"Maaf bapak,
saya sedang melayani nasabah lain, bapak silahkan ke counter di
sebelah yang kosong....."
Pria itu
tidak menjawab perkataanku. Tanpa mengucapkan sepatah katapun,
kulihat ia kembali ke kursi antrian
“ Nomor
antrian 567, silahkan ke counter nomor 3”
Terdengar
suara lembut nan merdu dari speaker yang mengumumkan nomor antrian.
Tidak ada satupun nasabah yang maju. Counter nomor tiga saat ini
digawangi oleh Rinda temanku.
Tiba-tiba
kulihat pria tersebut maju dan langsung mendatangi counter no 2,
tempatku berdiri sekarang. Seorang ibu sedang menunggu lembaran uang
yang sedang kuhitung di mesin uang.
“ Ibu, ini
uangnya sebanyak lima juta rupiah, silahkan dihitung ulang”, kataku
sambil tersenyum ramah mengikuti aturan standar layanan yang telah
ditetapkan perusahaan
“ Saya
mau menabung” pria itu memotong pelayanan yang sedang kulakukan.
“Maaf
bapak, saya sedang melayani nasabah lain, bapak silahkan ke counter
di sebelah yang kosong.....
“ Aku
maunya dilayani sama kamu saja” katanya keras kepala
“ baik
bapak, silahkan mengantri dahulu, nanti nomor antrian bapak akan
dipanggil “ jawabku sopan sambil tetap tersenyum manis
“ Aku
ga mau dilayani sama yang lain. Aku maunya kamu, titik!! Ia mengotot
“ baik
bapak, mohon menunggu sebentar, saya selesaikan dahulu transaksi ibu
ini ya pak”
Adegan
seperti diatas bukan baru hari ini saja kualami.Sudah beberapa hari
ini ia tak pernah absen mendatangi bank tempatku bekerja. Apa yang
dilakukannya seperti kebanyakan nasabah lain. Mengambil nomor
antrian, mengisi slip pengambilan, mengantri sambil menunggu namanya
dipanggil. Tapi ia tidak pernah mau dilayani oleh teller lain. Harus
aku. Aku tidak tahu apa alasannya. Sebagai pegawai bank, aku tidak
keberatan bahkan merasa senang berarti ada nasabah yang merasa nyaman
dengan pelayananku, namun terkadang agak mengganggu karena pria itu
sering memaksa harus aku yang melayani transaksi yang akan
dilakukannya, padahal aku sedang melayani nasabah lain, dan counter
di sebelahku dalam keadaaan kosong.
Aneh......
****
Rumah
mewah tersebut terlihat kosong dan lengang. Aroma sepi membalut
penghuni di dalamnya.Sudah lima tahun ini ia hanya seorang diri di
tempat ini. Istri terkasih telah lebih dulu menemui penciptanya. Ia
merasa hidupnya sudah tak ada arti lagi, sampai sebuah amplop coklat
diterimanya beberapa hari lalu.
Pria
berumur hampir setengah abad itu termenung sambil memandangi foto
seorang di dalamnya. Sambil menghela nafas, kembali di bacanya surat
yang diterimanya beserta foto tersebut.
“ Mas
Bayu, mungkin umurku tak akan lama
lagi. Kata dokter , Leukimia yang kuderita sudah tidak bisa
disembuhkan. Ini foto anak kita. Maaf aku baru memberitahumu sekarang. Aku
baru mengetahui kehadirannya beberapa hari setelah pernikahanku
dengan Bima. Aku tidak ingin mati dengan membawa rahasia ini.
Temuilah ia mas”
Dilipatnya
kembali surat tersebut . Seperti yang sudah-sudah disimpannya ke
dalam laci meja kerja. Kemudian ia mulai memisah-misah beberapa
lembar uang seratus ribuan ke dalam beberapa amplop. Hanya itu yang
bisa dilakukannya saat ini, menabung beberapa ratus ribu rupiah
setiap hari, dan berbicara sepatah dua kata kepada putra yang baru
diketahuinya. Itu saja cukup, pikirnya sambil tersenyum.
Arya
Bimantara, nama yang tertulis di balik foto tersebut, teller bank Duta Niaga.