Televisi ???

Thursday, June 7, 2012
Yup. saya memang orang yang sama sekali tidak up to date terhadap film-film di bioskop. Memang nonton bukanlah hobi saya. Dibandingkan harus menghabiskan waktu selama 2 jam di bioskop  untuk menonton The Hunger Games, misalnya , saya lebih rela membaca novel triloginya selama berjam-jam. Padahal lebih lama juga ya, lebih mahal lagi bukunya dibanding tiket nontonnya.  

Bukan hanya nonton di bioskop, bahkan menonton acara-acara televisi pun saya tidak suka. Dari kuliah, saya tidak pernah punya TV di kamar. Saat kerja dulu sebelum menikah, saya beli juga sebuah TV untuk mengisi kamar saya, Mesakke banget lah yo udah kerja tapi gak punya TV, gitu pikir saya. Tapi sampai, saya kemudian menikah, TV di kosan tidak pernah terpasang antenanya, alias praktis saya tidak pernah nonton TV. Parah ya?.

Namun saya suka nonton film dari DVD. Saya paling suka dengan film serial. Friends, Desperate Housewives, The Heroes, Girlmore Girls, adalah serial-serial favorit saya. Untuk Friends dan Desperate Housewives saya bahkan sudah mengulangnya lebih dari lima kali. 10 season di Friends dan 8 seasons Des House. O my God, jangan-jangan saya punya kelainan bawaan.

Dan begitulah, sekarang pun setelah menikah, dan ngekos (lagi) saya tetep tidak punya televise. Kalau mau nonton film cukup di laptop saja. Udah sering banget saya ditertawakan teman-teman kantor, “ Apaaa, gak punya Tivi?” saat mereka nyeritain acara terbaru dan saya ga tau sama sekali acara apa itu. Suami saya udah nawarin buat beli Tivi, tapi saya menolaknya, lah wong gak suka, gak butuh juga, ya buat apa. 

Tapi anehnya saya sama sekali tidak pernah merasa ketinggalan berita. Karena saya seorang internet mania, semua berita bisa saya dapat disana. Kalau gak tau sinetron sekarang, atau ga ngikutin acara gossip saya anggap itu bukan ketinggalan berita. Lagian di kantor ada Tivi ini pikir saya. Setiap jam istirahat masih bisa melihat berita-berita yang ada. Paling, satu-satunya acara yang bikin saya masih pengen nonton Tivi  , kalau sekarang ya Indonesian Idol. Tapi lagi-lagi gak masalah, soalnya biasanya kan ada ulangannya di hari Jumat siang , jadi masih bisa nonton di kantor.

Sejujurnya saya merasa beruntung sekali tidak memiliki ketertarikan secara khusus terhadap televise. Waktu yang mungkin dapat terbuang percuma jika saya lewatkan di depan TV, bisa saya manfaatkan dengan membaca, atau sambil iseng-iseng menulis. 

Kalau nonton di bioskop??, Hmm sebenernya saya tidak punya masalah apa-apa dengan bioskop, sepanjang saya nontonnya bersama suami. Tapi ya itu, memang benar kalau dikatakan suami istri itu sekufu. Suami saya pun tidak suka nonton. Bisa dihitung dengan jari berapa kali kami menonton bioskop sejak menikah. Kayaknya ga lebih dari jumlah jari sebelah tangan. Kalau dia sih alasannya karena udah tua, malu gabung ama remaja-remaja. Tapi kalau saya?? Hmmm kenapa ya??. 

Seinget saya, gara-garanya dulu saat ada gempa di Aceh ( bukan tsunami) saya mendengar adik saya cerita banyak orang berlarian saat berada di mall, apalagi yang di bioskop. Trus ditambah lagi waktu terjadi pemboman di Bali, kemudian di Jakarta dan di tempat-tempat keramaian. Saya jadi parno sendiri. Takut, jangan-jangan saat nonton di bisokop, ada gempa atau ada bom, trus saya tidak selamat. Wah, mau jawab apa nanti disana. Tapi kalau sama suami kan lebih tenang ( yee sama aja boong). Yah gitu lah kira-kira. Makanya saya gak terlalu suka juga ke bioskop.

