Dalam sebulan ini, saya ngalamin apa yang disebut pepatah bahwa “ Hidup adalah pilihan”
Beeeugh dalem banget nih kayaknya postingan, hahahah.
Yup, sering denger kan yah kata-kata mutiara tentang kehidupan.
Bahwa hidup adalah pilihan
Dalam hidup kita harus memilih
Bahwa hidup adalah bukan sebuah kebetulan
Bahwa yang namanya hidup ada setiap konsekuensi dari setiap pilihan, halah.
Sampai khatam dengernya.
Sebagai ibu bekerja, ya gitu, tiap hari dari mulai bangun pagi sudah dihadapkan oleh pilihan-pilihan. Mau pilih ngelonin anak sambil cium-cium aroma tengkuknya yang surgawi banget atau bangkit dari tempat tidur, segera mandi dan dandan sebelum si mungil keburu bangun dan malah telat ngantor.
Sampai di kantor, kerja, pas mau pulang pun kembali di hadapkan ke pilihan, mau tetep stay di depan computer sankin asiknya kerja, atau segera beresin meja dan bergegas capcus biar masih sempet main sama anak di rumah.
( Baca : Hidup Ini harus Memilih )
Iyes, kedengerannya sederhana banget kan yah.
Ya iyalah, kalau ada pertanyaan pilih kerjaan atau keluarga, pastilah jawaban semua orang lazimnya bakal pilih keluargalah. Keluarga is numero uno. Ngga ada yang memenangkan pilihan kalau ada keluarga di antaranya
Namun, ternyata jawaban semudah itu ngga selalu terjadi di setiap kondisi.
Ada kalanya keluarga memang harus di pihak yang harus dinomorduakan. Bukan berarti posisinya jadi tidak lebih penting di banding kerjaan, tapi memang ada saat-saat karena pertimbangan tertentu, pekerjaan menjadi prioritas.
Kalau di saya ini sudah terjadi beberapa kali.
Antara keluarga dan kesempatan
Tepat 4 tahun lalu, saya dihadapkan langsung ke pilihan keluarga atau pekerjaan.
Saat itu saya baru melahirkan anak pertama saya Tara. Anak yang sudah dinanti selama 5 tahun lamanya. Baru 3 hari keluar dari rumah sakit, saya ditelepon kantor, pemanggilan assesment untuk naik ke level manajer.
Tentu saja itu tawaran yang menggiurkan, naik grade, naik gaji, perubahan status plus tambahan fasilitas bakal mengikuti di belakangnya.
Namun tentu saja nantinya ada konsekuensi yang harus saya jalani. Yup, terdapat kemungkinan saya bakal mutasi. Namanya bekerja, mutasi kemana itu kan seperti bola liar, ngga ada yang tahu kemana tembakannya. Padahal, saya baru saja berkumpul dengan suami saya setelah LDR-an selama 3 tahun. Ditambah baru saja menikmati peran sebagai ibu baru.
Hadeeeeh, kala itu bener-bener dilemma deh buat saya.
Namun akhirnya saya putuskan untuk merelakan kesempatan itu berlalu. Yup, saya memilih tetap stay bersama keluarga. Ah kesempatan, walau katanya tak mungkin datang dua kali, tapi masih ada peluang untuk datang kembali kan?. Sedangkan kesempatan berkumpul bersama keluarga tidak akan bisa tergantikan.
Antara Pekerjaan dan Pengabdian
Hasek, judulnya ngeri.
Yup, kembali saya dihadapkan pada pilihan antara keluarga dan pekerjaan.
Sebulanan lalu, saya dapat panggilan pendidikan ke Jakarta. Duh seneng bangetlah pastinya. Pokoke selalu seneng kalau ada panggilan pendidikan or training karena ada kesempatan jalan-jalan ke Jakarta hahahaha. Bisa ketemuan sama temen dan bisa seminggu bebas dari rutinitas kerjaan, Cuma makan minum di diklat sambil belajarlah ya pastinya, LOL.
Udah persiapan dong, pakaian udah dipacking, tiket udah dipesan. Rencana pergi hari Minggu, dari Sabtu udah nelfon omanya Tara biar bisa jemput anak-anak. Diungsikan ke rumah oma dulu selama saya di Jakrta rencananya.
