Tentang Menjadi Anak Dari Ibu Bekerja Gambar dari Sini |
Bagaimana rasanya jadi anak yang dibesarkan oleh ibu bekerja?
Hmmm, ditengah banyaknya status-status dan war-war an antara ibu bekerja dan ibu yang di rumah soal pengasuhan anak, kayaknya yang paling tepat itu ditanyakan langsung deh ke anak -anaknya. Ya ngga sih?. Percuma kan buibu itu udah perang opini, lha yang merasakan enak ngga nya masing-masing peran bukannya si anak yah.
( Baca : Istri Idaman dan Istri Yang tak diidamkan)
Tadi baca artikel ini di mommiesdaily. Artikel yang berisi testimoni dari ibu-ibu yang dulunya dibesarkan oleh ibu yang bekerja.
Saya ngga mau bahas soal perang opini antara dua kubu ibu yah. Ngga asik soalnya xixixi. Saya percaya kalimat klise " Kembali ke masing-masing orangnya" untuk setiap pilihan yang diambil.
Mumpung ini lagi bulan Desember, dimana ada momen hari ibu di dalamnya, jadi pengen cerita gimana ibu saya dulu membesarkan kami, empat anaknya.
Jadi pengen ikutan juga deh bahas soal itu. Iyaaaa saya mah ga kreatif, dapat ide nulis selalu karena baca tulisan orang. Ngga papa toh, namanya ide kan bisa dari mana saja.
Bulan Desember memang bulannya ibu nih, banyak banget kuis, lomba, bahkan online shop, toko-toko pun berlomba-lomba memberikan penwaran yang dikaitkan dengan harinya para ibu ini.
Ah peran ibu memang luar biasa yah di kehidupan kita, tidak bisa digantikan oleh apapun. Kalau dulu menjadi seorang ibu itu tantangannya lebih kepada bagaimana bisa menghasilkan anak yang baik, soleh, pinter, berbakti, berguna bagi nusa dan bangsa. Sekarang mah beda lagi. Disamping peran ibu dalam hal mendidik anak, ibu-ibu jaman sekarang juga harus menghadapi tantangan stereotype-stereotype yang dilekatkan kepadanya tergantung pada apapun yang menjadi pilihannya.
Milih bekerja atau di rumah saja. Pilih pakai pembantu atau daycare. Pilih kasih ASI atau Sufor. Pokoknya semua pilihan-pilihan seorang ibu yang notabene sebenarnya merupakan ranah pribadi, sekarang jadi ajang judgemental dan bebas dinilai oleh orang bahkan yang tidak mengenal kita.
Sebagai seorang ibu, saya melihat memang di dunia per ibu-ibuan , hal-hal tersebut muncul karena adanya rasa tidak percaya diri dari para ibu-ibu tersebut terhadap pilihannya. Dan mereka membutuhkan pengakuan dari orang-orang sekitar, bahwa apa yang dipilihnya adalah yang terbaik.
So sad bukan?
Dimana, seorang ibu yang merupakan madrasah bagi anaknya , malah masih labil, bingung akan pilihannya.
Beberapa hal yang paling sering menjadi pembahasan adalah, kekhawatiran para ibu-ibu itu kalau anak yang tidak diasuh langsung oleh tangan ibunya bakal jadi anak yang ehmmmm, nakal lah, kurang kasih sayanglah, lebih sayang pembantulah, kurang bonding, pokoknya hal-hal negative lainnya.
( Baca : Anak Posesif)
( Baca : Anak Posesif)
Padahal menurut hasil penelitian dari yang saya baca-baca selama ini, belum adalah yang bisa mastikan bahwa misalnya anak dari ibu yang tinggal di rumah lebih baik dari anak yang ibunya bekerja atau sebaliknya. Ada buanyak sekali faktor dan kembali ke kalimat klise, tergantung gimana orangnya, Tergantung gimana cara mendidik anaknya, tergantung gimana peran suami, peran lingkungan. Pokoknya tergantung apa yang digantung dan digantung dimana, hahahaha, malah ngelantur.
Dulu kami tinggal di sebuah komplek perkebunan. Ayah saya mah pekerja biasa yah, jadi ibu saya kerja niatnya ya memang untuk bantu ekonomi keluarga, bukan gaya-gayaan kayak saya #ups. Karena ibu saya punya cita-cita tinggi, pengen anak-anaknya minumal lulus sarjana, terus saat itu kondisi keluarga ibu saya memang lagi prihatin, jadi ibu turut menanggung sekolah dan biaya hidup beberapa adiknya. Jadi wajarlah ya ibu saya mutusin buat kerja. lagian jaman dulu kayaknya perempuan bekerja biasa aja, ga seheboh sekarang.
Kami empat bersaudara. Tiap pagi rumah heboh, semua mempersiapkan diri masing-masing untuk memulai harinya. biasanya kami dibangunkan ayah jam 5 subuh buat sholat. Setelah sholat baru deh rumah rame, Ibu sibuk di dapur masak, saya nyapu halaman, ayah saya ngisi bak mandi ( iya dulu di komplek itu air harus nimba sendiri dari sebuah bak besar jatah perusahaan). Adik saya masih kecil-kecil, jadi biasanya mereka tidur lagi, kan belum sekolah.
