Ideku Untuk PLN untuk Hidup Yang Lebih Baik

Friday, October 17, 2014
Bisa ngga sih kita hidup tanpa Air?

Sepertinya semua orang setuju kalau yang namanya makhluk hidup itu tidak bisa hidup tanpa air. Air sumber kehidupan.

Nah, sekarang pertanyaannya diganti.

Bisa ngga kita hidup tanpa ada listrik?

20 Facts About Me

Nyambung postingan kemarin. trus kayaknya lagi musim nih nulis 20 facts about me, jadi pengen ikutan. 

Kan katanya tak kenal maka tak sayang. Biar bergaulnya lebih asik lagi, biar lebih sayang sama eike, eeaaaaa. Yuk saya bisikin...

1. Nama Asli

Nama asli pemberian ortu tuh Windi Widiastuty. Penulisannya kayak itu, tapi kenyataannya dari 10 orang yang pernah menulis nama saya, paling hanya 1 orang yang bisa nulis bener. Biasanya mereka nulis Windy Widiastuti, atau Windy Widiyastuti, atau Windi Widiyastuti, atau kombinasi dari itu. Padahal yang namanya nama kan punya arti ya?. Jadi biar ngga salah-salah lagi, ya udah saya lebih suka dikenal dengan Windi Teguh aja. Eksistensi diri? masih kok, kan ngga pake ngerubah nama :)

2. Koleris Sejati- Sanguin Sebagian

Yup, kepribadian saya koleris sejati. Blak-blakan, tidak sabaran, mudah marah, lebih suka bicara daripada mendengar, ambisius. Widiiiih ngga ada bagus-bagusnya kayaknya. Tapi saya suka menjadi pribadi koleris, karena koleris itu mandiri, supportive dan memiliki energy tinggi untuk maju. selain koleris, saya juga sanguin. Periang, dan ngga bisa nyimpan apa yang ada di hati. A dibilang A, B dibilang B. Aneh ngga sih, saya ini pemarah tapi suka becanda dan riang gembira, 

Berhadapan dengan saya ngga susah, apa yang di bibir itulah yang di hati, ngga perlu menebak-nebak. Sampai saat ini sih, saya ngga punya masalah yang berarti dengan kepribadian saya, soalnya saya tinggal di Medan yang notabene karakternya mirip-mirip seperti itu. Paling kemarin-kemarin saat saya masih tinggal di Jawa, aduuuh susah deh, kalau ngga begitu kenal saya pasti mikirnya  nih orang ngomong kok ngga pake tedeng aling-aling yah, hahaha gpp lah, dan menariknya beberapa teman yang dulu selalu salah paham sama saya, sekarang rajin banget sms-an, BBM-an curhat-curhat xixixix, mungkin karena tahu saya ngga akan bohong kali ya.

Ketemu dengan suami yang plegmatis-melankolis itu, rasanya seperti punya rem ganda, adeeeem deh. Allah itu memang maha adil, ngasih pasangan buat menjadi penyeimbang.

3. Kurang Peka

Bukan berarti berhati batu, mungkin karena koleris tadi ya, saya jadi ngga begitu perhatian sama detail,  dan ngga peka sama yang halus-halus. Keluarga dan teman yang udah ngerti saya, biasanya ngga pakai cara halus kalau mau minta seuatu atau mau minta bantuan gitu. " Win, minta kopinya dong, sekalian lu buatin ya". Atau ngga " Kak, gajian ya, traktir dong di Nelayan". Ngga pake acara sindir-sindir deh, main tembak langsung aja, soalnya saya suka males menebak-nebak apa maunya orang. Kalau saya mau saya bilang ya, kalau ngga ya bilang ngga aja, ngga pake pura-pura mau padahal hati ngedumel.

Sifat ini juga pernah bikin ibu saya menganggap saya TERLALU, huhuhu. Ceritanya, saat saya nikah. Bagi saya nikah itu adalah hal yang membahagiakan. Nah di prosesi nikahan itu kan ada petatah petitih dari orangtua. Biasanya pengantin akan menangis haru. Nah, saya yang hatinya ngga peka ini, malah tersenyum-senyum mendengar nasehat ibu, ngga ada terharu-terharunya. Lah saya memang ngga bisa berpura-pura sedih, wong hati saya memang lagi bahagia banget, xixixi, pengen disambit deh sama ibu saya. 

4. I Have Many Dream

Mungkin sebagian hidup saya dihabiskan untuk mengkhayal dan bermimpi. nah ini agak sedikit bertentangan dengan koleris-sanguin kayaknya ya. Saya suka sekali menghayal. Sisi positifnya kadang saat saya lagi sedih, lagi down, saya menghibur diri dengan menghayalkan yang indah-indah, biasanya mood saya langsung berubah baik lagi. maka, untuk kebiasaan jelek yang satu ini, saya ngga berusaha menghilangkannya, karena bermanfaat untuk diri saya.