Lain ceritanya kalau lagi dinas ke luar kota dan nginep di hotel. Wah saya bisa betah banget nonton Starworld, apalagi How I Met Your Mother, Master Chef dan American Next Top Model. Lha berarti saya bukan gak suka nonton Tivi ya, tapi gak suka acara televise Indonesia. Ya elaaa, sok banget sih.

Dan begitulah ceritanya. Lagian menurut saya selama ada twitter dan FB , sepertinya bukan masalah tidak menonton televisi. Semuaaa ada disana.

Dan televisi??? Kalau acara yang disajikan masih kayak sekarang ini sih, saya masih mau nerusin kemalasan saya nonton tivi sampai tahun baru kuda .

Sebenarnya tadi saya mau nulis resensi film, eh jadi kepanjangan ceritanya. Disambung di postingan lain aja deh.

Mutasi

Gerbong kepemimpinan di kantor saya tampaknya mulai berjalan lagi. Satu persatu pengumuman SK kepindahan mulai dibacakan. Ada yang promosi, ada yang hanya sekedar rotasi, bahkan ada yang demosi.  Beragam emosi mewarnai penugasan yang tidak mungkin ditolak tersebut.

Si X pulang kampung, pindah ke daerah asalnya, Alhamdulillah.
Si Y harus ke pulau nun jauh disana, Duuuh cuma bisa diem dengernya.

Saya..... cuma bisa menghela nafas ( lagi), karena namaku tidak tersebut. Padahal gosip-gosipnya saya dimutasi ( ini mah ngarep bukan gosip) :). Dan begitulah , hanya bisa memberi selamat kepada mereka yang dimutasi dan dipromosi.MySpace

" Bersedia ditempatkan di unit kerja seluruh Indonesia"

Sebaris kalimat itu merupakan senjata pamungkas pihak manajemen dalam mengambil keputusan memindahkan para pekerja dari satu unit kerja ke tempat yang lain. Beuuugh, gak nyangka ,baru kali ini saya menyesalkan kenapa wilayah Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke, kegedeaaan. Coba kalau Sumatera aja trus Medan jadi ibukota negaranya, kan asik ya. You Wish

Mutasi, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sejatinya, kita manusia seumur hidup tidak akan pernah terhindar dari yang namanya mutasi.

Mutasi dari  alam rahim, ke dunia, sampai nanti dimutasi kembali ke akhirat. Setiap perpindahan seharusnya membawa kita menuju ke tempat yang lebih baik lagi, dengan pengalaman baru, orang-orang baru dan cerita baru.

Ya sud lah, dinikmatin aja yang sekarang ini. Itung-itung jalan-jalan di ibukota sebelum kembali mendaki gunung lewati lembah, sambil tak lupa berdoa semoga segera didekatkan.

Hmmm, btw kapan ya daku di mutasi kembali ke pelukan suamiku tercinta, ihiir




Yang Tersisa Dari Sebuah Kompetisi

Wednesday, June 6, 2012
Kurang lebih 46.500 ibu-ibu sedang berdoa khusyuk tanggal 04 Juni kemarin ( lebay ). Apa sebab?, karena bakal ada pengumuman pemenang dari sebuah kompetisi sharing cerita yang diselenggarakan oleh salah satu produk pewangi terkenal di Indonesia. Tidak main-main, hadiah yang diperebutkan memang bikin mupeng, jalan-jalan romantic ke Paris bersama pasangan, serta mesin cuci dan voucher belanja. Wow siapa yang ga mau.

Saya termasuk salah satu yang berharap-harap cemas. Pasalnya tiga hari sebelumnya saya sudah mendapat telepon dari pihak penyelenggara yang menanyakan data-data diri saya. Namun tidak dikatakan saya menang atau kalah, hanya disuruh menunggu pengumuman resmi. Wuih, makin sport jantung. 

