Nggak Level

Thursday, April 26, 2012

Kemarin siang saya ingin sekali makan soto kudus . Sejak satu jam sebelum waktu menunjukkan pukul 12, saya sudah membayangkan segarnya semangkok soto daging plus segelas es teh manis. Hmm pasti maknyus.

Jam 12 teng, saya segera berjejalan dengan warga kantor mengikuti kata hati dan suara di perut saya. Tampaknya hidup di Jakarta memang segala sesuatunya penuh perjuangan. Ga percaya?

Coba antri lift saat jam makan siang di gedung BRI. 

Setelah antrian di menit ke lima belas, akhirnya saya pun berhasil melalui perjuangan hidup pertama dengan mendaratnya kaki saya  di lantai dasar. Tanpa membuang waktu, saya focus pada tujuan hidup saat itu, Be We, tempat makan “segalanya ada” yang melayani warga 3 gedung perkantoran yang kelaparan

Setelah memesan si soto idaman, mata saya nyalang menyusuri deretan bangku demi bangku yang penuh sesak oleh warga seantereo bendungan hilir.

Kamu bilang hidup ini susah?

Buktikan dengan mencari tempat duduk di Food Court terlengkap di bendungan hilir ini. Setelah itu , bandingkan dengan susahnya hidupmu.

*****

“ Itulah kalau perempuan ga bekerja, pikirannya sempit. Abis kerjaannya cuma nonton sinetron dan gossip doang sih. Ga kayak kita, ada kesibukan, pergaulannya juga beda, jadi lebih melek sama perkembangan jaman. Lain kali ga usah ngajak si Ika deh, ga nyambung, levelnya beda.”

Lah, yang dilakukan barusan itu apa, bukannya menggosip?. 

Saya tutup buku yang saya baca sambil meninggalkan taman tersebut, menjauhi wanita-wanita karir yang begitu jumawa dengan statusnya, mengganggap dirinya lebih tinggi dari ibu rumah tangga, merasa lebih berpendidikan dan lebih modern dari para wanita yang mengabdikan dirinya menjadi full mother.

***
Aaaah, setelah seminggu penuh wara-wiri Jakarta-Bengkulu akhirnya terkabul juga keinginan bebas dari rutinitas kantor. Cuti sehari sambil memanjakan diri sejenak di salon adalah sebentuk surga kecil di dunia. Hampir saja mata saya terpejam menikmati pijatan lembut  si mba di pundak, sambil menunggu creambath di rambut meresap.

“ Eh, bu Ira kemana, kok ga ikut nyalon hari ini”
“ Biasa, akhir bulan, banyak kerjaan di kantornya”
“ Wah, ternyata enakan kita ya jeng, bisa kapan aja ke salon, ga perlu kerja keras, tiap bulan ditransfer suami, ngapain capek-capek “
“ Iya, padahal sama aja yah, pemasukan dua tapi kan pengeluaran juga dua “
“ Oya, arisan periode depan, kita-kita aja yah, biar gampang ngatur waktunya”

Dan cekikikan kedua sosialita tadi sukses menghalangi bertemunya kedua kelopak mata saya.

Diskriminasi

Yah, dalam kasus ini, Para perempuan tersebut sudah mendiskriminasikan perempuan lain. Berlaku tidak adil karena perbedaan. Baik perbedaan fisik maupun perbedaan status.

Si perempuan ber blazer executive, dengan sepatu high heels yang akan mengeluarkan suara tuk tuk tuk kalau berjalan, merasa dirinyalah ikon kartini masa kini. Berfikiran terbuka, dan dialah si perempuan abad 21. Hingga memandang rendah wanita tidak bekerja dan tidak pantas masuk dalam golongannya.

Mungkin sekali, ia tidak mengerti bagaimana nikmatnya mengurusi seluruh kebutuhan keluarga, menyiapkan sarapan suami, mengantar anak-anak sekolah dan dengan senyum sesegar pop ice menyambut suami yang telah berlelah-lelah menafkahinya. Disitu terdapat ladang pahala dari keikhlasannya.

Di sisi lain, full mother merasa kasihan dengan si wanita karir yang harus berjibaku di hiruk pikuk dunia kerja, yang menurut kacamatanya tidak senyaman istana yang didiaminya sepanjang hari. Hingga terkadang, dalam pergaulan mereka mengkotak-kotakkan diri, dengan membaur hanya sesama IRT, dan menganggap wanita bekerja ancaman bagi mereka.

Bisa jadi, ia tidak tahu, betapa menyenangkannya menemukan dan belajar hal-hal baru di tempat kerja, pengalaman bertemu orang-orang dari segala bidang dan membantu perekonomian keluarga. Disitu pula ada ladang ibadah jika ia bekerja dengan ridho suami , gajinya bisa untuk memperbanyak sedekah, membantu keluarga dan bukan hanya sekedar ajang eksistensi diri.

Kalau saja, mereka saling menghargai pilihan pihak lain, saling berempati kepada yang lain, pasti tidak ada pelecehan dan sikap merendahkan sesama wanita.

Kesetaraan?? kata apa itu?







4 comments on "Nggak Level"
  1. up... mantap kaka awaw, terus nulis yaaaa.....di tunggu tulisan selanjutnya.

    ReplyDelete
  2. Siapa iniii, siapaaa. Kok ga nulis nama. Siapapun anda, tp dari baunya ini pasti si uwi :)

    ReplyDelete
  3. ternyata emansipasi perlu dibarengi rasa empati

    pacoy070981

    ReplyDelete
  4. Iya pacoy, banyak perempuan ngomongin kesetaraan gender. Lah kalo sesama wanita aja saling merendahkan, mk jgn dulu membahas ke lain jenis

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga senang yah main kesini :)

Custom Post Signature