Belakangan saya jadi sering kepikiran soal cara berfikir orang-orang yang saya kenal di dunia maya. Hmmm mungkin sekitar setahun atau dua tahunan ini kali ya.
Saya melihat saat ini begitu gampang orang melabeli seseorang dengan kata liberal, hanya karena ia menulis atau berpendapat sesuatu yang tidak seperti orang kebanyakan.
Padahal apa sih sebenarnya arti liberal itu sendiri? Kok seolah- olah setiap orang yang ga ga gampang percaya terhadap sesuatu atau yang gunain logikanya dalam mencerna hal-hal tertentu langsung dicap liberal, dicap terlalu menuhankan logika, sehingga hatinya mati. hak dezing.
( Baca : Catatan Aksi Bela Islam )
Apa yang salah dengan memikirkan dan mempertanyakan hal-hal dalam rangka untuk proses berfikir, berdiskusi. Masa kita ngga boleh berfikir?
Ya kan di agama juga ada dibilang " Aku dengar dan aku taat" Udah lakukan saja sesuai perintah Allah.
Nah, ini saya masih ngga ngerti kenapa bisa muncul orang-orang yang mengatakan kalimat ini. seolah-olah, orang yang berfikir dianggap membangkang. Padahal kalau kita mau menelaah, dan ngomongin asal muasal ajaran Islam, itu dimulai dari satu kata " Iqra' baca.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).
Baca.... baca.....
Iqra, membaca, menganalisa, mendalami, merenungi, menyampaikan, meneliti tidak sebatas pada membaca ayat-ayat yang bersumber dari Tuhan, kitab suci, tapi juga membaca dan merenungkan alam semesta.
Jelas kita dituntut untuk memiliki ilmu, mempelajari apa yang diciptakannya. Lha terus ngapain kalau kita disuruh belajar tapi ngga boleh berfikir.
Sialnya saya melihat suatu paradoks disini. Ngga suka dengan orang yang apa-apa pake logika, yang banyak berfikir tapi bangga banget saat ada seorang muslim yang berprestasi atau saat ada sebuah penemuan yang ternyata penemunya adalah seorang muslim.
Bangga yang sampai pada ngeshare disertai caption ' Subhanallah, seorang muslim ternyata yang menemukan lalalalalala."
Saat Zidan si pemain sepak bola dunia ternyata beragama Islam, kita dengan bangga bakal bilang " Wow Zidan ternyata muslim lho"
Ya ngga.
Atau saya salah? Kalau saya salah mohon koreksi.
Artinya apa?
Artinya, di dalam hati kita, kita ingin kan bahwa pemeluk agama Islam itu banyak yang punya prestasi, berilmu. Prestasi apa saja, boleh dalam sains, dalam bidang keartisan, perdamaian dunia, seni, olahraga, apapun.
Kita senang, saat ada ilmu baru di dunia kedokteran, atau di dunia antariksa yang ternyata telah diceritakan di Al Qur'an sebelumnya, yang ternyata berasal dari mempelajari Al Qur'an.
Seneng kan? Bangga kan?
Ya wajar-wajar saja, karena tentu itu akan menjadi sterotype positif terhadap pemeluk agama tersebut secara keseluruhan.
Nah, tapi kenapa, di saat yang bersamaan kita ketakutan saat ada orang yang sedikit aja berfikir, menunjukkan kepintarannya, atau menunjukkan bahwa ia memiliki ilmu yang mungkin tidak dimiliki kebanyakan orang, kalau dia membaca lebih banyak dibanding yang dibaca orang lain.
Kenapa?
Kenapa?
Atau jangan-jangan kita sendiri ketakutan, kalau orang terlalu pintar maka akan mempertanyakan segalanya dan berujung bisa mempengaruhi cara berfikir orang lain ?
Bahkan ada yang mengatakan, jangan terlalu banyak berfikir ah, jangan apa-apa dilogikain ntar malah jadi atheis lho?
Nah lho, berarti disini sebenarnya yang meragukan keimanan sendiri siapa? yang meragukan agamanya sendiri siapa?
Buya hamka pernah berkata, bahwa ilmu tanpa iman ibarat lentera di tangan pencuri.