Jangan bayangin kami disuapin ibu makan deh, atau dipakein baju, no no no, samsek ga ada tuh adegan kayak gitu. Ya makan-makan aja sendiri, pakai baju sendiri, nyiapin roster untuk pelajaran hari itu juga sendiri. Oleh ayah saya kami cuma dibuatin jadwal sehari-hari, ditempel di masing-masing meja belajar, sok atuh ikutin kalau mau hidupnya teratur, kalo ngga mau ya rasain sendiri ntar keteteran.
Iyaaa, karena tahu ibu ngga mungkin melakukan hal-hal semacam itu, kami dari kecil sudah yang tahu diri aja buat ga sok-sok manja sama ibu. Pokoknya yang bisa dikerjain sendiri ya kerjain sendiri. Bahkan untuk urusan ngerjain PR, seingat saya kami juga ngerjain sendiri, palingan kalau ada yang sulit baru nanya ke ibu, soale ibu saya kan guru yah. Makanya kadang saya heran lihat status ibu-ibu sekarang yang kalau malam itu nemenin anaknya ngerjain peer, xixixi saya dulu ga pernah sih ya pakai ditemenin segala. Apalagi menjelang ujian, ibu-ibu rame pasang status stress mendampingi anaknya belajar. Lhaa saya dulu belajar aja sendiri.
Tapi mungkin karena jaman berubah , tingkat kesulitan pelajaran sekolah juga berubah.
Trus buat nambah-nambah penghasilan, sore sampai malam itu ibu ngasih les privat lagi ke anak-anak bos di komplek kami. Hwaaa, parah banget yah nyari duitnya, hahaha.
Tapi..... itulah yang mungkin membuat kami berbeda dari anak kebanyakan di komplek itu. Pun hingga akhirnya ayah saya pindah kerja, dan kami ngga tinggal di komplek masa kecil lagi, tinggal di perkampungan biasa, tapi gaya hidup kami ngga berubah. Tetap yang teratur dan disiplin tanpa harus diawasi ortu. Jadi sebodo teing anak-anak sekitar abis maghrib main , kami ya ngerjain peer dulu baru main. Bukan karena dilarang, tapi ya sadar diri aja.
Main kok malam-malam?
Yah namanya di kampung nek, Main mah sesuka hati, mau siang, sore, malam, asal ngga hujan hayuk ajah.
Dulu sempat ayah saya kerjanya jauh, di Pekanbaru sedangkan kami di sebuah desa sekitar satu jam-an lah dari Medan, jadi kami di rumah cuma sama ibu. Ibu sibuk kerja, kami diasuh tante yang ikut sekolah di rumah, ada sih ART yang pulang pergi, tapi cuma nyuci nyetrika doang. Urusan beres-beres rumah, nyapu halaman, nyuci piring, dan hal-hal remeh temeh lain kami kerjain bareng-bareng.
Trus apa kami kurang kasih sayang?
Nah itulah anehnya, kok saya malah merasa kami malah berlebihan kasih sayang. Saya, abang dan dua adik saya deket banget dengan ibu kami. Ibu itu tempat curhat pertama saya. Pokoknya apapun yang terjadi pada saya , ibu adalah orang yang pertama tahu.
Saat saya kenal cinta monyet, saat saya patah hati, sampai saat saya galau menentukan langkah menuju pelaminan. Ibu adalah pendamping setia saya.
Bahkan waktu saya pertama kali patah hati saat SMA (saya SMA di Sibolga, sekitar 8-10 jam dari Medan), malamnya saya nelfon ibu, bilang saya sedih banget bla.... bla..bla. EH besok siangnya ibu sudah ada di depan saya. Bukan buat ngapa-ngapain cuma buat nemenin saya makan martabak mesir kesukaan saya dan dengerin saya cerita. Udah gitu aja, malamnya ibu balik lagi ke Medan. Jadi ibu bolak-balik Medan-Sibolga dalam satu hari. Coba, itu bukan masalah punya waktu atau ngga, saya pikir.
Kalau kebanyakan anak usia remaja sukanya hangout bareng teman sepermainan, saya malah sama sekali ngga. Kemana-mana sama ibu. mau ke mall ya sama ibu, ke toko buku ya sama ibu, saya dari dulu ngga pernah nge-gang atau sejenisnya. Iya saya bukan type remaja yang suka nongkrong-nongkrong dimana gitu. Lebih suka di rumah, kalau pun keluar ya sama ibu.
Tuh aneh kan. padahal kan ibu saya kerja.
Adik-adik saya juga demikian.
Makanya sampai saat ini, kalau ditanya siapa sahabat terbaik, terdekat, sahabat sejati saya. gampang banget jawabnya, ya dua adik saya dan ibu , ditambah kakak ipar, adalah sahabat terdekat saya.