Trus saya punya buanyak banget mimpi, tapi seiring waktu mimpi-mimpi itu saya tinggalkan satu persatu, bukan karena ngga bisa mencapainya, tapi semakin kesini kok saya merasa hidup saya udah komplit, punya suami baik, anak sehat dan cantik, kerjaan saya lumayan, keluarga saya bahagia, eh malah ngga pengen apa-apa lagi. Pengennya ya udah sehat-sehat aja. Intinya saya kok jadi cepat puas dengan yang ada saat ini. Bertolak belakang dengan koleris yang ambisius.

Mimpi pengen keliling dunia, pupus," yang penting diamana aja deh asal sama suami dan sama Tara". Mimpi pengen nulis buku, " Ah udahlah, yang mau saya tulis juga udah ditulis di blog, udah diceritain ke Tara. Tampaknya saya mengalamai degradasi mimpi. Tapi saya mau menikmatinya dulu, karena saya yakin seiring waktu pasti energy saya kembali seperti semula. Memang mungkin saatnya sekarang energy saya ditumpahkan untuk keluarga. Yeaaaah.

5. Saya suka Sirik
Iyaaaa, kalau lihat orang lain berhasil, saya bakal sirik setengah mati. Bukan cuma lu, guweh pun bisa kayak gitu. Saya seneng-seneng aja punya sifat kayak gitu, soalnya ngga merugikan orang lain kok. Karena saya sirik bukan untuk ngejatuhin orang, tapi untuk memacu diri, dendam positif lah istilah kerennya.

Nah yang lain-lain, yang kecil-kecil tuh
6. Suka banget dimsum, dan semua seafood
7. Paling ngga suka dicuekin
8. Suka warna hitam dan merah
9. Saya kuno
10. Lebih suka nonton serial daripada film lepas
11. Hobi banget nonton acara masak-memasak tapi paling males ke dapur
12. Ngga suka ke pasar
13. Pecandu Kopi
14. Mie lover
15. Suka banget sama keju dan jagung
16. Penyanyi favorit Bryan Adams ( duileh gw jadul bgt)
17. Bisa hidup tanpa tivi
18. Paling ngga pinter nawar harga
19. Susah banget punya temen dekat
20. Lebih suka belanja sendirian daripada bareng temen.





Tentang Sudut Pandang

Saturday, September 27, 2014
Peribahasa tak kenal maka tak sayang itu memang sungguh-sungguh benar adanya. 

Paling sebel sama orang yang ga kenal sama kita terus dengan seenaknya menilai diri kita dari apa yang dilihatnya. Apalagi di dunia maya, dimana diri kita hanya dinilai dari status dan tulisan beberapa karakter yang kita share. 

Belakangan banyak banget yang lagi happening di sosmed yang sampai saat ini masih saya gandrungi, facebook. Mulai dari polemik perkalian, larangan tayang kartun oleh KPAI, sampai yang tergress adalah tentang Pilkada langsung.

Penting Proses Atau Hasil?

Friday, September 26, 2014


Jadi………….. 4x6 itu sama ngga dengan 6x4?

Topik yang lagi happening banget di social media, bahkan sampai dibahas di surat kabar, melibatkan para pakar matematika, dibahas dari segi ilmu alam, ilmu logika sampai dari tinjauan budaya.

Kalau menurut saya pribadi, 4x6 jelas sama dengan 6x4, absolutely jika kita membicarakan hasil, yaitu sama-sama 24.


Namun 4 x 6 tidak sama dengan 6 x 4 jika yang kita bicarakan adalah cara menjabarkannya dalam bentuk penjumlahan berulang.

4 x 6 ( empat kali enam) = 6+6+6+6


6 x 4 ( enam kali empat) = 4+4+4+4+4+4


Walaupun hasilnya sama, namun pembelajaran tentang konsep dasar, baik itu perkalian, penjumlahan, pengurangan maupun pembagian sangat diperlukan oleh anak-anak kita. Agar mereka tidak tumbuh menjadi generasi yang hapal mati,generasi instan tanpa tahu filosofi ilmu yang dipelajari.

Kemarin saya membuat status di facebook yang isinya menanyakan mana yang lebih penting hasil atau proses?. Dan semua teman yang komentar menjawab bahwa proseslah yang paling penting.