Bisa digunakan untuk kejahatan. Bisa digunakan untuk memperkaya diri sendiri, untuk menyengsarakan orang, untuk merugikan orang, dan untuk membuat orang tidak tenang.
Persis seperti pencuri.
Yak benar, makanya orang-orang yang berilmu perlu ditundukkan dengan keimanan, agar ilmunya terpagari.
Namun, jangan lupa iman tanpa ilmu juga ibarat lentera yang dipegang oleh bayi.
Tahu kan bagaimana lentera di tangan bayi. Bisa jadi malah ngga bermanfaat, bisa pecah, mudah diambil, mudah diombang-ambing, dan mudah dikendalikan oleh siapapun.
Makanya saya ngga setuju banget jika ada orang atau siapapun yang banyak berfikir, mempertanyakan sesuatu, even yang dipertanyakannya adalah tentang agama, trus langsung dicap liberal. langsung dicap tidak sami'na wa ato'na.
Kok bisa seperti itu?
Kebayang ngga sih, lama-lama orang akan malas berfikir. ya udahlah, daripada dicap liberal, diberangus ya udah iyain aja. Ngga usah didebat. dengerin aja. Ngga usah dipikirin. Singkirkan semua buku-buku , bisa berbahaya, jangan kasih baca buku sastra nanti sok puitis, ngga usah baca buku filsafat ntar jadi mempertanyakan segalanya.
Pokoknya saya melihat orang-orang yang ada di sekitar saya terutama yang mengaku sebagai kaum agamais, maka mereka akan menolak saat ilmu pengetahuan bertentangan dengan dogma tapi di satu sisi bersorak saat dogma pas dengan ilmu pengetahuan.
Bukankah itu lucu.
Sebenarnya adalah sangat wajar jika ada beberapa hal antara ilmu pengetahuan dan agama/dogma bertentangan, ya karena dasarnya memang udah beda.
Iman artinya percaya, percaya artinya tidak ragu, Ya uwis sampai kapanpun ngga akan ketemu kalau selalu dibentur-benturkan. Wong yang satu karena ragu-ragu, yang satu karena haqqul yakin.
Padahal ya bisa saja kalau ditelaah dan dipelajari lebih lanjut, mungkin memang tidak saling bertentangan, hanya yang namanya pengetahuan manusia kan terbatas ya, sesuatu yang saat ini diyakini benar bisa jadi akan ada penelitian ke depan yang menentangnya. Demikian pula yang saat ini dianggap salah, bisa jadi bertahun kemudian baru ditemukan bukti kebenarannya.
Lha iya, dulu bumi dianggap sentral alam semesta, sekarang ganti toh jadi matahari.
Dulu, kita taunya bumi satu-satunya planet yang ada, ternyata hanya setitik debu di alam semesta. Makanya kita dituntut untuk terus belajar, berfikir. Ngga ada yang salah dengan itu.
Mempertanyakan sesuatu bahkan mempertanyakan agama itu sendiri bukan berarti tidak percaya Tuhan, tidak percaya apa yang dikatakan kitabnya, ya bagaimanapun kembali ke kalimat tadi, iman tanpa ilmu akan mudah terombang-ambing, makanya kita harus berlimu biar semua ada dasarnya, biar keyakinan tidak sekedar ikut orangtua, tidak sekedar warisan tapi merupakan hasil berfikir, dan hasil meyakini dari hati yang telah melalui saringan logika.
Nah sekarang coba tanya ke diri masing-masing, agama yang kita anut saat ini beneran hasil rekonstruksi cara berfikir kita setelah dewasa atau memang masih bawaan warisan orangtua?
Jangan marah dulu, dan jangan langsung semena-mena mengatakan yang mempertanyakan ini liberal.
Pertanyaan ini perlu kita tanyakan ke diri masing-masing, bukan untuk meragukan keimanan sendiri, tapi lebih kepada mempertanyakan benarkah kita memang meyakini agama yang kita anut sekarang ini berdasarkan keihklasan kita?, berdasarkan proses berfikir kita?
Coba ini ditanyakan dulu dan dijawab dengan jujur.