Saat kemudian nama-nama pemenang diumumkan, senyum saya merekah sempurna. Yup, nama saya terselip di antara nama pemenang lain. Seneng… pasti. Seneng karena dapat hadiah yang memang lagi saya butuhkan, dan senang karena ternyata cerita saya diapresiasi juri dengan baik.

Alhamdulillahirabbilalamin.

Beberapa kali saya mengikuti kompetisi, ini adalah kompetisi yang paling berkesan bagi saya. Karena banyak kejadian lucu, heboh dibaliknya. Mulai dari peserta yang marah-marah, kecewa dengan pihak penyelenggara, calon pemenang yang kurang bisa menahan diri ( termasuk saya), sampai peserta yang tidak terima dengan keputusan juri . Hebohnya menyaingi kehebohan arisan ibu-ibu, hanya saja minus camilan.

Kalah menang dalam sebuah kompetisi itu biasa. Kalau kita belum beruntung bukan berarti karya kita tidak lebih baik dari yang lain. Hanya saja mungkin belum sesuai dengan kriteria yang diinginkan juri.

Hal yang paling penting dari sebuah kompetisi adalah pembelajaran yang bisa kita ambil dari proses yang berlangsung.

Namun kalau bagi saya, hal yang paling saya sukai dari sebuah kompetisi menulis adalah oleh-oleh yang bisa saya gondol setelahnya. Yup, saya bakal dapat tambahan teman-teman baru, oyee.


info lengkap disini

Pengumuman Pemenang Lomba Blog LG

Monday, May 28, 2012
Akhirnya pengumuman Lomba Blog LG  keluar juga. Dan Wow, saya termasuk salah satu pemenangnya nih. Walau ga dapet AC nya tapi tetep seneneeeeng bangets. makasi teman-teman yang udah support ya, udah koment dan udah baca. Semoga ke depannya bisa lebih baik lagi. Cayooo.
Ni Info lengkapnya:
Dear All, sebelumnya admin mewakili dewan juri mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para peserta yang telah berpartisipasi dalam program Green Blogger dari AC LG Deluxe Plasmaster, dimana teman-teman blogger sudah mengikut ...kompetisi menulis blog. Dari sekitar 100an peserta, memang cukup sulit bagi juri untuk merilis pemenang karena kualitasnya rata-rata cukup bagus, dan karena harus ada pemenang, dengan berat hati dan berbagai pertimbangan, diantaranya kualitas tulisan, pernyaratan teknis, sharing artikel, comments dll bahkan termasuk melalui faktor search engine optimization kami sertakan juga untuk pembobotan. Dan inilah para peserta yang beruntung:

1 http://harris-maulana.blogspot.com/2012/04/memilih-ac-terbaik-untuk-hidup-yang.html
2 http://www.unggulcenter.org/2012/04/25/sembilan-angka-ac-terbaik-untuk-dua-kartini/
3 http://www.kodokkampus.web.id/2012/05/solusi-kulit-kering-pilih-ac-terbaik.html
4 http://windiland.blogspot.com/2012/05/ac-lg-skin-care-deluxe-inverter-v.html
5 http://daroachphobia.wordpress.com/2012/04/02/ac-lg-skin-care-deluxe-inverter-v-menjaga-kulit-tetap-sehat/#more-2744
6 http://burselfwoman.com/?p=5545
7 http://lucerahma.blogdetik.com/index.php/2012/04/kesehatan-kulit-terjaga-dengan-tepat-memilih-ac-kesehatan/
8 http://www.ardiannugraha.com/2012/05/lg-skin-care-ac-kesehatan-tepat-untuk.html
9 http://veromons.blogspot.com/2012/05/ac-terbaik-untuk-menjaga-dan-merawat.html
10 http://giewahyudi.com/lg-skin-care-deluxe-inventer-v-udara-dingin-tanpa-kulit-kering/

Untuk teman-teman2 yang belum beruntung, semoga tulisannya memberikan kontribusi yang berarti dan bermanfaat untuk orang lain. Sekali lagi terima kasih atas kontribusinya, tetap semangat, dan salam Life's Good :)