Peran ibu sama sekali tidak tergantikan oleh para pengasuh kami. Seingat saya kami punya pengasuh lusinan dari kecil sampai remaja, dan ngga satupun yang bisa menggantikan ibu.
Banyak hal positif yang mepengaruhi kepribadian kami sebagai anak dari ibu bekerja.
Apalagi ibu saya orang yang sangat getol dengan pendidikan.Di masa tuanya sekarang aja sempet-sempetnya blio ngambil kuliah pasca sarjana. Semangat ibu buat memperoleh pendidikan setinggi-tingginya itu memberi pengaruh sangat kuat terhadap kami.
Dulu, ada masa saat ayah saya terkena PHK, ibu langsung mengambil alih peran sebagai tulang punggung keluarga. Dan kami sempat mengalami yang namanya kuliah bergantian.
Iya, saat saya kuliah, adik saya Dewi terpaksa berhenti kuliah, dia langsung kerja, dan adik terkecil saya Puji, dengan berat hati harus menunda kuliahnya setahun. Itu semua demi saya bisa tamat kuliah dulu. makanya ga ada cerita tuh saya pakai lama-lama lulus, 4 tahun apapaun ceritanya lulus, karena nambah satu semester aja berarti nambah 6 bulan biaya hidup plus satu semester uang kuliah.
Gitu saya lulus, baru adik saya Puji kuliah. Sedangkan si tengah, Dewi akhirnya kuliah pakai uang sendiri, karena ia sudah kerja. Berat ya booo hidup kami dulu.
Tapi bagi kami,hal itu bukan rintangan, biasa saja. Untungnya juga kami bukan anak yang neko-neko. Jadi kuliah tanpa fasilitas apapun, uang kirimin pas-pas-an malah seringan kurang ya enjoy aja.Toh masih bisa hidup juga. .Tidak dibiasakan bermanja ria dari kecil ternyata membuat kami tumbuh jadi anak yang ngga cengeng dan pantang menyerah.
Untuk hal ini saya sangat berterima kasih kepada ibu. Iya, blio itu yang memberi contoh langsung bukan dengan kata-kata, bahwa kondisi sesulit apapun, ngga usah didramatisir, cukup berdamai dengan keadaan, dan cari jalan keluar.
Mungkin karena melihat sepak terjang ibu dan sejarah hidup kami, entah kebetulan entah tidak, 3 anak ibu perempuan semua pada akhirnya jadi ibu pekerja juga, walau akhirnya si bungsu memutuskan resign karena harus pindah ikut suami, dan ngga memungkinkan lagi kerja. Dan kami menganggap biasa saja. Tidak ada keparnoan macem-macem saat meninggalkan anak bersama ART. Toh kami dulu juga pernah mengalaminya, dan everything is oke.
Kekhawatiran-kekhawatiran kebanyakan ibu bekerja, seperti anak bakal lebih dekat dengan pengasuh pun sama sekali tidak pernah menghampiri pikiran saya.
Kenapa?
Ya lagi-lagi karena saya sudah pernah mengalami dan melewatinya.
Ibu, tetap orang yang akan saya cari saat saya pulang ke ruamh. Masakan ibu tetap masakan yang selalu kami rindukan saat kami berkumpul bersama.
Mungkin memang ibu saya adalah perempuan super, karena walau bekerja, kuliah, nyari duit, dan segambreng kegiatan lain. toh di akhir harinya ia selalu menyediakan telinganya untuk mendengarkan cerita-cerita kami di sekolah. Bukan sekedar mendengarkan, ia hapal nama semua teman saya beserta sifat dan tingkat kedekatan saya dan teman tersebut. Maka ngga heran, pernah suatu saat saya ngambek trus kabur dari rumah ( astaga, alaynya dirikuuuu), dengan mudah ibu bisa menemukan dimana saya berada.
Memiliki ibu bekerja, walau saya tidak bisa disuapin saat makan, atau selalu disiapkan pakaian saat mau berangkat sekolah dan harus lebih tahu diri untuk menyelesaikan semua masalah sendiri sebelum minta bantuan ortu, sama sekali tidak mengurangi rasa cinta dan hormat kami,anak-anaknya. bahkan respek kami berlebih untuknya. Karena kami tahu, semua yang dilakukannya bukan sekedar eksistensi diri atau mencari kesibukan untuk mengisi waktu luang.
Dari ibu saya belajar untuk bertanggung jawab terhadap apapun yang menjadi pilihan kita.
Dari ibu saya belajar bahwa yang namanya perempuan bagaimanapun tetap merupakan guru pertama di kehidupan anak-anaknya, tidak ada yang bisa menggantikan.
Dari ibu saya juga belajar, bahwa setinggi apapun karir kita, pada akhirnya yang dirindukan anak-anak saat pulang adalah bau masakan rumah, makanya walau masih cemen, saya tetap berusaha memasak minimal seminggu sekali, semoga aja makin lama makin gape sama bumbu-bumbu dapur.