Namun, namanya manusia berencana , Tuhan juga yang menentukan. Besok pagi mau berangkat, eh malamnya mas Teguh sakit. Demam tinggi dan mulutnya sakit sampai level ngga bisa dibuka sehingga ngga ada makanan dan minuman yang bisa masuk.
Keesokan paginya saya paksa mas Teguh ke rumah sakit. Awalnya Mas Teguh nyuruh saya tetap berangkat, karena dia pikir dia bisa mengurus diri sendiri. Namun, namanya juga istri manalah tenang membiarkan suaminya ke rumah sakit sendiri.
Jadi pagi itu saya bawa Mas Teguh ke RS, setelah diperiksa segala macam ternyata harus opname karena memang suhu tubuhnya tinggi banget, 39’C dan karena sudah dua hari ngga makan apa-apa jadi kondisi tubuhnya lemes banget. Hasil pemeriksaan sementara sepertinya amandel dan disarankan untuk operasi.
Yha dhalah langsung nelfon kantor, batalin training, dan telfon ke maskapai penerbangan, batalin tiket.
Kali ini saya masih tetap memilih keluarga dibanding pekerjaan. Toh training masih bisa diikuti lain kali, namun kesehatan suami, bisa memburuk atau membaik saat itu saya tidak tau. Ngga pengen aja menyesal jika sesuatu terjadi saat saya lebih memilih kerjaan dibanding menemani suami.
Dan Alhamdulillah saya ngga pernah menyesalinya.
( Baca : Dear Rekan Kerja, Maafkan kami Para Working Mom )
Antara Pekerjaan dan Anak
Saya pikir, hal-hal seperti itu bakal membuat saya gampanglah ntar-ntar kalau ada kejadian serupa.
Namun ternyata saya salah.
Semingguan yang lalu, anak saya Tara sibuk minta ulang tahunnya agar dirayakan di sekolah. Sebenarnya ulang tahunnya sendiri tanggal 28 Mei ini, tapi karena tanggal 20 merupakan hari terakhir sekolah, maka acara ulangtahun dimajukan jadi hari kamis tanggal 19 Mei 2017.
Saya ngga ambil cuti, karena minggu sebelumnya saya sudah cuti dan tentu saja karena saat ini kondisi kerjaan di kantor lagi lumayan hectic. Jadi rencana saya, saya bakal datang menjelang jam istirahat kantor, merayakan ultah, selesai acara balik lagi ke kantor. Saya perkirakan palingan cuma 2 jam-an.
Biar ngga rempong, segala sesuatu sudah saya siapkan. Mulai dari kue ultah, balon, dekor, makanan sampai gudie bag untuk teman-teman Tara.
Yha dhalah, di hari H ultahnya, tiba-tiba ada pemberitahuan undangan meeting karena ada Kepala Divisi datang dari Kantor Pusat. Saya masih tenang karena saya pikir palingan menjelang makan siang rapat sudah selesai dan saya bisa langsung ke sekolah Tara.
Namun ternyata sampai menjelang jam makan siang belum ada tanda-tanda selesai, padahal anak TK nya juga udah mau pulang.
Sempat terfikir untuk ijin sebentar dari meeting, pergi ke sekolah Tara , ikut acaranya bentar kemudian balik lagi meeting. Namun setelah saya hitung jarak dan waktunya sepertinya ngga memungkinkan. Saya malah bakal ngga dapet dua-duanya. Dengan jarak yang lumayan jauh, kalau saya ke sekolah pasti acara sudah selesai, ntar saya balik lagi ke kantor, pasti meeting juga udah selesai.
Akhirnya dengan berat hati, saya telpon bu gurunya Tara, meminta blio untuk memulai acara tanpa menunggu saya.
Sedih?
Bangetlah.
Udah kebayang mau nyanyi-nyanyi sama Tara, potong kue, hepi-hepilah.
Mana sempet ngobrol lagi sama Tara
“ Tara, kalau bunda ngga ikut acara ulang tahunnya gimana sayang”
“ Ngga apa bunda, Tara kan anak pintar, Tara bisa ulangtahun sama kawan-kawan”
Ngga tau deh gimana menggambarkan perasaan saya. Kecewa pastinya.