Bagi para pemenang akan dihubungi oleh admin melalui email & nomor telepon yang didaftarkan waktu pendaftaran. Semua pemenang tidak dipungut biaya apapun. Hati2 pd tindak penipuan yang mengatasnamakan kontes ini. Terima kasih
See More

Gado-Gado Poligami





Aku tidak akan pernah lupa pada pagi itu. Usiaku masih sebelas tahun, adik bungsu kami masih kelas 3 sekolah dasar. Tidak ada yang berbeda pada hari itu. Tetangga kami yang cerewet masih sama bawelnya dengan beberapa hari yang lalu meributkan anaknya yang terkena bisul disana sini. Tanteku yang beberapa tahun ini tinggal di rumah ibuku, sibuk membersihkan bekas ompol adikku. Semuanya terlihat biasa, sampai sore hari tidak biasanya kami mendapat kunjungan kakek.

Dengan keingintahuan seorang anak kecil, kuintip dari celah kamarku pembicaraan serius di ruang tamu kontrakan kami. Ibu menangis, kakek membisu, ayahku…… aku tak mendengar suaranya.


a hari kemudian, ayah kembali ke kota tempat kerjanya. Sejak setahun belakangan , ayah harus pindah kerja ke Palembang. Karena ibuku seorang PNS di kantor bupati dan kami masih bersekolah, maka dengan alasan efisiensi dan efektivitas, kami tetap menetap di Padang. Sebulan sekali ayah pulang dan tinggal di rumah selama tiga sampai empat hari. Aku selalu menanti-nanti hari kepulangan ayah. Biasanya setiap ayah akan pulang. Ibu bangun lebih pagi, begitupun aku dan adikku. Sarapan akan terhidang di meja sebelum pukul enam pagi karena biasanya ayah akan turun dari angkot yang berhenti di depan rumah sekitar jam setengah tujuh. Dan kami siap-siap menyambut kedatangan ayah dengan segudang cerita yang tersimpan selama sebulan terakhir.

Tapi hari itu, aku tahu sesuatu telah terjadi, sesuatu yang buruk yang dengan keterbatasan pengetahuan kanak-kanakku, aku hanya bisa menyimpulkan bahwa ayah telah menyakiti ibu.


Aku mendengar suara teriakan ibu, kemudian disusul tangisnya. Tak lama ibu masuk kamar dan membereskan pakaiannya. Ayah sama sekali tidak mencegah ibu pergi. Aku hanya menatap kosong kepergian ibu. Tidak tahu apa yang tengah melanda keluarga. Kudengar suara adikku menangis di dapur, segera kudatangi ia. Dengan tatapan polosnya ia memandangku.


“ Ibu kemana kak”

Aku hanya diam.




*****



Gempita perayaan pernikahan bungsu di keluargaku telah selesai. Kulihat rona bahagia yang tak bisa disembunyikan di wajah kedua orang tuaku. Tugas mereka sebagai orang tua tuntas sudah, untuk melepas putra putrinya menyempurnakan separuh diennya.


Tujuh belas tahun telah berlalu sejak hari itu. Hari ini ibuku telah membuktikan kepada dirinya sendiri, kepada semua orang yang bergunjing di belakangnya, ia telah berhasil melewati ujian terberat bagi seorang istri, neraka dunia , Poligami.



Sejak senja itu, kehidupan keluarga kami berubah. Setiap kepulangan ayah, aku hanya menyaksikan pertengkaran demi pertengkaran. Namun ibu bukanlah wanita lemah yang langsung terjatuh ke titik nadir hidupnya . Di setiap tarikan nafasnya aku tahu ada tangis disana, namun juga ada semangat untuk membuktikan kepada ayahku, bahwa poligami tidak akan menghancurkannya.



Dan kini, kami dalam satu frame foto keluarga. Abangku dengan anak istrinya, aku dan kedua adikku dengan suami masing-masing. Dan di tengah-tengah kami, ayah dan ibu tersenyum bahagia.



Aku tidak bangga dengan sejarah keluargaku. Tapi aku juga tidak malu dengan perjalanan hidup kami.