Bukankah itu lucu.
Sebenarnya adalah sangat wajar jika ada beberapa hal antara ilmu pengetahuan dan agama/dogma bertentangan, ya karena dasarnya memang udah beda.
Kita harus menyadari dulu, yang namanya ilmu pengetahuan itu ya basisnya adalah keragu-raguan sedangkan agama dasarnya adalah iman-kepercayaan.
Iman artinya percaya, percaya artinya tidak ragu, Ya uwis sampai kapanpun ngga akan ketemu kalau selalu dibentur-benturkan. Wong yang satu karena ragu-ragu, yang satu karena haqqul yakin.
Padahal ya bisa saja kalau ditelaah dan dipelajari lebih lanjut, mungkin memang tidak saling bertentangan, hanya yang namanya pengetahuan manusia kan terbatas ya, sesuatu yang saat ini diyakini benar bisa jadi akan ada penelitian ke depan yang menentangnya. Demikian pula yang saat ini dianggap salah, bisa jadi bertahun kemudian baru ditemukan bukti kebenarannya.
Lha iya, dulu bumi dianggap sentral alam semesta, sekarang ganti toh jadi matahari.
Dulu, kita taunya bumi satu-satunya planet yang ada, ternyata hanya setitik debu di alam semesta. Makanya kita dituntut untuk terus belajar, berfikir. Ngga ada yang salah dengan itu.
Mempertanyakan sesuatu bahkan mempertanyakan agama itu sendiri bukan berarti tidak percaya Tuhan, tidak percaya apa yang dikatakan kitabnya, ya bagaimanapun kembali ke kalimat tadi, iman tanpa ilmu akan mudah terombang-ambing, makanya kita harus berlimu biar semua ada dasarnya, biar keyakinan tidak sekedar ikut orangtua, tidak sekedar warisan tapi merupakan hasil berfikir, dan hasil meyakini dari hati yang telah melalui saringan logika.
Nah sekarang coba tanya ke diri masing-masing, agama yang kita anut saat ini beneran hasil rekonstruksi cara berfikir kita setelah dewasa atau memang masih bawaan warisan orangtua?
Jangan marah dulu, dan jangan langsung semena-mena mengatakan yang mempertanyakan ini liberal.
Pertanyaan ini perlu kita tanyakan ke diri masing-masing, bukan untuk meragukan keimanan sendiri, tapi lebih kepada mempertanyakan benarkah kita memang meyakini agama yang kita anut sekarang ini berdasarkan keihklasan kita?, berdasarkan proses berfikir kita?
Coba ini ditanyakan dulu dan dijawab dengan jujur.
" I'm not what happenned to me, I'm what i choose to become"
Kalau ini ditanyakan ke saya.
Tentu saya akan menjawab bahwa agama saya saat ini memang agama yang diwariskan orangtua saya. Makanya ngapain marah kalo dibilang bahwa agama yang kita peluk adalah agama warisan. Namun seiring saya bisa berifikir, saya yakin bahwa Islam ini agama yang saya yakini.
Namun itu tak membuat saya merasa superior dan menganggap bahwa pemeluk agama lain kecil.
Karena saat kita yakin terhadap agama sendiri, kita sama sekali tidak perlu mengkerdilkan agama lain.
Saaf kita yakin dengan agama kita, maka kita juga ga akan terombang-ambing dan parno sendiri saat rumah ibadah agama lain, berdiri di samping mesjid kita misalnya.
Lha kenapa harus takut, kenapa harus terusik? Kan udah yakin.
Namun kalau kita bisanya cuma teriak-teriak bahwa " Aku percaya apa yang dikatakan guru ngajiku, aku percaya apa yang dikatakan oleh ulama kami, aku percaya apa yang dikatakan kitabku" tanpa pernah berusaha miimal mempertanyakan dan mencari taulah sedikit itulah yang disebut dengan lentera di tangan bayi.
Kamu hanya percaya atas apa yang dikatakan orang. Makanya kamu berang saat ulama dihina, makanya kamu marah saat agamamu dihina.