Dan dari ibu juga saya tahu, bahwa tidak perlu merasa bersalah saat meninggalkan rumah , meninggalkan anak di tangan pengasuh. Karena pada dasarnya bukan di tangan mereka kita titipkan buah hati kita, tapi di tangan penjagaan yang maha Kuasa. Serahkan kepadaNya, ikhtiar, berdoa, dan lakukan pekerjaanmu dengan sebaik mungkin. Karena sangat rugi, sudah meninggalkan anak di tangan orang, tapi di kantor kita kerja seadanya, tidak all out.
Dan jika ditanya, bagaimana rasanya dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja?
Sangat luar biasa. Ibu tetaplah ibu, apapun profesi yang dipilihnya.
Karena seperti kata blogger favorit saya, bahwa surga itu ada di telapak kaki ibu
Bukan ibu bekerja, atau ibu di rumah
Bukan ibu yang pakai blazer atau ibu yang pakai daster
Bukan ibu yang punya isi dompet sendiri ataupun diberi suami
Happy Mother's Day mamakku tersayang dan semua ibu-ibu di belahan dunia manapun.
Dulu kami tinggal di sebuah komplek perkebunan. Ayah saya mah pekerja biasa yah, jadi ibu saya kerja niatnya ya memang untuk bantu ekonomi keluarga, bukan gaya-gayaan kayak saya #ups. Karena ibu saya punya cita-cita tinggi, pengen anak-anaknya minumal lulus sarjana, terus saat itu kondisi keluarga ibu saya memang lagi prihatin, jadi ibu turut menanggung sekolah dan biaya hidup beberapa adiknya. Jadi wajarlah ya ibu saya mutusin buat kerja. lagian jaman dulu kayaknya perempuan bekerja biasa aja, ga seheboh sekarang.
Kami empat bersaudara. Tiap pagi rumah heboh, semua mempersiapkan diri masing-masing untuk memulai harinya. biasanya kami dibangunkan ayah jam 5 subuh buat sholat. Setelah sholat baru deh rumah rame, Ibu sibuk di dapur masak, saya nyapu halaman, ayah saya ngisi bak mandi ( iya dulu di komplek itu air harus nimba sendiri dari sebuah bak besar jatah perusahaan). Adik saya masih kecil-kecil, jadi biasanya mereka tidur lagi, kan belum sekolah.
Jangan bayangin kami disuapin ibu makan deh, atau dipakein baju, no no no, samsek ga ada tuh adegan kayak gitu. Ya makan-makan aja sendiri, pakai baju sendiri, nyiapin roster untuk pelajaran hari itu juga sendiri. Oleh ayah saya kami cuma dibuatin jadwal sehari-hari, ditempel di masing-masing meja belajar, sok atuh ikutin kalau mau hidupnya teratur, kalo ngga mau ya rasain sendiri ntar keteteran.
Iyaaa, karena tahu ibu ngga mungkin melakukan hal-hal semacam itu, kami dari kecil sudah yang tahu diri aja buat ga sok-sok manja sama ibu. Pokoknya yang bisa dikerjain sendiri ya kerjain sendiri. Bahkan untuk urusan ngerjain PR, seingat saya kami juga ngerjain sendiri, palingan kalau ada yang sulit baru nanya ke ibu, soale ibu saya kan guru yah. Makanya kadang saya heran lihat status ibu-ibu sekarang yang kalau malam itu nemenin anaknya ngerjain peer, xixixi saya dulu ga pernah sih ya pakai ditemenin segala. Apalagi menjelang ujian, ibu-ibu rame pasang status stress mendampingi anaknya belajar. Lhaa saya dulu belajar aja sendiri.
Tapi mungkin karena jaman berubah , tingkat kesulitan pelajaran sekolah juga berubah.
Trus buat nambah-nambah penghasilan, sore sampai malam itu ibu ngasih les privat lagi ke anak-anak bos di komplek kami. Hwaaa, parah banget yah nyari duitnya, hahaha.
Tapi..... itulah yang mungkin membuat kami berbeda dari anak kebanyakan di komplek itu. Pun hingga akhirnya ayah saya pindah kerja, dan kami ngga tinggal di komplek masa kecil lagi, tinggal di perkampungan biasa, tapi gaya hidup kami ngga berubah. Tetap yang teratur dan disiplin tanpa harus diawasi ortu. Jadi sebodo teing anak-anak sekitar abis maghrib main , kami ya ngerjain peer dulu baru main. Bukan karena dilarang, tapi ya sadar diri aja.
Main kok malam-malam?
Yah namanya di kampung nek, Main mah sesuka hati, mau siang, sore, malam, asal ngga hujan hayuk ajah.
Dulu sempat ayah saya kerjanya jauh, di Pekanbaru sedangkan kami di sebuah desa sekitar satu jam-an lah dari Medan, jadi kami di rumah cuma sama ibu. Ibu sibuk kerja, kami diasuh tante yang ikut sekolah di rumah, ada sih ART yang pulang pergi, tapi cuma nyuci nyetrika doang. Urusan beres-beres rumah, nyapu halaman, nyuci piring, dan hal-hal remeh temeh lain kami kerjain bareng-bareng.