Bisa jadi sesuatu itu tidak kita sukai, padahal mungkin ada kebaikan di dalamnya.


Tulisan ini fiksi belaka, diikutsertakan pada lomba Blog, Opini Poligami . Info lomba disini

In Busway

Sunday, May 27, 2012

Pengalaman saya naik busway selama ini bisa dibilang so so lah, ga ada hal-hal menarik yang saya temukan. Orang berjubelan, berebut masuk  dengan gaya khas orang Jakarta. Earphone atau headphone yang tak pernah lepas seolah tidak mau diganggu oleh keadaan sekeliling.

Selama tiga hari berturut-turut kemarin, saya bolak-balik kos di daerah Sudirman ke Pusdiklat di bilangan Jakarta Selatan tepatnya di Ragunan. Pagi-pagi jam enam saya sudah harus keluar dari kos kalau mau tepat waktu sampai di tempat.  Dari halte Benhil saya hanya harus berganti busway sekali untuk sampai ke tujuan saya. Beruntung rute yang harus saya tempuh melawan arus pekerja di pagi hari. Jadi saya tidak perlu berdesak-desakan dengan para pekerja kantoran metropolitan. Demikian juga pulangnya, saya bisa naik di halte Ragunan yang mana merupakan pull pertama, jadi bisa dipastikan saya mendapat tempat duduk tanpa harus bersusah payah.

Saat saya naik di halte Ragunan, ada 5 orang cowok yang ikutan naik bareng saya. Masih muda, berpakaian ala kantoran rapi jali. Setelah seluruh kursi terisi, busway pun melaju. Saya berusaha tidur, karena tempat saya turun masih jauh, Dukuh atas yang notabene termasuk halte terakhir. Kira-kira tiga halte dari situ, di Duren Tiga seorang bapak naik, Usianya sekitar 60 puluhan. Cukup tua untuk bepergian sendiri. Kondisi di dalam busway lengang hanya saja semua kursi sudah terisi. Karena  itu, si bapak berdiri di seberang saya. Saya pikir secara nurani, akan ada salah satu dari pemuda tersebut yang merelakan kursinya untuk si bapak. Anehnya 5 orang pemuda sehat yang seger bugar tadi tak satupun yang berdiri dan mempersilahkan si bapak duduk. Mereka malah asik bbm an. Saya hitung satu sampai sepuluh, saya pandangi dengan tajam mereka, berharap ada yang mengalah dan mau berdiri, tapi sepertinya saya terlalu berharap. 

Oh yeah, saya tidak cukup tega untuk membiarkan si bapak terhuyung-huyung di sana. Padahal tujuan saya masih jauh banget. Its oke, sepertinya ngedumel di dalam hati bukan solusi yang tepat saat itu. Melihat tak seorang pun bergeming, saya segera berdiri dan menyilahkan bapak tersebut duduk. Senyum lebar dan lega  langsung menghiasi wajahnya. Saya ambil posisi berdiri senyaman mungkin di dekat pintu biar ada senderannya mengingat halte saya masih jauh banget.

Right. Saudara-saudara. That’ s Jakarta. Saya tidak tahu apakah ini terjadi sehari-hari atau hanya pas kebetulan saja saya mengalaminya, karena saya jarang naik angkutan umum selama disini. Kos saya terletak di belakang kantor, jadi saya jalan kaki setiap hari.Dan karena saya tidak terlalu hapal jalan-jalan disini saya lebih suka naik ojek kemana-mana.

Banyak sudah yang bercerita, yang menulis, yang membahas bahwa tingkat kepedulian masyarakat di kota ini setipis kulit bawang.Tapi saya tetap tidak percaya sebelum mengalami sendiri. Kata orang hidup disini membuat orang menjadi apatis, bisa jadi memang benar sekali. Saya tidak menghakimi si 5 orang pemuda tadi dan beberapa penumpang laki-laki di dalam  busway,bisa jadi mereka terlalu capek sepulang kerja. Atau mungkin hal tersebut memang sudah biasa. 

But to be honest, saya tidak mau menjadi bagian dari mereka. Mudah-mudahan anda pun bukan typical warga Jakarta seperti mereka.