Saya ngga kecewa atau marah sama kantor sih, hanya ya kecewa saja, karena semua memang di luar kuasa saya.
Nah kali ini keluarga saya kalahkan. Ultah anak saya, saya relakan berjalan tanpa saya dan saya memilih stay di ruangan meeting. Bukan berarti meeting lebih penting dari ulang tahun anak. Tapi memang ada kalanya pilihan yang terlihat gampang begini pun memerlukan pertimbangan dulu.
Yah begitulah, terkadang menjadi ibu bekerja itu memang kita dituntut untuk berani memilih diantara keluarga dan pekerjaan. Karena yang namanya seorang perempuan yang sudah menikah, pasti punya tanggung jawab di keluarga. Namun karena ia bekerja ia pun memiliki kewajiban dan tanggung jawab di kantor.
Memilih salah satu, tak berarti membuat yang lain menjadi kurang penting. Ini hanya masalah skala prioritas di waktu tertentu.
( Baca : Profesionalisme Ibu Bekerja )
Yup menjadi ibu bekerja, pasti kita akan sering dihadapkan dengan tantangan rasa bersalah bila harus mengutamakan pekerjaan di waktu tertentu, ga apa kok itu wajar saja. Namun jangan dibawa berlarut-larut karena memang harus kita sadari saat kita memilih bekerja ada konsekuensi yang harus kita jalani.
Nah menurut pengalaman nih, ada beberapa hal yang biasa saya lakukan sebelum memutuskan sesuatu, saya pengen share kepada pembaca saya siapa tau bermanfaat.
Saat kita dihadapkan pada pilihan kerjaan atau keluarga , segera ajukan beberapa pertanyaan ke diri sendiri.
Apakah bisa ditunda atau digantikan?
Ini misalnya pilihan antara pendidikan atau menemani suami sakit, kayak yang saya alami.
Saya langsung tanyakan ini ke diri saya.
Bisakah pendidikan ditunda atau digantikan teman?
Jawabnya bisa. Pendidikan akan ada batch lain.
Bisakah kehadiran saya disamping suami digantikan orang?
Jawabnya tidak, karena suami saya type orang yang hanya mau diurus sama istrinya, dan disini dia tidak memiliki keluarga selain keluarga saya.
Maka ya udah , saya pilih membatalkan pendidikan dan stay disamping suami.
Apakah ada kemungkinan kesempatan lain?
Ini saat kejadian pemanggilan assesment saat saya baru melahirkan dan baru ngumpul bersama suami setelah 3 tahun LDR.
Apakah assesment akan ada di lain kali?
Yes ada, karena ini perusahaan besar akan selalu ada job opening,namun paling saya akan tertinggal dibanding teman seangkatan saya.
Apakah saya siap untuk mutasi pada saat ini?
Jawabannya tidak. Saya ngga siap jika berpisah lagi dengan suami saat anak saya masih bayi banget. dan saya masih enjoy dengan jabatan saat itu.
Maka saya pilih tidak ikut assesment
Namun berbeda saat pilihannya ultah atau meeting kantor.
Kembali saya ajukan pertanyaan ke diri sendiri
Apakah bakal ada lain kali?
Jawabannya tidak. Tidak setiap saat kepala divisi datang untuk memberi pengarahan. Apa yang disampaikannya adakah yang saya butuhkan untuk melakukan pekerjaan saya ke depan. Jika saya tidak ikut meeting, saya mungkin tidak bisa menyampaikan ke anggota saya apa yang seharusnya saya sampaikan berdasarkan evaluasi kantor pusat.
Kemudian saya tanya juga pertanyaan itu untuk bagian ultah anak.
Apakah kalau saya tidak ada acara bakal tetap berlangsung?
Ya, ulang tahun akan tetap terlaksana karena acara di sekolah dan semua sudah saya siapkan.
Apakah anak saya bakal sedih?
Tentu saja,pasti lebih bahagia kalau saya ada disitu. Tapi saya bisa mengulang ultahnya kalau mau atau membuat acara sekali lagi bersama saya dan papanya di rumah.
Maka akhirnya saya pilih meeting dibanding ultah Tara.
Jadi keputusan yang diambil tidak berdasarkan perasaan semata tapi keputusan yang diambil dengan pertimbangan logis. Dengan cara ini ,mudah-mudahan akan meminimalisir perasaan bersalah atau perasaan ngga enak misalnya.
