Sinamot Saya Dulu
“ Berapa sinamot yang diberi calon suamimu win?, pasti besar lah ya, kan kerja di BUMN”
Pertanyaan tersebut beberapa tahun yang lalu berhamburan dari orang-orang sekitar saat saya akan melangsungkan pernikahan dengan suami. Ada yang bertanya terang-terangan, ada yang menduga-duga bahkan tak sedikit yang menyarankan ini itu.
“ Minimal 3 ikat lah win, kau kan sarjana”
Atau
“ Wah, ibunya windi panen nih, soalnya kau kan perempuan bekerja win, lain dong sama yang ngga kerja”
Merupakan hal yang lumrah, di daerah saya yang notabene masih masuk dalam wilayah Sumatera Utara mempertanyakan hal-hal di atas.
Sinamot dalam bahasa batak adalah sejumlah uang yang diberikan calon mempelai pria kepada ibu mempelai wanita sebagai balas jasa karena telah membesarkan dan mendidik si anak sehingga menjadi wanita yang siap diperistrinya.
Walapun jaman sudah modern, teknologi sudah canggih, namun kebiasaan yang dulunya hanya dilakukan oleh suku batak, akhirnya malah menjadi kebiasaan dan keharusan di daerah saya. Saya yang notabene tinggal di kota Medan, ibukotanya SUMUT pun masih mengikuti kebiasaan tersebut. Padahal ayah saya bersuku Jawa. Namun karena ibu saya berdarah Batak Mandailing, tak pelak, sinamot pun menjadi salah satu syarat dalam melangsungkan pernikahan.
Karena merupakan balas jasa pada sang ibu, maka sudah menjadi aturan tidak tertulis bahwa besarnya jumlah sinamot tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal. Diantaranya pendidikan dan pekerjaan si wanita. Jadi semakin tinggi pendidikannya, maka semakin besarlah sinamot yang harus diserahkan si pria. Sekilas terdengar seperti menjual anak, namun pada kenyataannya menurut saya, sinamot ini seperti bentuk pengakuan terhadap hasil didikan orangtua. Tak heran, jika yang dilamar adalah seorang dokter, si pria pasti harus menguras lebih banyak lagi koceknya. Nilai tambah lagi jika si wanita telah bekerja, karena dianggap nantinya ia akan turut mencari nafkah dan membantu si suami.
Makanya, teman-teman dulu banyak yang menduga-duga berapa kira-kira sinamot yang diberikan suami kepada saya. Karena selain pendidikan saya S1, saya juga bekerja di sebuah bank BUMN. Kalau dipikir-pikir sekarang rasanya lucu. Padahal saya kuliah dan bekerja dulu sama sekali tidak memikirkan hal tersebut.
Yang paling susah dari proses pemberian sinamot tersebut adalah menyampaikan kepada calon suami. Bagaimana tidak?. Kalau kebetulan si pria berasal dari Sumatera Utara juga pastilah ia sudah mengerti, namun lain ceritanya kalau berasal dari daerah dan suku yang memiliki budaya berbeda.
Untunglah walau suami saya berasal dari Jogja namun karena sebelumnya ia telah mencari tahu mengenai adat istiadat di daerah saya, masalah penyampaian tidak menemui kendala yang berarti. Bahkan ternyata suami sudah mempersiapkannya dengan matang. Setelah melamar saya secara pribadi di sebuah kafe, ia langsung terang-terangan menanyakan perihal sinamot atau biasa disebut uang hangus tersebut kepada saya.
Proses yang biasa terjadi, si pria akan menyampaikan ke wanita kesanggupannya dalam menyediakan uang hangus tersebut. Kemudian si wanita akan menyampaikan kepada ibunya. Kalau si ibu cocok, berarti dicapai kata sepakat, namun kalau belum pas, maka perundingan akan berlanjut. Menurut pengalaman saya, tidak jarang suatu pernikahan gagal berlangsung, jika tak kunjung dicapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Untunglah hal tersebut tidak terjadi pada keluarga saya. Tanpa banyak tanya, ibu langsung menyetujui saja jumlah yang disanggupi suami.
Alhamdulillah ya punya ortu yang bijak bestari.
Tak cukup sampai disitu, setelah kata sepakat diambil, prosesi menjelang pernikahan masih panjang.Calon mempelai pria harus datang dulu bersama keluarga dekatnya yang terdiri dari orangtua dan beberapa kerabat saja, namanya meresek. Disini acara masih setengah formil, hanya berupa perkenalan antara keluarga pria dan wanita. Saat inilah disampaikan maksud dan tujuan kedatangannya sekaligus dibicarakan jumlah sinamot yang secara tidak resmi telah disepakati sebelumnya.
