Mata saya
mengerjap-ngerjab. Berusaha menahan desakan cairan bening dari Glandula
Lacrimalis-kelenjar air mata- yang mendorong-dorong ingin keluar.
Dari sebuah
kotak 29 inc di tengah ruangan, saya menyaksikan adegan paling romantic dari
dua makhluk lucu berwarna kuning dan pink.
Patrics: “
Hai spongebob, mari kita bermain 'menangkap ubur-ubur
Sponge bob:
“ Maaf Patrics aku harus sekolah mengemudi hari ini"
Patrics : “
Lalu, apa yang harus kulakukan”
SB : “ Lakukan
saja apa yang biasa kau lakukan kalau aku tidak ada,. Apa yang biasa kau lakukan
Patrics?”
Patrics: ”
Yang kulakukan jika kau tak ada adalah “ Aku menunggumu”
Terharu
melihatnya. Sungguh indah nian persahabatan mereka. Walaupun terkesan bodoh.
Tapi semua terlihat tulus, tanpa tendensi apa-apa.
Tiba-tiba
saya rindu dengan sahabat-sahabat saya.
Dalam
setiap fase kehidupan saya, saya selalu memiliki orang-orang yang memiliki
tempat khusus di hati saya. Entah sejak kapan tepatnya, saya tidak ingat lagi.
Yang pasti selalu ada seorang sahabat yang menemani di setiap frame hidup saya.
Waktu SD,
saya mempunyai seorang sahabat bernama Dian. Kemudian Dian pindah sekolah
mengikuti orangtuanya di Aceh. Saya pun memiliki sahabat baru bernama
Rani. Rani pindah, saya bersahabat
dengan Maya.
Dulu, saya
memang tidak pernah lama bercengkerama dengan sahabat-sahabat saya tersebut.
Mereka datang silih berganti.
Sahabat,
bagi saya saat itu adalah seseorang yang padanya saya bercerita tentang PR yang
diberikan guru. Berbagi majalah Bobo setiap kamis, dan orang yang mengingat
hari ulang tahun saya, saling bertukar kado walaupun hanya sebuah buku tulis
plus pensil. Seperti Tgline majalah Bobo, sahabat adalah teman bermain dan
belajar.
Sahabat
masa SMP, bukan lagi teman bermain dan belajar. Lebih dari itu, mereka teman
ngegeng. Bersama-sama mengidolakan seseorang, tempat bercerita musik favorit
kami, dan muara celotehan debaran-debaran hati remaja.
Pada
mereka, tertulis kisah pencarian jati diri yang tak kunjung selesai.
Sahabat Di
SMU adalah merupakan sahabat saya juga di kuliah. Persahabatan yang mulai
mendewasa. Persahabatan yang saling membutuhkan. Bertukar opini dan argumentasi.
Bersama kami merajut impian dan cita-cita. Membagi kegundahan-kegundahan hidup.
Dan
seterusnya, hingga memasuki dunia kerja. Kembali saya bertemu dengan
orang-orang baru yang kemudian menjadi sahabat saya. Dengan cara yang lebih
natural. Kesamaan pandangan hidup, persamaan nasib dan persamaan pola fikir
yang mengeratkan jalinan itu.
Di
lingkungan rumah saya juga memiliki sahabat-sahabat lain. Kedekatan tempat
tinggal, perkumpulan yang diikuti lagi-lagi bermuara kepada rasa saling yang
menjelma menjadi ikatan persahabatan.
Seperti
cermin, persahabatan memantulkan siapa diri saya sebenarnya melalui diri
sahabat-sahabat saya. Mereka adalah refleksi dari jati diri saya.
Kata orang,
sahabat itu seperti bayangan, yang selalu ada dimanapun kamu berada bahkan
ditempat gelap sekalipun.
Bagi saya
sahabat tidak perlu ada dimanapun saya berada. Tak harus ada setiap saya
butuhkan. Tak harus selalu mendukung apa yang saya lakukan. Bukan orang yang
selalu mengerti saya, bukan pula orang yang mau menerima kekurangan dan
kelebihan saya apa adanya. Bukan seperti itu.
Sahabat
saya adalah manusia-manusia biasa yang terkadang tidak ada saat saya butuh
teman. Yah mereka punya kehidupan sendiri, mereka punya kepentingan yang lain.
Mereka juga terkadang menentang keputusan-keputusan saya, tentu saja dengan
pertimbangan demi kebaikan saya. Terkadang diri saya pribadi tidak bisa melihat
apa yang buruk di sekitar saya, bisa jadi malah orang di luar diri saya yang
meilhatnya. Dan saya berterima kasih untuk setiap kata tidak setuju yang keluar
dari bibir sahabat saya.
Sesekali
mereka juga akan kesal dengan kecerobohan saya. Bosan dengan curhatan hati
saya, dan terkadang mungkin kami akan bersaing memperebutkan sesuatu. Menurut saya
itulah persahabatan yang sehat. Karena sahabat bukan tong sampah yang harus
selalu mendengar keluh kesah kita. Dia hanya manusia biasa yang terkadang punya
ego untuk sekedar berkata “Stop !, kali ini giliran saya”.
Dan seorang
sahabat sejati lah yang bisa mengungkapkan kekurangan kita dengan tujuan agar
kita lebih baik. Bukan dengan begitu saja menerima segala kekurangan yang kita
miliki.
Sejalan
dengan tergelincirnya waktu, satu persatu mereka hilang dari keseharian saya.
Jarak, keluarga, pekerjaan, membuat semuanya tak bisa sama lagi seperti dulu.
Jika
ditanya, siapakah sahabat terbaik saya?. Saya tidak pernah bisa mengatakannya.
Karena masing-masing mereka, memiliki tempat khusus di hati saya. Saya selalu menyediakan beranda untuk mereka kunjungi saat kembali nanti