekian kali dengan sebuah insiden kecil akibat kegugupan Borno membuat lelucon
tentang nama-nama bulan yang sering dijadikan nama orang.
Suatu
pagi, Mei meminta Borno mengajarinya mengemudikan sepit, namun malang , pagi
yang dijanjikan itu pula Pak Tua-orang yang sudah dianggap Borno sebagai
pengganti ayahnya- sakit keras dan membuat Borno lupa akan janjinya. Padahal
itu adalah hari terakhir Mei di Pontianak, ia harus kembali ke Surabaya tempat
tinggal keluarganya. Itulah perpisahan pertama Borno dan Mei.
“ Cinta itu macam musik
yang indah. Cinta sejati akan membuatmu tetap menari, meskipun musiknya telah
lama berhenti”
Sepenggal
nasihat pak Tua membuat Borno tetap tegar melewati hari-hari dilanda kerinduan
kepada Mei.
“ Tetap semangat abang
“
Ditambah
lagi pesan Mei, membuat Borno semangat melanjutkan hidupnya. Tak dinyana
ternyata ia memiliki bakat dalam hal permesinan. Berbekal uang hasil penjualan
sepitnya dan hasil penjualan rumah ayah Andi-sahabat karibnya sekaligus partner
bisnis- ia pun memulai usaha bengkel. Jatuh bangun usahanya termasuk penipuan
mulai dari awal pembukaan bengkel tidak membuat Borno menyerah. Hingga akhirnya
Mei menginjakkan kaki kembali ke Pontianak.
Namun
tampaknya, kisah cinta Borno harus menghadapi badai. Di tengah-tengah cerita,
muncul seorang dokter cantik bernama Sarah. Kehadiran Sarah menguak rahasia
selama bertahun-tahun, ditambah sikap ayah Mei yang tidak bersahabat dengan
Borno.
“ Kau dan Dia hanya
akan saling menyakiti” peringatan ayah Mei membuat Borno
bertanya-tanya.
Tak lama setelah itu, Mei pun pergi
meninggalkan Borno tanpa alasan.
“ Maafkan aku abang,
sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi “.
Ada
apa sebenarnya?, Siapa Sarah?, dan kenapa ayah Mei berkata seperti itu?, Apakah
ada hubungannya dengan angpau merah tersebut ?.
Kau,
Aku dan Sepucuk Angpau Merah, sebuah novel dengan kearifan lokal yang kental. Dengan
gaya bahasa yang ringan tanpa membuat kening berkerut ditambah lagi sempilan
komedi yang membuat kita terbahak, membuat novel ini kaya rasa kaya makna. Bohong,
kalau ada yang mengatakan ini novel kisah cinta. Novel ini lebih dari sekedar
kisah kasih dua anak manusia.
Seperti
biasa Tere Liye selalu membeberkan sisi lain dari sebuah cerita. Kekeluargaan,
ketulusan, sikap pantang menyerah tersampaikan dengan jelas tanpa kesan
menggurui.
“ Tidak ada yang akan
memecat kau hari ini. Seluruh pegawai bengkel ini adalah keluarga bagiku. Andi,
bapaknya Andi, kau, montir lain, semuanya keluarga. Membiarkan kau mendekam
lebih lama di sel dingin itu saja aku tidak tega, apalagi memecat kau.”
Saat
membaca bagian ini saya sungguh terharu. Membayangkan bagaimana rasanya menjadi
Lai, montir bengkel yang dianggap keluarga sendiri oleh bosnya, bahkan setelah
berbuat kesalahan masih diberi kesempatan. Andai saja para atasan membaca buku
ini, mereka harus belajar lebih banyak lagi tentang memenangkan hati pegawai
dan membuatnya loyal seumur hidup.
Tidak
melulu soal cinta, kisah persahabatan Borno dan Andi pun turut mewarnai kisah
di novel ini.
“ Habiskan masa-masa
sulit kau dengan teman terbaik, maka semua akan lebih ringan. Hanya teman
terbaiklah yang nekat mengerjai kau sampai sebegitu, karena dia percaya kau
tidak akan benar-benar marah padanya”
Ampuh
sekali pesan pak Tua, saat Borno begitu kesal pada Andi karena Andi
membohonginya dengan mengatakan Mei sudah kembali disaat Borno benar-benar
merindukannya.
Namun
bukan Borno namanya kalau tidak membalas perbuatan Andi. Beberapa hari kemudian
ia pun balik mengerjai Andi dengan menyuruh Andi memborngkar mesin vespa
seorang pejabat yang telah diwanti-wanti ayah Andi, agar jangan disentuh
sedikitpun. Tak pelak, Andi pun terpaksa mengungsi dari rumahnya karena
bapaknya mengamuk padanya.
Sama
seperti di novel-novel sebelumnya, Tere Liye selalu berhasil menampilkan tokoh
–tokoh di tulisannya dengan karakter yang kuat. Kalau dalam “Bidadari-Bidadari
Surga”, ada kak Laisa yang sangat menginspirasi, maka di novel ini Pak Tua
adalah karakter yang sungguh mempesona. Banyak quote-quote yang keluar dari
mulutnya membuat kita mengangguk-angguk setuju, terdiam , dan tersadar akan
kebenarannya.