Tahap selanjutnya, melamar secara resmi dengan didampingi orangtua dan kerabatnya, martuppol. Yang menarik di acara martuppol tersebut adalah adanya acara berbalas pantun yang sungguh sayang untuk dilewatkan. Mungkin karena dipengaruhi oleh adat melayu, makanya diselipkan pantun didalamnya.
Martupol atau lamaran sekaligus hantaran biasanya hanya berselang beberapa minggu setelah meresek. Di martupol ini, si pria akan membawa semua yang telah disepakati di acara meresek. Barang-barang yang biasanya disyaratkan adalah:
Tepak Sirih
Tepak sirih, sebuah kotak yang didalamnya berisi daun sirih, kapur sirih, dan berbagai macam bunga. Nantinya, si tepak ini sebagai pembuka acara lamaran. Pihak pria akan menyerahkannya kepada orang yang dituakan di pihak wanita. Tepak tersebut ditutup oleh sebuah kain ulos. Dengan diterimanya tepak ditandai dengan dimakannya sirih oleh orang yang dituakan tadi, maka kedatangan keluarga pria dianggap sudah diterima di keluarga calon mempelai wanita.
Oya, konon dipercaya, kalau seorang gadis yang belum ada jodohnya memakan sirih yang ada di tepak, maka tak lama ia akan menemukan jodohnya. Maka, berlomba-lombalah para gadis memakannya. Siapa tahu cepat dapat jodoh.
Selain tepak sirih, barang-barang lain yang harus dibawa adalah seperangkat isi kamar, yang terdiri dari tempat tidur, lemari dan toilet. Ini dulu pas saya cerita ke temen di luar Sumatera pasti kaget, piye gitu hantaran isi kamar hahaha.
Kemudian perlengkapan calon mempelai wanita , sepasang kebaya, sepatu, tas, pakaian dalam, kosmetik. Peralatan sholat, mukena, sajadah, sarung. Juga peralatan mandi seperti sabun, shampoo, lotion, sikat gigi, macem-macem lah. Sebagai syarat juga dibawa beraneka macam minuman, seperti teh,kopi,gula. Wah kalau dibungkus dalam keranjang, hantarannya bisa mencapai sepuluh keranjang bahkan lebih.
Dalam acara hantaran ini, nantinya pembawa acara akan menyebutkan satu persatu barang yang dibawa si pria. Setiap satu barang disebut, maka dihantarkanlah keranjang yang berisi barang yang dimaksud ke tangan si ibu mempelai wanita.
Sampai terakhir yang disebut adalah jumlah sinamot yang telah disepakati sebelumnya. Penyebutan jumlah tersebut di muka umum salah satunya menunjukkan rasa bangga si ibu atas nilai putrinya. Walaupun bukan berarti harga diri si anak setara dengan uang yang diberi, namun penyebutan angka tersebut merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu.
Biasanya para tetangga pun datang ke acara hantaran hanya untuk mengetahui berapa sinamot yang diberikan. Tak jarang jumlah tersebut menjadi gunjingan berhari-hari kalau menurut para tetangga tak sesuai.
Cape dehhh
Namun ada juga orang yang tidak mau sinamotnya disebut secara terbuka. Seperti saat acara hantaran saya. Atas permintaan suami dan saya, jumlah sinamot tidak disebutkan. Untunglah ibu saya pun tidak menganggap hal tersebut suatu keharusan. Bukannya malu karena jumlahnya sedikit, tapi karena saya memang tidak ingin orang lain di luar keluarga mengetahuinya. Biarlah mereka menduga-duga saja. Biar makin penasaran wahahaha.Karena menurut saya pribadi, hal tersebut bukanlah sesuatu yang harus dibangga-banggakan atau malih dicaci caci.
Semua prosesi tadi yang paling memegang peranan adalah ibu si wanita. Setelah uang hangus diberi, dengan menggunakan kain/ulos si ibu akan menggendong dan membawa uang tersebut ke kamar, tempat dimana putrinya berada. Wah, acaranya akan menjadi haru, karena si ibu akan memutar-mutar kain berisi uang tersebut ke atas kepala anaknya dan mendoakan putrinya dengan doa semoga apa yang diberi si calon pria menjadi berkah bagi mereka.
Setelah rangkaian acara selesai, selanjutnya akan ditetapkan tanggal dan hari pernikahan. Berbeda dengan suku jawa yang biasanya melihat dari hari baik hari buruk berdasarkan weton si calon pengantin, penentuan tanggal di sumatera terkesan lebih simple. Tinggal ditentukan tanggal yang kiranya semua pihak tidak keberatan. Begitu saja. Setidaknya itu menurut pengalaman saya.