Jadi, ibu-ibu bekerja tetap semangat yaaaa, hahah ini sebenarnya lagi menyemangati diri sendiri ceritanya.
Jangan jadikan pilihan antara pekerjaan atau keluarga menjadi hal yang menimbulkan perasaan bersalah, sedih atau penyesalan. Karena semua sudah melalui pertimbangan logis terbaik.
Prioritas itu ga stuck. karena prioritas selalu bergantung pada situasi, kondisi dan urgensi.
Yuk tetap semangat semuaaaa. muuah mmuah
Yuk tetap semangat semuaaaa. muuah mmuah
Aku milih dua2nya mbak, gak bisa klo harus ninggalin anak demi pekerjaan tapi juga gak bisa klo full dirumah aja hehehe
ReplyDeletemantaplah kalao bisa balance dua2nya mbbaa, keren
DeleteTara pinteran deh :)
ReplyDeletesiapa dulu emaknya hahahaha
DeleteAaahh jadi keingat saat jadi working mom kemaren..
ReplyDeleteSelalu galau dan dilema kalau saya.
Namun beruntunglah mbak masih bisa terus menjadi working mom..
Kalau saya akhirnya memutuskan jadi SAHM karena anak sakit - sakitan dan jauh dari ortu hiks, plus bekerja di bidang tehnik Sipil yang mana tiada hari tanpa lembuuurrrr huhuhu
Di tempat aku kerja, biasanya buibu lebih mengedepankan keluarga. Jadi gak heran buibu amat sangat dimaklumi kalau telat datang atau abis makan siang pulang gak balik2 ke kantor lagi. Sementara yg single mau kek gitu, tunggu aja..bentar lagi bakal dapat surat cinta dari SDM. Hahahaha.. it's not fair sih menurut aku.
ReplyDeleteMudah2an di kantor kamu gak gitu ya,Win.
sangat sangat bermanfaat artikelnyah
ReplyDeletekalau saya memilih ngurus anak dan keluarga aja deh...! sebelumnya saya memang bekerja tapi 1 satu tahun lalu saya putuskan untuk berhenti saja. saya pikir saya tak mau nglewatin tumbuh kembang anak di masa keemasannya. saya takut menyesal nantinya. soalnya tipikel gampang stress. saya takut jika permasalahan di pekerjaan kan membuat mood tidak bagus didepan anak!!!
ReplyDeleteSaya saat ini masih bisa jd working mom, dg kerjaan yg kadang2 mengharuskan keluar kota dan ninggalin suami sm anak paling lama 1 minggu. Mdh2an msh bisa terus kerja dan ttp menomorsatukan keluarga.
ReplyDeleteMakasih mbak windi untuk tips2 milih kerja atau keluarga.
Keren M̲̣̣̣̥ϐªκ̣̝̇ klo msih bs jd working mom, pasti jabatan d BRI udah tinggi yaa mbakk win? Ntar aq abiz lahiran إِنْ شَاءَ اللَّهُ resign ajaa, memilih tinggal ma keluarga dan jaga baby, bukan karna gag mau jd working mom, tapi baby gak ada yg jaga, jauh dari keluarga, anak rantau.. Jd mending milih brenti kerja dan balik ma kluarga... Tau sdri Banker brgkt pagi pulang malam.. Hhiihii...
ReplyDeleteKeren mom bisa jd working mom yang masih memprioritaskan keluarga. Saya pernah dihadapkan LDR dengan suami akibat dipindah2 pindah kota . Saya jg di perbankan dan dipindah2 untung ga sampai antar pulau. Tp sudah mewek lebay aja ditambah blm kunjung dapat momongan setelah 6 bulan nikah. Giliran dapat ternyata blm rejeki akhirnya harus direlakan kembali kepada Nya. Tp alhamdulillah sudah isi lagi. Kangen kerja lagi mom.. . Habis melahirkan masih bisa ga ya kerja lagiii. Takut dinyinyirin jd patah semangat dan sedih ninggal anak. Belum drama ART. Gimana momm tips ya biar kuat kembali jd working mom. Baiknya berapa bulan mulai apply lagi...
ReplyDelete