Just Married

Menikah itu kayak main Enggrang
Harus jaga keseimbangan kalau gak mau jatuh

Menikah itu Kayak main Enggrang
Sehati-hatinya pun kamu, pasti pernah jatuh

Menikah itu kayak main Enggrang
Setelah jatuh kamu tetap bisa bangkit
Setelah jatuh kamu masih bisa tertawa

Jangan takut main Enggrang
Jangan Takut Untuk Menikah

Married

Menikah itu kayak makan coklat
Manis, ada pahitnya juga, kadang-kadang eneg tapi tetap bikin ketagihan

Kalau ada orang bilang coklat tidak baik untuk kesehatan, 
toh tetap penjualan coklat ga pernah ada matinya.

Menikah itu seperti makan coklat. 
Membayangkannya aja udah bikin seneng 
apalagi bener-bener makannya.

I Love Chocolate 
I Love being Married

Paradoks Kehidupan


Saat menelusuri lagi catatan-catatan yang pernah saya buat, saya jadi tersadar satu hal. Ternyata hidup penuh dengan hal-hal yang bertentangan satu sama lain. Contohnya saja, saat berbicara tentang poligami, saya tidak anti poligami tapi saya benci poligami, bagaimana mungkin benci tapi tidak anti, bukannya kalau kita membenci sesuatu otomatis kita akan antipasti padanya. Atau saat isu kenaikan BBM, saya paham secara logika harga BBM harus naik, tapi saya ga setuju kalau BBM naik. 

Padahal katanya , sesuatu yang benar itu harus sejalan , tidak bertentangan. Misalnya, “ Hemat pangkal kaya”. 

Menurut saya sih, hemat tidak menjadikan seseorang kaya, tapi hemat mencegah seseorang miskin benar.  Lagian dalam agama juga disebutkan hal yang bertentangan dengan prinsip itu. “ Banyaklah memberi, maka kamu akan mendapat lebih” .Nah lho gimana caranya ya saat banyak yang kita beri kok makin banyak yang kita dapat??. 

Atau “ kalau mau sukses, harus rajin belajar“.

Dan kenyataannya, sebagian besar pengusaha sukses di Indonesia ternyata tidak berpendidikan tinggi, jadilah sangat bertentangan dengan faham yang selama ini dianut masyarakat bahwa untuk sukses harus sekolah setinggi-tingginya. Bob Sadino, Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan bukanlah lulusan S2 atau magister apapun.

Hal paradox lainnya, ahli ekonomi mengatakan , justru peluang yang baik itu ada saat krisis. Padahal saat krisis itu masa-masa yang sulit ya, kok bisa jadi peluang yang baik. Saya rasa dari sini muncul kalimat “ kesempatan dalam kesempitan”

Ya hidup ini penuh paradox, 

Kita sering dengar istilah “ Sendiri dalam keramaian” 

Mungkin itu adalah contoh paradox yang paling jelas. Saat seseorang merasa sepi padahal di sekelilingnya penuh dengan manusia lain, hiruk pikuk berseliweran, namun seolah-olah keberadaannya tidak di tempat itu.

Menarik sekali mengetahui hal-hal kontradiktif yang kadang justru lebih sering benar dibanding salahnya.Mungkin tanpa sadar banyak hal-hal paradox dalam keseharian kita, makanya pencopet/ penipu kebanyakan adalah orang yang berpenampilan baik, santun , rapi, wangi. Karena mereka sadar tentang pentingnya berfikir kontradiktif.

Bisa jadi untuk mengatasi masalah-masalah sehari-hari kita sebenarnya bukanlah hal yang terlalu sulit,  cukup berpikir secara paradox saja.

Hmm tapi sebentar, kalau begitu sebenarnya hidup saya bukan paradox, tapi lebih tepat “ plin plan” kayaknya. 

Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat

Saturday, May 26, 2012

Masa kecil kuhabiskan di sebuah perkebunan sawit di pedalaman Sumatera Utara. Karena ayah bekerja di salah satu perusahaan perkebunan disana, maka otomatis kami sekeluarga pun harus tinggal di perumahan perkebunan tersebut. Kami menyebutnya pondok atau emplacement. Yaitu suatu pemukiman yang disediakan perusahaan untuk pekerja dengan golongan rendah. 

Sudah menjadi rahasia umum, kalau kehidupan di perkebunan masih berbau feodalisme. Begitu pun dengan pengaturan tempat tinggal. Perumahan untuk karyawan pimpinan ( golongan staff) dipisahkan jauh dari perumahan karyawan pelaksana. 

Seperti lazimnya perusahaan perkebunan yang notabene lokasinya jauh dari perkotaan, maka disini seluruh fasilitas yang menunjang kehidupan sehari-hari telah tersedia. termasuk sekolah. Aku menghabiskan masa-masa SD ku di sebuah SD milik perusahaan ayahku. Kalau kalian ingat film Laskar Pelangi, maka kira-kira sekolahku adalah sekolahnya si Flo. Komplek perumahan kami bersebelahan dengan perkampungan biasa. Persis seperti ceritanya si Ikal, di perkampungan tersebut pun punya sekolah yang tentu saja sangat jauh fasilitasnya dibanding sekolahku.

Walaupun ayahku hanya seorang karyawan biasa, namun karena ibuku juga bekerja sebagai guru, maka taraf kehidupan keluargaku bisa dibilang termasuk golongan memadai. Kami hidup berkecukupan, namun tidak sampai berlebihan. Masih bisa makan ayam seminggu sekali, dan setiap dua minggu sekali ayah akan mengajak kami sekeluarga pergi tamasya. Kadang ke pantai, pernah juga hanya duduk di lapangan golf yang menghijau milik perusahaan.

Saat itu tahun sembilan puluhan. Aku duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Setiap hari akau diberi uang saku untuk jajan di sekolah sebesar Rp 200,-. Seratus rupiah untuk sekolah pagi, dan seratus lagi untuk sekolah Madrasah Ibtidaiyah sore hari. Jumlah tersebut lumayan besar pada saat itu, bisa untuk membeli sepiring nasi gurih ( nasi uduk), atau mi goreng atau lontong sayur ditambah segelas es sirup atau dua potong es lilin.

Teman sebangkuku bernama Rani. Dia murid pindahan dari kebun lain. Orangtuanya bekerja sebagai penderes ( orang yang menguliti kulit pohon karet untuk diambil getahnya). Kalau digambarkan dengan tingkatan kasta, maka kasta penderes adalah kasta sudra, kasta terendah.
Setiap hari Rani membawa keripik singkong sambal merah ke sekolah. Ia menjualnya kepada kami. Aku yang memang doyan pedas, menjadi pelanggan tetapnya. Harga sebungkus keripik adalah Rp 25.

Teman-temanku banyak yang sering menertawakan Rani, terkadang dia diolok-olok teman lelaki yang usil. Namun, tak sekalipun aku melihat Rani merasa malu. Tetap saja secara rutin dia membawa keripik-keripik jualannya. Bu guru sering memborong jualan Rani. Memang ibu guruku, bu Salehah sungguh guru yang sangat baik dan mengasihi muridnya. Tak salah kalau ia memiliki nama begitu indah.

Suatu hari, aku tidak begitu ingat bagaimana kejadian persisnya. Namun teman-teman laki-laki sangat jahil di hari itu. Mereka bercanda sambil menarik-narik rambut beberapa anak perempuan. Syukurlah rambutku dipotong pendek sama mama, jadi mereka tidak bisa menarik-narik rambutku.
Rani yang kebetulan berambut panjang dan pada hari itu diekor kuda, menjadi bulan-bulanan mereka. Bosan dengan acara tarik-menarik rambut, mereka beralih ke permainan mengintip rok anak perempuan. Mungkin kalian masih ingat ulah usil teman-teman semasa SD dulu. Dimana anak laki-laki mengikatkan rautan pensil yang ada kacanya ke tali sepatu kemudian sambil berjalan pelan-pelan kakinya di tarud persis di bawah anak perempuan yang berdiri, sehingga kelihatan warna CD nya. Sambil tertawa-tawa mereka menjalankan aksinya, dan menyebut warna CD anak perempuan. Lucu juga kalau mengingatnya.