Tas,Sepatu dan Kosmetik
Sekilas kalau mengetahui adat di Sumatera Utara rasanya ribet sekali untuk melangsungkan pernikahan. Namun, ada sisi positifnya, bahwa pernikahan itu bukanlah suatu hal yang main-main. Perlu keseriusan untuk menjalaninya. Dan dengan keribetannya, saya merasa hal tersebut cukup melindungi pihak wanita dari keisengan para pria.
Sering saya mendengar celutukan teman yang bukan orang sumut berkata, “ Wah kalau nikah sama orang Medan itu ngajak bangkrut”.
Dipikir-pikir memang sepertinya iya. Belum-belum si pria sudah pusing tujuh keliling memikirkan dana yang harus dikeluarkannya. Namun jangan khawatir, banyak ibu yang kemudian akan mengembalikan uang hangusnya kepada pasangan pengantin tersebut lagi. Mungkin tidak seluruhnya, namun cukup membuat lega bagi pasangan pengantin baru.
Makanya ntar kalo jadi ortu jadilah ortu yang bijak ya. Dan syukurnya ibu saya termasjk ortu yang bijak tadi.
Setelah itu semua, prosesi pernikahan masih berlanjut.
Yang membedakan pengantin sumut dengan daerah lain salah satunya adalah pakaian. Banyak jenis pakaian adat Sumut. Dari pakaian batak Toba, Karo, hingga Mandailing. Karena ibu saya suku Mandailing, maka mau tak mau saya pun mengenakan baju adat Mandailing. Ya ampuun, hiasan kepalanya yang disebut bolang itu berat banget. Saya sampai migren saat memakainya. Namun entah kenapa, saya melihat, siapapun yang mengenakan baju adat Mandailing tersebut, aura kecantikannya begitu terpancar. Makanya saya tidak keberatan memakainya, karena disamping warnanya yang cerah yaitu merah, juga membuat saya tampil cantik eksotis.
Baju Adat Mandailing
Satu lagi, istimewanya pengantin Sumut dalam hal ini Mandailing. Alat musik yang digunakan saat acara berlangsung adalah gondang Sembilan. Terdiri dari Sembilan buah gendang dengan berbagai ukuran. Tidak tanggung-tanggung, acara adat ini bisa berlangsung tiga hari tiga malam. Bayangkan saja seperti apa lelahnya si pengantin. Tak heran di hari ketiga, biasanya pengatin memakai kaca mata hitam untuk menutupi lingkar hitam di matanya.
Gondang ini dimainkan dengan lagu pengiring yang sendu mendayu-dayu. Pasangan pengantin akan menari mengikuti iringan lagu. Kalau di Jawa ada acara sungkem, maka di adat mandailing, sungkemnya sambil menari ala tor-tor.
Prosesi Tarian Batak, Saat adik Saya Menikah
Namun lagi-lagi untunglah, saya tidak mengalaminya. Bukan karena tidak mau, namun karena keterbatasan waktu, apalagi keluarga suami yang berasal dari Jogja tidak bisa terlalu lama tinggal, maka acara pernikahan saya cukup ringkas tanpa mengurangi nilai adat istiadat di dalamnya.
Kalau mengingat-ingat kembali saat pernikahan berlangsung saya dan suami sering menertawakannya. Dimana saat salah satu kerabat ibu saya memberi nasehat dalam bahasa Mandailing, saya dan suami cuma pandang-pandangan sambil tersenyum, tak mengerti apa yang dikatakannya.
Awalnya keluarga suami sempat shock dan agak kaget dengan panjangnya prosesi dari mulai lamaran sampai pernikahan. Namun, mereka senang mengikutinya, karena melihat hal baru yang tidak ditemui di tanah Jawa.
Bagaimanapun ribet dan melelahkannya prosesi pernikahan yang saya alami, namun ada kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri di hati. Bahwa saya telah ikut melestarikan kekayaan budaya bangsa dan nenek moyang. Saya rasa tidak ada salahnya sebagai generasi penerus , kita mengabulkan dan menuruti keinginan orangtua di hari pernikahan . Merupakan bentuk bakti sebelum meninggalkan rumah yang telah membesarkan kita.
Sepulang dari bulan madu dan kembali masuk kantor, kembali teman-teman usil bertanya kepada saya, “ Jadi berapa win sinamotmu?”
“ Seharga satu buah mobil” jawab saya enteng.
(Jangan tanya mobilnya mobil apa ya wkwkwkw)
Foto: Koleksi Pribadi