Iya, dalam hidup ini kita pasti dihadapkan pada pilihan-pilihan. Dari mulai membuka mata di pagi hari, kita dihadapakna pada pilihan mau bangun atau meneruskan mimpi, mau sarapan dulu atau langsung capcus ke kantor. Di perjalanan ke kantor pun kita lagi-lagi harus memilih, mau masuk tol atau lewat jalan biasa. Naik taksi atau naik angkot. Dan pada akhirnya keputusan yang kita ambil akan berdampak pada langkah kita selanjutnya.
Tiga tahun lalu, saya pernah dihadapkan pada pilihan yang menurut saya saat itu adalah pilihan yang sangat sulit bagi saya, karir dan keluarga. Saya diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri menjadi apa yang saya impikan, namun dengan konsekuensi pisah dari keluarga. Saat itu, berliter-liter airmata mengikuti keputusan yang saya buat. Ya, saya memilih karir dengan berbagai pertimbangan yang sudah saya pikirkan masak-masak dan tentu saja dengan persetujuan suami.
Hasilnya?
Awalnya saya sempat menyesali keputusan saya. Berpisah dan meninggalkan suami sendirian di belantara kebun sawit, membuat saya merasa menjadi istri yang sangat egois. Namun, seiring berjalannya waktu, dengan positive thinking terhadap rencana Allah, ternyata semua bisa berjalan tanpa hambatan. Hambatannya ya hanya biaya yang sangat mahal hanya untuk bertemu suami.
Saya percaya dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan, dan dalam setiap jalan hidup kita, pasti ada misteri yang hanya Allah yang tahu yang kesemuanya itu kalau kita ikhlas menjalaninya maka akan berbuah manis bagi kita. Demikian pula yang terjadi pada saya, dengan bekerja di Jakarta, saya jadi berkesempatan bertemu dengan seorang dokter yang kemudian setelah berobat dari dia dan atas kehendak Allah, tidak lama kemudian kami memiliki anak. Dengan bekerja di kantor pusat pula, saya berkesempatan kenal dan bertemu dengan orang-orang yang mungkin di kemudian hari memberi saya kemudahan sehingga saya bisa kembali berkumpul bersama suami.
Pokoknya, semua yang saya jalani, yang awalnya terasa begitu berat ternyata baru sekarang saya tahu rahasia-rahasia di balik nya. Untuk itu saya tak menyesali lagi sedikitpun keputusan saya memilih karir dibanding keluarga tiga tahun silam.
Dan hal tersebut terulang kembali saat ini. Tiga minggu yang lalu, bertepatan saat saya sedang terbaring di RS menunggu pembukaan demi pembukaan kelahiran anak pertama saya, sebuah SMS masuk ke hape saya. Isinya memberitahukan bahwa tanggal 12 Juni 2013 saya diminta ke Kanwil untuk mengikuti wawancara lanjutan dalam rangka assesment untuk Job Opening Manajer. Beberapa bulan sebelumnya saya memang sudah mengikuti test hard competency tahap awal dan dinyatakan lulus.
Haduh dilema melanda saya. Satu sisi saya memang menginginkan jabatan itu, tergiur dengan fasilitas yang akan saya dapat dan tentu saja peningkatan income dan peningkatan karir ke depan. Namun di sisi lain, saya baru saja beberapa saat berkumpul dengan suami, ditambah dengan kehadiran putri pertama saya yang begitu menambat hati Lalitavistara, rasanya saya tidak akan sanggup kalau harus merubah kondisi yang lagi saya nikmati saat ini.
Perusahaan tempat saya bekerja memang tersebar dari Sabang sampai Merauke, jadi tidak ada satu orang pun yang bisa menjamin akan dimana kita ditempatkan. Dan sudah menjadi kebiasaan, kalau naik jabatan akan diikuti dengan mutasi. Masalahnya, kemana mutasi tersebut yang hanya SDM dan Tuhan saja yang tahu. Tidak ada rumus pasti bagaimana SDM menempatkan pekerja, semua serba sim salablim abrakadabra.