Trus apa kami kurang kasih sayang?
Nah itulah anehnya, kok saya malah merasa kami malah berlebihan kasih sayang. Saya, abang dan dua adik saya deket banget dengan ibu kami. Ibu itu tempat curhat pertama saya. Pokoknya apapun yang terjadi pada saya , ibu adalah orang yang pertama tahu.
Saat saya kenal cinta monyet, saat saya patah hati, sampai saat saya galau menentukan langkah menuju pelaminan. Ibu adalah pendamping setia saya.
Bahkan waktu saya pertama kali patah hati saat SMA (saya SMA di Sibolga, sekitar 8-10 jam dari Medan), malamnya saya nelfon ibu, bilang saya sedih banget bla.... bla..bla. EH besok siangnya ibu sudah ada di depan saya. Bukan buat ngapa-ngapain cuma buat nemenin saya makan martabak mesir kesukaan saya dan dengerin saya cerita. Udah gitu aja, malamnya ibu balik lagi ke Medan. Jadi ibu bolak-balik Medan-Sibolga dalam satu hari. Coba, itu bukan masalah punya waktu atau ngga, saya pikir.
Kalau kebanyakan anak usia remaja sukanya hangout bareng teman sepermainan, saya malah sama sekali ngga. Kemana-mana sama ibu. mau ke mall ya sama ibu, ke toko buku ya sama ibu, saya dari dulu ngga pernah nge-gang atau sejenisnya. Iya saya bukan type remaja yang suka nongkrong-nongkrong dimana gitu. Lebih suka di rumah, kalau pun keluar ya sama ibu.
Tuh aneh kan. padahal kan ibu saya kerja.
Adik-adik saya juga demikian.
Makanya sampai saat ini, kalau ditanya siapa sahabat terbaik, terdekat, sahabat sejati saya. gampang banget jawabnya, ya dua adik saya dan ibu , ditambah kakak ipar, adalah sahabat terdekat saya.
Peran ibu sama sekali tidak tergantikan oleh para pengasuh kami. Seingat saya kami punya pengasuh lusinan dari kecil sampai remaja, dan ngga satupun yang bisa menggantikan ibu.
Banyak hal positif yang mepengaruhi kepribadian kami sebagai anak dari ibu bekerja.
Apalagi ibu saya orang yang sangat getol dengan pendidikan.Di masa tuanya sekarang aja sempet-sempetnya blio ngambil kuliah pasca sarjana. Semangat ibu buat memperoleh pendidikan setinggi-tingginya itu memberi pengaruh sangat kuat terhadap kami.
Dulu, ada masa saat ayah saya terkena PHK, ibu langsung mengambil alih peran sebagai tulang punggung keluarga. Dan kami sempat mengalami yang namanya kuliah bergantian.
Iya, saat saya kuliah, adik saya Dewi terpaksa berhenti kuliah, dia langsung kerja, dan adik terkecil saya Puji, dengan berat hati harus menunda kuliahnya setahun. Itu semua demi saya bisa tamat kuliah dulu. makanya ga ada cerita tuh saya pakai lama-lama lulus, 4 tahun apapaun ceritanya lulus, karena nambah satu semester aja berarti nambah 6 bulan biaya hidup plus satu semester uang kuliah.
Gitu saya lulus, baru adik saya Puji kuliah. Sedangkan si tengah, Dewi akhirnya kuliah pakai uang sendiri, karena ia sudah kerja. Berat ya booo hidup kami dulu.
Tapi bagi kami,hal itu bukan rintangan, biasa saja. Untungnya juga kami bukan anak yang neko-neko. Jadi kuliah tanpa fasilitas apapun, uang kirimin pas-pas-an malah seringan kurang ya enjoy aja.Toh masih bisa hidup juga. .Tidak dibiasakan bermanja ria dari kecil ternyata membuat kami tumbuh jadi anak yang ngga cengeng dan pantang menyerah.
Untuk hal ini saya sangat berterima kasih kepada ibu. Iya, blio itu yang memberi contoh langsung bukan dengan kata-kata, bahwa kondisi sesulit apapun, ngga usah didramatisir, cukup berdamai dengan keadaan, dan cari jalan keluar.
Sekali kali Lah Pajang Foto Keluarga ^-^ |
Mungkin karena melihat sepak terjang ibu dan sejarah hidup kami, entah kebetulan entah tidak, 3 anak ibu perempuan semua pada akhirnya jadi ibu pekerja juga, walau akhirnya si bungsu memutuskan resign karena harus pindah ikut suami, dan ngga memungkinkan lagi kerja. Dan kami menganggap biasa saja. Tidak ada keparnoan macem-macem saat meninggalkan anak bersama ART. Toh kami dulu juga pernah mengalaminya, dan everything is oke.
Kekhawatiran-kekhawatiran kebanyakan ibu bekerja, seperti anak bakal lebih dekat dengan pengasuh pun sama sekali tidak pernah menghampiri pikiran saya.