Mari kita bicara kenyataan. Contohnya di dunia kerja, bagaimananpun kerasnya kita bekerja, pergi pagi, lembur sampai tengah malam kalau ternyata tidak menghasilkan apa-apa, penjualan tidak naik, laba tidak tercapai, maka penilaian terhadap kinerja kita di atas kertas tidak sebanding dengan kerja keras yang kita lakukan. Jadi yang dilihat bukan seberapa lama waktu yang kita habiskan di kantor tapi seberapa besar hasil yang bisa kita berikan ke perusahaan.


Tidak hanya di perusahaan yang laba oriented, perusahaan jasa pun memiliki service level agreement yang baku. Kita dianggap bekerja dengan baik saat SLA yang ditetapkan terpenuhi. Saya ambil contoh pak pos, sebagai pelanggan terkadang kita tidak peduli apa halangan yang dihadapi beliau saat mengantarkan paket kita. Mungkin saja kejebak macet, motornya rusak, atau halangan-halangan lain. Pokoknya kita menilai bagus tidaknya pelayanan pos dari seberapa cepat paket tiba ke si penerima.

Ambil lagi contoh lain, seorang dokter misalnya. Sebagai pasien kita akan kembali ke dokter yang sebelumnya kita datangi apabila telah terbukti bahwa setelah berobat dengan beliau penyakit kita sembuh. Tak peduli betapa baiknya si dokter, lemah lembut, sabar mendengar kita bercerita, kalau ujung-ujungnya penyakit kita tidak sembuh, maka sangat kecil kemungkinan kita akan kembali kepada dia. Bahkan seorang dokter kandungan terkenal sekalipun, jika ternyata tidak berhasil membuat pasiennya hamil, kemungkinan besar si pasien tidak akan merekomendasi dan mengakui kehebatan si dokter.

Kalau dihubungkan ke dunia pendidikan, saat UN digelar, atau saat UMPTN jamannya saya dulu. Setelah belajar selama 12 tahun dari SD hingga SMA, akhirnya penentuan masa depan itu ( kata sebagian orang) ditentukan dalam ujian selama 2 hari saja.

Kenyataannya, beberapa teman saya yang saat di SMA begitu pintar, selalu bisa menjawab pelajaran, rangking dari kelas 1 sampai 3 ada yang tidak lulus UMPTN. Apakah adil hanya melihat hasil test 2 hari saja, padahal selama 12 tahun sebelumnya mereka adalah pelajar berprestasi. Nah, bagaimana ini?. Yang penting proses atau hasil sih?.

Masih banyak contoh lain di kehidupan nyata yang menegaskan bahwa bagaimanapun prosesnya, semua tetap bermuara kepada hasil.

Sebagai orangtua apa yang harus kita ajarkan kepada anak kita. Proseskah atau hasil oriented?.

Menurut saya keduanya harus seimbang dan sejalan. Memisahkan dan menempatkan salah satunya di posisi lebih penting, sama seperti memisahkan opor ayam dengan ketupat saat lebaran, akan hambar.

Saya sependapat bahwa proses itu sangat penting, karena dalam berproses itulah kita belajar. Penanaman konsep kepada anak seperti meletakkan pondasi yang kuat untuk tempat ia berpijak. Namun yang tak bisa diabaikan, bahwa di kehidupan nyata, hasil tetap merupakan hal yang dinilai, dan hasil juga yang kita nikmati. Sunatullahnya kalau prosesnya baik, maka hasilnya juga akan baik.

Mengajarkan pentingnya hasil pada anak, bukan berarti kita menggiring anak untuk menjadi matrealistis atau menjadi generasi instan. Hanya saja, orangtua juga perlu memberitahu anak kenyataan yang terjadi di kehidupan sehari-hari, tidak hanya berkutat pada kondisi ideal. Biar nantinya ia siap menghadapi kejamnya dunia.

Lagipula dalam agama,kita kerap dianjurkan berbuat baik (proses) namun jg diminta untuk selalu berdoa agar mengakhiri hidup dalam keadaan khusnul khotimah (hasil)


Jadi, kalau menurut kamu, penting mana nih, Hasil atau proses?




Men " Jamu" di Negeri Sendiri

Friday, September 5, 2014
Walau bukan termasuk obat , khasiat jamu tradisional secara turun temurun telah diwariskan oleh leluhur bangsa Indonesia.  Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan jamu ada di negeri kita ini, namun dokumentasi tertua tentang jamu bisa kita lihat pada relief Candi Borobudur ( Tahun 772 M), dimana terdapat lukisan tentang ramuan tradisional atau jamu di atasnya. Selain di Candi Borobudur, dokumentasi tentang jamu juga bisa kita temui pada relief Candi Prambanan , Candi Tegalwangi yang menerangkan tentang penggunaan jamu pada zaman dahulu.

Custom Post Signature