Maka dengan berat hati, saya pun melewatkan kesempatan itu. Padahal baru kali ini tes untuk job opening manajer diadakan di wilayah, biasanya pasti di kantor pusat. Sempat juga terbersit di hati saya, " Apa ini pertanda dari Allah, dengan memberi saya kesempatan bisa mengikuti tes walau sedang cuti melahirkan?" yang kemudian dijawab suami saya " Ini bukan pertanda kesempatan dek, tapi ini merupakan ujian bagi ade, seberapa serakah ade terhadap kemudahan yang diberi Allah". Hiaat deziing, menohok. Tapi benar juga sih, kayaknya kok ya saya ngoyo banget kalau baru brojol si Tara udah mau ngejar karir lagi, padahal baru dua bulanan ini saya dan suami benar-benar full bersama dalam satu rumah. Ntar kalo harus dipindah lagi, gimana?
Ketakutan-ketakutan yang belum terjadi tapi bisa jadi terjadi, akhirnya membawa saya pada keputusan bulat. Bismillah, saya pun mengirimkan surat pernyataan untuk tidak mengikuti tes. Saya percaya rezeki orang tidak akan pernah tertukar. Dan berbeda dengan tiga tahun silam, saat ini keluarga adalah hal yang terpenting untuk saya. Apalagi dengan kehadiran si kecil, rasanya TERLALU kalau saya membandingkannya dan mengkonversinya dengan keuntungan-keuntungan yang akan saya peroleh jika menduduki jabatan baru.
Ah, bagaimanapun, seorang anak , sebuah keluarga pada akhirnya akan menjadi tempat kita kembali. Dan itu akan selalu menjadi prioritas utama. Bukankah harta yang paling berharga itu adalah keluarga?. Ngga juga, harta yang paling berharga itu Iman.
Dan finally, kalau harus memilih karir atau keluarga, jelas saya akan pilih keluarga. Kalau kamu?
masya Allah, betapa keputusan yang dibuat sangat luar biasa. salam kenal ya mak. :)
ReplyDeletesaya mengalaminya sebelum kerja sama sekali. karena baru lulus saat hamil. jadi setelah lahiran baru menghadapi dilema mau melamar kerja atau tidak. Nabil yang mungil menjadi peneguh keputusan untuk tidak bekerja (bekerja dirumah) karena tidak kuat berpisah dari nabil. :)
memang anak itu begitu mempengaruhi keputusan ya maaak. Melihat wajah mungilnya, rasanya apapun bakal dikorbankan ya mak
DeleteSelama 2 tahun hidup terpisah karena masing2 punya komitmen kerja yg gak bisa ditinggalkan akhirnya begitu suami dpt kerja di luar negeri i have no doubt utk berhenti kerja dan ikut. Of course semuanya direncanakan dan dipikirkan dengan matang ditimbang segala resikonya. Kalau memang bisa memilih berkumpul kenapa harus pisah. Kecuali kalo memang keadaan yg gak memungkinkan misalnya dari segi ekonomi. Kalo buat aku sebenernya yg berat ya ngadepin keluarga terutama nyokap yg sampe sekarang seperti gak ikhlas kalo aku gak kerja kantoran lg. walaupun aku usaha sendiri dari rumah lewat online tapi gak masuk lah di pikiran generasi di atas kita ya kerjaan online kayak apa apalagi duitnya kan gak stabil kadang ada kadang gak ada haha... But anyway, aku cuma mau bilang yg tau apa yg terbaik cuma kita sendiri. We decide our own happiness and our own destiny. So yes, kalo rejeki gak akan kemana. You'll get much more better than that i am sure :D
ReplyDeleteiya maaak, terkadang bkn tanggapan suami yg bikin berat ya mak, tapi keluarga besar terutama ibu. Bener bgt mak, yg tau yg terbaik cuma diri kita sendiri, setujuuu banget
DeleteKudukung, Mak! Salut atas kebulatan tekadmu. Bener, rezeki ga akan ketuker. Kalau sudah milik kita, walaupun kayaknya saat ini kita nutup pintu entar juga ada yang ngebukain pintu supaya si rezeki masuk nemuin kita.