Kenapa?
Ya lagi-lagi karena saya sudah pernah mengalami dan melewatinya.
Ibu, tetap orang yang akan saya cari saat saya pulang ke ruamh. Masakan ibu tetap masakan yang selalu kami rindukan saat kami berkumpul bersama.
Mungkin memang ibu saya adalah perempuan super, karena walau bekerja, kuliah, nyari duit, dan segambreng kegiatan lain. toh di akhir harinya ia selalu menyediakan telinganya untuk mendengarkan cerita-cerita kami di sekolah. Bukan sekedar mendengarkan, ia hapal nama semua teman saya beserta sifat dan tingkat kedekatan saya dan teman tersebut. Maka ngga heran, pernah suatu saat saya ngambek trus kabur dari rumah ( astaga, alaynya dirikuuuu), dengan mudah ibu bisa menemukan dimana saya berada.
Memiliki ibu bekerja, walau saya tidak bisa disuapin saat makan, atau selalu disiapkan pakaian saat mau berangkat sekolah dan harus lebih tahu diri untuk menyelesaikan semua masalah sendiri sebelum minta bantuan ortu, sama sekali tidak mengurangi rasa cinta dan hormat kami,anak-anaknya. bahkan respek kami berlebih untuknya. Karena kami tahu, semua yang dilakukannya bukan sekedar eksistensi diri atau mencari kesibukan untuk mengisi waktu luang.
Dari ibu saya belajar untuk bertanggung jawab terhadap apapun yang menjadi pilihan kita.
Dari ibu saya belajar bahwa yang namanya perempuan bagaimanapun tetap merupakan guru pertama di kehidupan anak-anaknya, tidak ada yang bisa menggantikan.
Dari ibu saya juga belajar, bahwa setinggi apapun karir kita, pada akhirnya yang dirindukan anak-anak saat pulang adalah bau masakan rumah, makanya walau masih cemen, saya tetap berusaha memasak minimal seminggu sekali, semoga aja makin lama makin gape sama bumbu-bumbu dapur.
Dan dari ibu juga saya tahu, bahwa tidak perlu merasa bersalah saat meninggalkan rumah , meninggalkan anak di tangan pengasuh. Karena pada dasarnya bukan di tangan mereka kita titipkan buah hati kita, tapi di tangan penjagaan yang maha Kuasa. Serahkan kepadaNya, ikhtiar, berdoa, dan lakukan pekerjaanmu dengan sebaik mungkin. Karena sangat rugi, sudah meninggalkan anak di tangan orang, tapi di kantor kita kerja seadanya, tidak all out.
Dan jika ditanya, bagaimana rasanya dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja?
Sangat luar biasa. Ibu tetaplah ibu, apapun profesi yang dipilihnya.
Numpang Narsis ^_^ |
Bukan ibu bekerja, atau ibu di rumah
Bukan ibu yang pakai blazer atau ibu yang pakai daster
Bukan ibu yang punya isi dompet sendiri ataupun diberi suami
Happy Mother's Day mamakku tersayang dan semua ibu-ibu di belahan dunia manapun.
Tosss ... sesama ibu bekerja. Bagi anak-anak tentu tetap Ibu yang istimewa. Tergantung si ibunya juga ya. Mau bekerja atau di rumah kalau emang dasarnya cuek sama anak, ya anaknya gak bakal keurus. Sebaliknya biar sesibuk apapun tapi bisa meletakkan anak sebagai prioritas, rasanya gak ada masalah. Malah banyak anak yang ikut bangga atas prestasi ibunya di ranah karir lo.
ReplyDeleteToss dulu. #benerin blazer
DeleteHihihi aku jg anak ibu bekerja, tp bedanya mamaku kecolongan, aq dpt pelecehan seksual sama om yg memang dipersilahkan ke rumah buat maksi pdhal jam segitu ga ad ortu drumah. Ealah bgitu saya jd irt kok kayanya nanti anak saya bharap ibunya kerja ya? Galak bgt siy ^^'
ReplyDeleteYa ampuuun :((
DeleteKalo ibuku kebetulan bukan ibu bekerja alias ibu RT biasa.. jadi daku ga punya pengalaman apa rasanya diasuh oleh ibu yang bekerja :D. Tapi menurutku sih bukan profesi sang ibu yang penting, tapi lebih ke quality time-nya bersama sang anak. Jadi mau bekerja atau ngga ya pilihan masing-masing ibu... yang penting anaknya tetep terperhatikan dengan baik.
ReplyDelete"Miss u mom..." *Al Fatihah untuk almh mama.
Alfatihah. Semoga mamanya tejang disana ya jak moly
DeleteKalo ibuku kebetulan bukan ibu bekerja alias ibu RT biasa.. jadi daku ga punya pengalaman apa rasanya diasuh oleh ibu yang bekerja :D. Tapi menurutku sih bukan profesi sang ibu yang penting, tapi lebih ke quality time-nya bersama sang anak. Jadi mau bekerja atau ngga ya pilihan masing-masing ibu... yang penting anaknya tetep terperhatikan dengan baik.