Ngga, kalau kamu paham dengan baik, kamu akan berfikir ulang saat berang melihat ulamamu dihina, atau agamamu dilecehkan. Kamu akan mungkin berfikir, bahwa mereka yang menghina, mereka yang melecehkan, adalah orang-orang yang tidak tahu. Netijen sering menyebutnya sebagai " belum mendapat hidayah"
Kamu percaya hal ini, tapi sekaligus kamu mengingkarinya.
Bagaimana mungkin kita bisa marah kepada orang yang ngga tau apa-apa tentang agama kita.
Bagaimana mungkin kita akan terbakar emosi pada orang yang melecehkan Tuhan kita, padahal mereka ya memang belum kenal pada apa yang kita yakini.
Maka seharusnya, alih-alih terjadi perpecahan saling menghina atau saling mencap yang tidak sepemikiran dengan kata liberal, mungkin kita perlu baca sejarah tentang akhlak rasul yang kita junjung.
Nabi Muhammad sendiri banyak mencontohkan bagaimana lemah lembutnya ia terhadap umat beragama lain, bagaimana santunnya beliau terhadap orang yang tidak sepemahaman.
Ia tidak marah saat seorang Badui mengencingi mesjid. Karena ia tahu, si badui hanya tidak tau kalau itu salah. Alih-alih langsung menghardiknya, nabi malah membiarkan ia menyelesaikan hajatnya kemudian baru memberitahukannya, dan sekalian pula membersihkannya.
Kalau mau kita telaah lagi, kenapa rasul ngga langsung menghardiknya?, Karena alih-alih bikin orang mengerti bahwa mesjid bukan untuk dikencingi, malah mudharat yang ada. Si Badui bisa terkejut, malah bisa kelihatan auratnya, bisa malah pakaiannya kena najis, malah bisa saja karena kaget, kencingnya berhenti mendadak dan bisa jadi penyakit.
Ya ngga sih?
Pernah denger ngga, kalimat ini " Jika kita menghilangkan suatu kemungkaran, namun malah mendatangkan kemungkaran yang lebih besar maka sama saja kita melakukan kemungkaran yang pertama tadi plus ditambah kemungkaran yang datang karena perbuatan kita tadi. Dan tambahan kemungkaran itu sudah jelas maksiat.
Jadi mikirnya itu panjang, ngga cuma soal kemungkaran itu tapi rentetan di belakangnya juga harus dipikirin.
Kecuali kita dalam kondisi berperang, dan salah satu melanggar perjanjian,yang akibatnya bisa membahayakan nyawa pemeluk agama kita, tentu kita boleh berlaku tegas, angkat senjata pun jadi.
Tapi coba lihat kembali ke kondisi negara ini, apakah kita sedang perang?
Apakah keselamatan kita terancam?
Kita dianugerahi jumlah yang banyak, mayoritas, seharusnya kita yang menjadi change agent terhadap perwakilan diri seorang muslim bagi lingkungan kita.
Muslim tidak pemarah
Muslim tidak pengumpat
Muslim tidak pencaci
Muslim tidak rasis
Karena agama kita adalah agama pembawa kedamaian, rahmatan lil alamin.
Bukankah itu yang selalu kita katakan? Karena memang demikian seharusnya.
Bagaimana kita bisa menjadi rahamatan lila alamin, kalau saudara kita yang berbeda agama kita hindari.Bagaimana kita mau rahmatan lil alamin, kalau sesama muslim saja kita saling menghujat?
Jangan terlalu picik menganggap hidup ini cuma soal pilkada, atau cuma soal siapa yang lantang bersuara berada di pihak mana. Gsyfhchdgsh
Ngga sehitam putih itulah hidup ini.
Karena seharusnya memang benar ilmu itu bukan membuat orang hanya pintar berkata-kata, tapi ilmu itu seharusnya bisa membuat orang makin lembut hatinya.
Tapi tunggu dulu, kalau bagi kalian sekufu itu saat kita sama-sama membela Habib Rizieq, tentu itu keliru.
Atau kita sekufu saat kita sama-sama ingin negeri ini menjadi negara khilafah, ya mungkin memang ngga sepaham.