ReplyDeletemakasi maak. iya ya mak masih byk pintu rezeki yg lain
Deletenice choice mba:) aku juga pasti bakal milih keluarga.
ReplyDeleterizki itu gak akan kemana, dan kebersamaan dengan keluarga itu justru merupakan rizki yang ternilai
typo *rizki yang tak ternilai hehehe
Deletesuka deh kalimat terakhir.seperti mengingatkan aku.harta paling berhargaadalah iman.syukkkaaaa
ReplyDeleteInsya Allah ada peluang lain mak :*
ReplyDeleteinsyaallah mak semua ada hikmahnya. dan keluarga lebih utama wlaupun aku masih single :)
ReplyDeleteAlhamdulillah ... insya Allah ini pilihan yg terbaik windy.. suka deh dengan teguran suamimu itu yg bilang ini bukan pertanda kemudahan tapi ujian bagi keserakahan. Seperti yang pernah aku katakan win, hati2 jika terus menerus dimudahkan dan disenangkan... karena bisa jadi itu bukan rezeki tapi bagian dari cobaan itu sendiri.
ReplyDeleteSalam buat dedeknya ya win...
betul banget, Mak.
ReplyDeletePromosi bisa kapan-kapan. ^^
Kudukung, mbak....hehe...
ReplyDeleteBukannya menyesal (namanya udah terjadi ya gak boleh menyesal), aku aja pengen balik KP lagi kalo bisa. Urusan fasilitas dan tunjangan M* itu gak seindah iming2 atau bayangan kita mba. Peace ahhh....
Memang tawaran yang menggiurkan ya mak, tapi InsyaAlloh apa yang sudah mak Windi pilih itulah yang terbaik :)
ReplyDeletesy bisa merasakan, karena ada kakk juga mengalami hal serupa. kalo istri sy pasti memilih dua-duanya. karna istri sy yakin bisa. dan hampir enam tahun menikah ini, semangat2nya terbukti. bulan lalu kalo dapet ijin dari BKD kabupaten dg alasan melanggar aturan, pasti dia ngelanjutin kuliah S2. karena sudah dapat penggilan lulus ujian dan sudah ada SK kelulusan dari kemendikbud. tahun depan mesti nyoba beasiswa lagi katanya
ReplyDeletembak windi ceritanya inspiratif dan mengharukan boleh saya amsukkan ke dalam buku saya:) Insya Allah kalo bukunya terbit akan saya kirimkan:)
ReplyDeleteBoleh mas, silahkan saja kalo bisa memberi manfaat :D
Deletekeluarga mak :")
ReplyDeletesaya juga seperti itu :)
Pastinya keluarga titik, aku punya pengalaman melepaskan karir yang cukup bagus dan menjadi IRT mengikuti suami yang bekerja di luar kota.
ReplyDeleteSalam
Astin
begitulah seorang ibu, dilema ibu karir, anak dan keluar tetap (harus) nomer satu
ReplyDeleteKarena dalam hidup, kita memang akan selalu dihadapkan pada sebuah pilihan bukan.
ReplyDelete:)
Catatan:
Mba, banner Be A Writer yang diatas menurutku perlu diperbaiki mba. Jadi panjang gitu dan bikin ga rapi.IMHO ya..
apalagi baru melahirkan ya, mba win.aku aja ngebayanginnya klo LDR kayak gimana kalo udah nikah, ga kebayang aja. semoga ada rejeki lain ya, mba. semangat
ReplyDeletepada intinya tetep milih keluarga :)
ReplyDelete#eh saya lom berkeluarga
hehe
selamat ya mbak atas kelahiran dedek bayinya ^^
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMba windi..Kata" masteg itu beneran jadi reminder buatku..
ReplyDelete