ReplyDelete"Miss u mom..." *Al Fatihah untuk almh mama.
Ngga punya pengalaman, tapi mayoritas ibu bekerja angkatan tua yg saya kenal anak2nya tdk memiliki ending seberuntung mak...dari sana sy belajar bhw selain masalah2 teknis keberuntungan itu juga masuk faktor menentukan dlm pengasuhan...dan jaman sekarang masalah2 jauh lebih keras daripada jaman dulu spt serangan2 manusia dg otak2 yg rusak krn pornografi, narkoba, dsb.... jd sebetulnya bukan masalah ibu bekerja itu beneran ibu atau enggak, sdh jauh lebih kompleks....mau jd tipe pencegah bisa....tp kalau org lain memilih jalan lain ya jg enggak apa2....semua pasti sdh paham resiko yg dikerjakan...yg penting kl anaknya bermasalah di sekolah harus responsif...
ReplyDeleteIya mak kalo skrg tantangannya emang lebih maknyuss dr jaman ibu2 kita dulu. Dan sy beruntung punya ibu kayak ibu saya
DeleteEntah kenapa kok aku jadi terharu gini bacanya. Terharu karena iri pengen punya ibu seperti itu. Aku nggak peduli mau jadi ibu bekerja atau nggak, yang penting anak-anak tahu bahwa ibunya ini sayang ke mereka dan mereka selalu jadi nomor satu. Aku boleh peluk ibunya mbak ngggaaak?
ReplyDeleteBoleh mbaaaaa. Jadi terharu juga saya
DeleteBetul mak. bekerja atau tidak, yang penting bisa bagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Meski mama bekerja, saya juga tetep deket sama beliau. Bahkan, saya merasa jadi lebih mandiri
ReplyDeleteIya mak. Itu yg terpenting
Deletesaya memilih jd IRT krn sebagai anak dari ibu tdk bekerja, rasanya enak. ada mama kapanpun saya butuh, ada yang ngajarin bikin PR.. *iyaaa saya manjaaa :p
ReplyDeletedan saya ingin memberikan 'kemewahan' yang sama pada anakku.
Aamiin..
Alhamdulillah ya mba.anak2nya pasti s3neng bgt. Ga ini tylisan ga bandingin ibu kerja atau ga kok :)
DeleteYaampun terharu banget deh, Medan - Sibolga cuma buat nemenin anaknya yang lagi sedih, touchy bangeeettt. Dan aku ngeliat suamiku juga gitu, walau ibunya bekerja dia gk kekurangan kasih sayang. Itulah ya makanya aku mah gk masalah mau dia memutuskan jadi ibu bekerja atau di rumah, tergantung apa yang bisa digantung lagi, hihihi
ReplyDeleteIya mba. Sampe slrg kslo inget itu daku terharu bgt. Soalnya kan itu masalah sepele ya dan medan sibolga jalannya parah mba bikin mabok deh :)
DeleteWidiiiihhh, embel-embel endingnya memaksa buat komentar nih hahahahahaha *oportunis* :p. Toss juga ah. Saya juga produk ibu bekerja nih ;). Sekarang memilih sebaliknya ya karena kondisi yang memungkinkan saja dan bawaan sifat dan karakter pribadi, gak ada hubungannya dengan merasa lebih baik daripada yang lain sih ya ^_^.
ReplyDeleteDi sekitar saya mah banyaaaaaaakkkk ibu bekerja yang anak-anaknya sukses banget-banget-banget. Tante suami saya, Tante Nellia Rosa, anaknya ada 3. Tiga-tiganya gila-gila euy ... prestasinya ya bukan orangnya hahahaha. Tidak hanya di bidang akademis tapi juga gaul di kehidupan sosial masing-masing. Cek deh akunnya di FB hihihi :p.
Malah promoin org hahshaha. Mana2 akun fb nya :)
Deletesaya juga ikutan komen panjang lebar soal artikel yang sama, tapi di fb ajah hi3, karena lebih kaitan GDP dan pilihan pribadi. Kayaknya emang gak ngaruh deh ibu RT or ibu bekerja ke anak-anak, yang ngaruh itu pilihan parenting-nya. Anak-anak yang gagal secara psikologis karena less parenting atau kurang pengasuhan itu mereka hanya bertambah umur tapi tidak dewasa, disebut adult children, dan ada penyembuhan khusus yang namanya reparenting. So semangat ibu ibu!