“ Borno, jangan pernah
menilai sesuatu sebelum kau selesai dengannya, mengenal dengan baik”
Nasehat
Pak Tua saat Borno mempertanyakan sikap ayah Mei yang tak bersahabat.
“ Cinta adalah
perbuatan, kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun rasa cinta. Tetapi kau
tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi”
Menohok, sering kita mengumbar kata cinta
berulang-ulang pada seseorang yang bertahta di hati, namun terkadang kita lupa,
bahwa satu perbuatan kecil lebih berarti dari ucapan yang bertubi-tubi.
Selain
tokoh Pak Tua, karakter lain turut memperkaya keseluruhan jalan cerita sehingga
tidak monoton berpusat di tokoh utama. Koh Acong, pemilik toko kelontong
berdarah Tionghoa, Cik Tulani si pemilik warung makan berdarah Melayu, dan
tentu saja bang Togar dengan perangainya yang meledak-ledak. Namun ternyata di
balik wajah sangar dan suara kerasnya, bang Togar berhati lembut. Bahkan ia
memberi tips-tips kencan pertama kepada Borno
Yang
pertama, Jadilah diri sendiri, kau tak perlu bergaya seperti anggota grup musik
ternama. Cukup jadilah diri sendiri, Borno,seorang pengemudi sepit. Tips kedua,
Jadilah pendengar yang baik, wanita manapun suka itu. Yang ketiga, pusatkan
perhatian pada dirinya. Dia,dia, dan dia, itulah topik kau sepanjang hari,
bahkan bila perlu kau puji sol sepatunya.Yang terakhir, yang paling penting,
penutup. Katakan bahwa kau senang menghabiskan waktu bersamanya, bilang bahwa ini
jauh lebih hebat dibanding mengantar Gubernur Kalimantan Barat menyeberangi
Kapuas.
“ Aku belum pernah
mengantar Gubernur bang “ Potong Borno.
Disini
saya tergelak melihat reaksi Borno diceramahi bang Togar yang super galak.
Apakah Borno berhasil mempraktekkan saran bang Togar??.
Hmm
tampaknya kamu harus bersabar membacanya sampai akhir.
Hal
yang paling menarik dari karya Tere Liye kali ini adalah setting tempat cerita
yang tidak biasa. Kalau Jakarta, Jogja, Bali, Surabaya sudah biasa diangkat
menjadi latar, maka kali ini kota Pontianak dengan segala keunikannya tersaji
apik menyatu dengan kisah cinta Borno dan Mei.
Novel-novel
yang pernah saya baca dengan setting lokasi yang kuat adalah novel karya Sidney
Sheldon, Jhon Grisham dan Paulo Coelho. Membacanya, kita seperti ikut melihat,
menyaksikan dan berada di dalam suasana yang diceritakan. Pun di novel Tere
Liye kali ini.
Pontianak
adalah kota yang dibelah oleh sungai terpanjang di Indonesia dan dilewati oleh
garis imajiner terpanjang di dunia. Tapi daya tarik kota ini tidak cuma
terletak pada fakta geografisnya. Sejarah kota Pontianak diinformasikan secara
mengalir oleh Tere Liye.
Saya
jadi tahu bahwa kata Pontianak berasal dari nama hantu yang ditemukan oleh
Syarif Abdurrahman Alkadrie pada tahun 1771. Kuntilanak ( atau Puntianak dalam
bahasa melayu ), hantu wanita legendaris yang dicirikan dengan rambut panjang,
gaun putih, dan tawa melengking. Pemuda tersebut kemudian mengusirnya
menggunakan meriam. Bola besi yang ditembakkannya jatuh persis di persimpangan
antara sungai Kapuas dan Landak, kawasan subur yang kemudian berkembang menjadi
kota Pontianak.
Pemukiman
tumbuh, pusat kekuasaan baru lahir. Syarif Abdurrahman menjadi Sultan. Dia
mendirikan mesjid jami dan Istana Kadriyah, lalu membawa Pontianak jadi salah
satu pusat ekonomi di Kalimantan bermodalkan
sistem transportasi air. Kapuas, sungai yang membelah kota, merupakan
sungai terpanjang nomor satu di Indonesai dan nomor 139 di dunia.
Istana
Kadriyah menjadi salah satu tempat penting di cerita ini, tempat Borno dan Mei
janjian bertemu pertama kalinya. Dominasi warna kuning yang digambarkan Tere
Liye membuat saya penasaran. Belakangan saya baru tahu bahwa warna khas Melayu
ini melambangkan kewibawaan dan budi pekerti.
Landmark
ikonik Pontianak lainnya yang turut melengkapi novel ini adalah Tugu
Khatulistiwa, Di tahun 1928 seorang ahli geografi asal Belanda berkunjung ke
Pontianak untuk menentukan titik Khatulistiwa.