" Tapi selama ini umat muslim sudah dizolimi, kita dibungkam, difitnah"
Coba dipikir lagi, apa iya seperti itu? Jangan-jangan kita kemakan pihak-pihak yang memang kerjaannya memecah belah bangsa ini.
Kita kurang berpengaruh di negeri sendiri?
Ya ayo bikin supaya punya pengaruh. Ngga usah jauh-jauh, ayo anak-anak muda muslim, ayo belajar lebih giat. Pelajaran ilmu agama penting tapi kalau kita ingin membuat perubahan nyata di negara ini, ya ilmu pengetahuan lain perlu dipelajari juga.
Jangan takut pada filsafat. Filsafat bukan membuat orang jadi sesat, tapi membuat orang lebih bijak, lebih bisa melihat dari sudut pandang yang lebih luas.
Orang dengan sudut pandang lebih luas, maka akan memiliki penglihatan lebih jernih, bisa melihat segala sisi, dan bisa melihat apa-yang mungkin tidak kelihatan saat jarak terlalu dekat.
Jangan ketakutan dengan ilmu di luar agama. Lha gimana mau bersaing di kancah politik kalau anak-anak kita hanya boleh bergaul sesama muslim, bagaimana bisa punya skill untuk berbaur dengan bangsa kita yang majemuk kalo dari kecil udah ditanam doktrin " Temenannya sama yang muslim aja ya" . Gimana atuh
Sudahilah dengan memberi pelabelan kepada sesama kita.
" Tapi mereka kadang suka duluan sih, memancing-mancing agar kita terbakar, menertawai agama kita"
Ya makanya jangan bikin jadi bahan tertawaan. Kalo baca berita sesuatu dicerna dulu, jangan asal senggol bacok ngga jelas. Dan biarin aja sih. Kalau mereka seperti itu ya jangan ikutan. kalau kita juga membalasnya, apa bedanya kita dengan mereka.
Harus ada yang memutus rantai itu. Dan kitalah yang harus memutusnya.
Ingat, apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain itu bukan tanggung jawab kita.
Tapi bagaimana kita bereaksi atas perlakuan mereka, maka itulah tanggung jawab kita.
" Kalau mereka terus menghina"
Kenapa sih selalu merasa terhina?
Mungkin saat ini ada yang merasa terzalimi, mungkin saat ini ada yang begitu bersemangat ingin menegakkan agama di tanah air tercinta ini, ghirahnya lagi meletup-letup. Tapi ingat, kita tidak tinggal sendiri, ada saudara-saudara kita yang beragama lain yang juga punya keinginan untuk aman damai disini, Yang ingin negeri ini lebih baik lagi.
" Lha siapa bilang mereka terancam? kapan kita mengancam, sudah beratus tahun Muslim mayoritas disini tapi ngga ada kok pernah terjadi pemaksaan, mereka aman selama ini"
Ya udah bagus kalau gitu, pertahankan. Namun itu kan perasaan kita, lha iya kitanya mayoritas, mereka belum tentu merasa demikian.
Kalau kita ingin dimengerti saat agama kita dihina, ya kita juga harus mau mengerti saat mereka merasa terancam. Karena ini sama-sama perasaan masing-masing yang mungkin pihak lain ngga meras.
( Baca : Alasan Saya Memahami Ketakutan Kaum Minoritas )
Makanya sama-sama membuktikan, bahwa satu sama lain tidak seperti yang selama ini dibayangkan.
Udah panjang banget nih, daripada saya ntar ngalor ngidul, balik lagi ke awal kenapa saya nulis ini.
Semoga kita bukan termasuk orang-orang yang punya iman tapi tak berilmu sehingga malah layaknya lentera di tangan bayi
Bukan pula termasuk orang yang punya ilmu tapi tak beriman layaknya lentera di tangan pencuri.
Kebenaran hanya milik Allah, kita ini apalah, ngetik aja kadang typo, masih sok pula merasa yang paling mengerti segalanya. Lebih parah lagi, masih pula ngga mau berfikir, kemudian merasa paling mengerti tentang agamanya dan ngambil peran jadi Tuhan plus pemegang stempel pintu surga dan neraka. Halah