ReplyDeleteIya mba kembali ke kalimat klise yak tergantung orangnya :)
DeleteMenurut saya, semua tergantung Ibunya entah irt ato bekerja, karena pengalaman saya agak berlawanan, ibu saya seorang irt dgn 8 anak, tapi anak2nya gak deket sama ibunya, mungkin saking banyaknya anak. Dan ketika saya dan kakak masuk SMP, ibu saya memutuskan bekerja setelah melahirkan anak ke 6, dan pada akhirnya kakak2nya yang bergantian mengasuh (ujung2nya saya trauma, jgn sampe punya anak banyak karena udah tau gimana beratnya membesarkan seorang anak):D
ReplyDeleteTulisan ini ga menggeneralisasi kok mba. Semua punya pengalsman beda2. Turut sedih mba sm kisahnya :(
Deletebetul ya mak, aku bekerja tapi anak-anak tak kehilangan kasih sayang, Kita juag berbagi tugas pagi hari shg pagi hari bisa selesai tepat kita mau berangkat beraktivitas. Makah membuat anak-anak mandiri apalagi aku mah gak punya pembantu
ReplyDeleteAku kurang lebih sebaik ibumu Wind...hihihi..ngaku2.
ReplyDeleteYa beliau teladan yg baik.
Btw. Ibuku di rumah. 5 anak perempuannya dimotivasi kerja. Dan kebetulan PNS semua.
sosok ibu yang harus diteladai nih :)
ReplyDeleteSalut sama ibunya mba Windi... inspired banget.. semoga sehat selalu yaaaa aminnnn
ReplyDeleteAwalnya ada dilema jg. Saya suka dgn sosok irt yg bikin rmh cling dan kreatif didik anak, berkebun, memasak, dekor rmh, crafting. Smcm begitu. Ttp ternyata saya nggka produktif, terlalu byk main hp berasa sepi drmh. Jd yaa balik kerja lg dan lbh punya quality time malah. Krn cm bbrp jam py wkt sama anak.
ReplyDeleteaku masih seorang anak, yang kebetulan ibuku bukan pekerja. nanti mungkin aku akan jadi ibu bekerja. nice share mba..
ReplyDeleteIbu saya juga guru. Tapi guru zaman dulu ga seribet sekarang. Plus bapal kerja. Jadilah ibu saya ibu bekerja yang tenang.
ReplyDeleteasik betuk deeh, ibunua bisa berperah sebagai sahabat yang paling setiaa. aku jg dekat sm ibuku, kami jg sahabatan, pdhl dr bayi aku diasuh kakek nenek. jd kedekatan sm ortu terutama ibu kadang ngga bisa dipatahkan dengan status bekerja atau dg siapa kita biasa hidup ya. aku suka tulisan ini :)
ReplyDeleteSalut buat ibunda :). Mamaku juga bekerja. Dan saya juga bekerja. apapun asyik-asyiknya saja :)
ReplyDeleteLike that quotes :
ReplyDeleteIbu tetaplah ibu, apapun profesi yang dipilihnya :)
Semuanya kembali lagi pada kesepakatan bersama antara istri dan juga suami, apakah suami setuju jika istri bekerja, atau hanya diam di rumah menjaga anak dan juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga..
ReplyDeleteDi zaman sekarang seorang ibu dituntut untuk menjadi ibu yang baik pada anaknya dan juga pejuang mencari rezeki dan membantu suami bekerja di luar rumah
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBeruntung bgt mbak punya ibu yg seorang pekerja, tp tetep perhatian ke anak2nya. Ibu saya ibu yg bekerja sbg pengajar, tak sedekat itu hubungannya dengan saya. Sibuk dengan urusan beliau sendiri. Oleh sebab itu saya memilih jadi ibu rumah tangga saja, supaya anak saya tidak kurang kasih sayang dan perkembangan psikologisnya bagus. Tapi salut jg buat para working mom.
ReplyDeleteSubhanallah Alhamdulillah Allahu Akbar. Ibu seperti inilah yang memprioritaskan anak2nya lebih dari ambisinya utk eksistensi dirinya dengan memilih sebagai ibu rumah tangga yang insya Allah merupakan ibu yang mulia yang telapak kakinya benar2 merupakan surga bagi anak2nya, aamiin yaa rabbal 'alamin....
DeleteMas, berdasarkan cerita mbak Windi di atas, ibunya bekerja utk membantu perekonomian keluarganya. kita tdk bisa pukul rata. Lagian saya jg pernah baca, ada seirang janda yg mendidik anaknya seorang diri dan berhasil menjadikn anaknya hafidz Al Qur'an. Kebutuhan hidup jaman skrg itu kompleks, ada seorang wanita yg bkn hanya jd tulang punggung utk bntu suaminya tp jg utk bntu adik2 dan ortunya yg sdh tua yg sdh tdk bs lg bekerja. Dialah yg mmbantu mmbayarkn bisya sekolah adik2nya, uang kontrkn dan listrik serta biaya mkn mereka. Jd, mohon berkomentar yg bijak, ambil dr 2 sisi, jangan hanya berat sebelah.
DeleteAda 2 ibu, yg sama2 berpendidikan tinggi & sangat peduli dg pendidikan anak.
ReplyDeleteBahkan bisa jadi mereka adalah orang yg sama.
Tapi yg 1 selama 8 jam meninggalkan anak, yg 1 full time siap sedia memberi perhatian dalam mendidik anak.
Kira2 anak yg mana yg sangat mungkin akan lebih berkualitas?