"Para
penumpang yang terhormat, dalam waktu beberapa saat lagi, kita akan segera
mendarat di bandara Soekarno Hatta Jakarta. Waktu menunjukkan pukul enam belas
lewat 20 menit dimana tidak ada perbedaan waktu antara Jogjakarta dan Jakarta “
“
Damn", sepertinya tidak akan cukup waktuku untuk mengejar penenerbangan
berikutnya.
Ternyata
memilih armada yang berbeda untuk penerbangan lanjutan bukanlah ide yang
brilliant, spare waktu selama dua jam yang telah kuperkirakan berantakan
gara-gara alasan operasional yang sampai sekarang aku tidak tahu apa itu. Entah
kenapa, para mba-mba petugas di counter ruang tunggu penumpang begitu
membosankannya dengan selalu memilih alasan yang sama setiap pesawatnya delay,
“ alasan operasional” fuih, alasan apa itu. Aku yakin kalau saja ada yang
menanyakan alasan operasional yang dimaksud kemungkinan besar mereka tidak tahu
dengan pasti apa itu.
Yah
beginilah nasib para penumpang di negeri ini, selalu harus mengalah dan cukup
puas dengan sogokan kue kotak dan segelas air mineral, itu pun harus menunggu
berapa lama waktu sesuai dengan pertauran yang ada. Oalaaaah…. Udah dirugikan
pun tetap harus bersabar.
“ Para penumpang yang terhormat, anda dipersilahkan keluar melalui pintu depan di
sebelah kiri anda”
Satu
perstau penumpang mengantri untuk keluar
dari pesawat super murah yang tidak murah ini.
Dengan
tergesa kuayunkan langkahku keluar dari gedung terminal 3 C . Terlihat terminal
ini lain daripada terminal yang lain. Kesan mewah sengaja ditinjolkan disini.
Restoran dan kafe yang mengisinya pun lebih berkelas.
Bandara,
bagaimanapun mewahnya, tetap tak mampu mengusir aroma kesedihan dan perpisahan
di setiap ruang udaranya. Beberapa orang menganggap bandara sebagai langkah
awal untuk mencapai ke tempat tujuannya. Namun tak sedikit yang menjadikan
bandara sebagai muara perjalanannya.
“Taksi”,
“
Terminal 1 A, cepet ya pak, pesawat saya berikutnya jam lima”, kataku
Kulirik
jam di pergelangan tanganku, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum waktu
boarding penerbangan berikutnya.
Jarak
terminal 3C dengan 1 A tidaklah terlalu jauh, namun di hari jumat seperti saat
ini, segala sesuatu menjadi tidak terukur.
Untunglah
supir taksi yang satu ini seperti mengerti kegelisahanku.Tak sampai sepuluh
menit kemudian aku sudah berdiri di depan counter 27 armada singa udara ini.
Tanpa membuang waktu kutunjukkan tiket dan tanda pengenalku.
“
Maaf mba, untuk tujuan penerbangan ke sumatera, di terminal 1 B. disini untuk
tujuan Jawa dan luar sumatera.” Kata si petugas santun
‘
WHAT!!!!!! Pindah katanya, sejak kapan?
Memang
benar kata orang, saat kita lagi terburu-buru biasanya seluruh alam akan
berkonspirasi menghambat jalan di depan kita dan menjadikan semua yang terjadi
seolah-olah tidak ada yang benar.
“ Sejak dua minggu yang lalu mba” jawabnya takjim
Hufft,
tanpa berkata apa-apa segera aku mencari pintu keluar, dan berlari di sepanjang
lorong yang menghubungkan terminal 1A dan 1B.
Dengan
nafas yang masih terengah-enagh kuserahkan tiket dan tanda pengenalku ke
mas-mas penjaga counter
.
“ Maaf mba, pesawat anda sudah take off”
Oh
my God, lemaslah seluruh persendianku. Percuma saja sudah berlari-lari
sepanjang lorong, ternyata masih tidak terkejar juga. “ Kalau mba mau, kita bisa pesankan tiket
untuk esok hari”
Aku
sudah tidak mendengarkan lagi kata-katanya. Perlahan mataku berkaca-kaca. Ya ,
sudah menjadi kebiasaanku, kalau terlalu emosi pasti akan menangis. Dengan
gontai kulangkahkan kakiku keluar ruangan .
Ponselku
bergetar-getar, kulirik nama yang tertera di layar, ah suamiku
“ Gimana ade, dah berangkat belum”
Tanpa
bisa dibendung, akhirnya aku menangis terisak-isak, "Huhuhu uda ketinggalan mas”
Kira-kira
seperempat jam suamiku menenenangkanku. Kalau
saja ada yang melihat, pastilah mengira aku sedang menerima kabar buruk dari
keluarga. Memang tampaknya demikian.
“ Mau kemana mba” sekonyong-konyong ada seorang pria menghampiriku. Ah aku malas
menjawabnya, paling-paling calo bandara yang sering berkeliaran. Sudah terlalu
sering aku melihat para calo yang menawarkan jasanya. Tampak seperti menolong
namun karena mereka-mereka inilah terkadang harga tiket melonjak naik. Bukan
pemandangan aneh lagi jika tadinya tiket sudah habis di internet, kira-kira
satu jam menjelang keberangkatan ada
yang menawarkan dengan harga yang tentu saja sudah selangit. Namun melihat
pakaian yang dikenakannya, sepertinya ia adalah salah seorang petugas di
bandara ini.
“
Medan”, jawabku singkat
“ Ketinggalan pesawat ya mba, kalau mba mau saya bisa bantu mencarikan tiket
untuk penerbangan berikutnya, tapi nambah 300 ribu ya mba”
Wah,
seperti mendengar nyanyian selamat datang aku mendengarnya. Tanpa pikir panjang
akupun mengiyakannya. Dengan bantuan, orang yang bernama Doni ini akhirnya aku
bisa mendapatkan tiket untuk penerbangan malam itu. Syukurlah.
Cerita itu terjadi dua tahun yang lalu. Saat aku memutuskan menerima tawaran promosi dari kantor. Awalnya hanya coba-coba, iseng-iseng berhadiah. Setelah beberapa kali test, ternyata dari kantor cabang tempat aku bekerja hanya aku satu-satunya yang dinyatakan lulus. Dilema pun melanda. Antara ingin mengaktualisasikan diri dan tanggung jawab terhadap keluarga. Dengan diskusi yang sangat singkat karena waktu yang mepet, suami mengijinkanku menerimanya. Setahun pendidikan membuatku harus berpisah darinya.
Sebenarnya
hal tersebut sudah aku pikirkan sebelum memutuskan pilihan ini. Namun ternyata
kenyataan yang ada jauh lebih berat dari yang kubayangkan. Apalagi ditambah
dalam lima bulan aku harus OJT ( On the Job Training) di Jogjakarta.
Lengkaplah sudah, bukan saja jarak tempuh yang semakin jauh, plus harus
melakukan dua kali penerbangan ditambah lagi budget yang harus disisihkan
semakin besar. Oh nasib….
Pacaran
jarak jauh? itu sih biasa. Suami istri jarak jauh?, belum punya baby?, sungguh
bukan hal biasa.
Banyak
temanku mempertanyakan keputusanku. Apalagi yang aku cari?. Jika seluruh
kebutuhan hidup sudah terpenuhi, apalagi yang dicari??
Ya, Apalagi yang dicari ????