Peristiwa
paling ditunggu wisatawan di Tugu Khatulistiwa adalah kulminasi matahari, yakni
momen di saat mentari berada tepat di atas garis khatulistiwa, matahari
benar-benar berada di atas kepala dalam arti sebenarnya, hingga membuat semua
bayangan raib selama beberapa detik. Peristiwa ini lazimnya terjadi dua kali
per tahun, yakni antara 21-23 Maret dan 21-23 September.
“Membaca,
membuat cakrawala terbuka”, terbukti
telak di novel ini. Saya yang sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di
Pontianak menjadi lebih tahu keadaan geografis, sejarah dan budaya kota
tersebut. Bahkan Tere Liye menyelipkan pertandingan sepit yang menjadi tradisi
tahunan di tepian sungai Kapuas sampai adat istiadat suku dayak sebagai
tambahan pengetahuan bagi pembacanya. Tidak cukup sampai disitu, kisah Borno
dan Andi tertangkap saat ingin melintasi petugas perbatasan negara menuju
Kuching juga menginformasikan hal-hal yang mungkin tidak akan kita dapat di
novel lain.
Laiknya
sebuah karya, tentu ada kekurangan yang tidak dapat dinafikkan.
Hal
pertama yang mengganggu saya adalah cover. Kalau ini murni penilaian subjektif.
Menurut saya cover memegang peranan penting bagi sampainya sebuah karya ke
tangan pembaca. Pemilihan warna orange mungkin dimaksudkan untuk menggambarkan
suasana senja di tepian Kapuas. Namun warna tersebut kurang eye-cathing untuk sebuah novel dengan
kisah semanis madu. Hal ini termaafkan, karena jaminan nama penulis yang sudah
tidak diragukan lagi kapasitasnya.
Satu
hal yang menjadi catatan saya. Dalam setiap bukunya, kita tidak pernah tahu
seperti apa sosok Tere Liye si penulis. Tidak ada informasi apapun mengenai
dirinya. Biarlah, kita memang tak perlu secara kasat mata melihat biografi si
penulis. Namun dari tulisannya, kita kenal orang seperti apa yang menulis kisah
sedemikian indah dan menyentuh nurani.
Berikutnya,
jumlah halaman yang begitu tebal ( 512 halaman), membuat cerita sedikit
bertele-tele di awal. Saya yang biasanya membaca tulisan Tere Liye sekali
lahap, kali ini harus terpotong beberapa kali.
Dan
yang terakhir, khas Tere Liye dengan ending yang selalu penuh kejutan.
Sepanjang cerita saya sering menebak-nebak jalan ceritanya, seperti halnya Andi
yang suka berimajinasi terhadap cerita orang, dan sayangnya tebakan saya sering
salah. Namun kali ini ending yang disajikan menurut saya To good to be true. Surprising, namun terkesan nyinetron.
Terlepas
dari sedikit kekurangan yang ada, “Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah” sukses
membuat saya iri akan kisah perjuangan cinta Borno dan Mei. Kembali mengutip
petuah bijak Pak Tua,
“ Cinta sejati selalu
menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir atau apalah
sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta
justru sebaliknya, selalu memekasakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta
berbagai perangai norak lainnya. Tidak usahlah kau gulana, wajah kusut. Jika
berjodoh, Tuhan sendirilah yang akan memberikan jalan baiknya.”
Bagi
anda yang ingin membaca kisah ketulusan, semangat, perjuangan tanpa menyerah,
dan para pecinta yang sedang gundah dan
galau, novel ini menyajikannya sepaket komplit. Agar kita bisa belajar cinta
sejati yang ditawarkan Borno, bukan cinta membabi buta, hanya cinta sederhana,
seperti layaknya air. Air di laut akan menguap, menjadi hujan, turun di
gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan
perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Cinta sejati tidak pernah memiliki
ujung, tujuan , apalagi hanya sekedar muara.
Selamat
Membaca.
Resentator : Windi Teguh
Diikutsertakan dalam Lomba Resensi Gramedia Pustaka Utama
Akhirnya jadi jg resensinya, siip...siip moga2 menang lagi mbak :D
ReplyDeleteآمِّينَ ÙŠَ رَ بَّÙ„ْ عَÙ„َÙ…ِÙŠَ
DeleteTapi saingannya berat nih, para peresensi pada ikutan, nyoba2 aja. Nambah pengalaman, baru pertama ini serius nulis resensi.
Makasi ya. Btw ga ada namanya sih :(
Halo Mba Jawara lomba blog...
ReplyDeleteSemoga menang lagi kali ini Mba Wind...
Semangat
Wah parah kali ini ben. Resensi ku kacau, ngga runut. Gpp lah itung-itung belajar. ;D. makasi atensinya nya
DeleteHohoho...
DeleteBagus gitu kok dibilang kacau mba...
Terus belajar tanpa henti...
semoga jurinya sependapat, wkkwwkwk. Semangat nih kalo punya temen kaya gini ;D
Delete