Tapi ternyata, yang terjadi tidak selucu yang kubayangkan, saat Rani yang menjadi korban. Awalnya kami semua tertawa, namun setelah melihat Rani menangis, kami terdiam. Teman lelaki yang iseng tadi tanpa minta maaf langsung kabur ke luar kelas. Sebagai teman sebangku, aku turut merasa bersalah karena telah menertawakan Rani. Untuk menebus rasa bersalahku, kuhibur ia. Rani ngambek, lari keluar kelas dan tidak mau lagi mengikuti pelajaran berikutnya.

Ibu guru Salehah menyuruhku mengantar Rani pulang ke rumah. Dengan berjalan kaki kuantar Rani. Sepanjang perjalanan Rani diam. Aku sibuk bercerita tentang apa saja agar Rani tertawa. Syukurlah tak berapa lama, mendengar ceritaku tentang Abunawas yang sering didongengkan ayahku, Rani akhirnya tertawa juga.

Tidak terasa, kami sudah sampai di rumah Rani. Saat melihat rumah Rani dari luar, aku biasa saja. Rumahnya kecil, namun hal tersebut dapat dimaklumi, namanya juga perumahan perusahaan, tentulah tidak mungkin besar, apalagi mengingat pekerjaan ayahnya. Namun saat masuk ke rumahnya aku sangat terkejut. Rumahnya sangat sempit dan hanya diisi beberapa perabot usang. Kursi busa yang sudah bolong disana-sini dan busanya sudah terburai teronggok di sudut ruangan. Kulihat ada sebuah kulkas model lama. Aku pikir, lumayan juga nih keluarga Rani punya lemari es. Eh ternyata saat dibuka, isinya adalah pakaian. Jadi lemari es tersebut adalah lemari es rongsokan. Pakaian di dalamnya, seperti hanya dilemparkan masuk saja ke dalamnya, tanpa disetrika.

Rani mempersilahkanku duduk di sofa. Terus terang saja, aku tidak tahu harus dimana kuletakkan pantatku, karena beberapa kayu sofa sudah menonjol. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di lantai.

Karena hari sudah siang, ibunya Rani mempersilahkanku makan siang. Wah senangnya. Memang dari tadi perutku sudah berkerucuk minta diisi. Setelah mengambil nasi dan menaruhnya di piring kaleng, mataku mencari-cari lauk yang akan menemani nasi di piringku. Kulihat Rani mengambil sesendok sambal ke piringnya. Aku pun megikutinya. Setelah itu, Rani kembali duduk dan langsung menyantap makanannya. Aku masih sibuk lirak-lirik dimana gerangan lauk ikan atau telur berada.

Akhirnya aku sadar, tidak ada lauk lain. Ya, menu makan siangnya adalah nasi plus sambal. Bahkan kerupuk pun tidak ada. Dengan susah payah kuhabiskan nasi di piringku. Hiks, ada yang nyesek di dadaku. Aku tidak menyangka teman sebangkuku sesusah itu hidupnya. Padahal terkadang di rumah kalau ibu hanya masak telur saja aku suka ngambek ga mau makan. Harus ada ikan di meja makan, baru aku selera makan.

Setelah selesai makan, Aku membantu Rani mencuci piring. Tak lama ibu Rani pamit mau pergi, katanya mau mengambil cucian ke rumah tetangga. Untuk membantu menopang hidup, ibunya menjadi buruh cuci di komplek situ.

Piring sudah bersih. Rani mengajakku ke belakang rumah. Aku pikir mau duduk-duduk dimanaaa gitu. Eh ternyata belakang rumah Rani adalah tanah perusahaan yang sudah digarap dan ditanami dengan pohon singkong. Sambil tertawa-tawa Rani mengajakku memanen singkong untuk dibuat keripik. 

Baju sekolahku jadi berlepotan tanah. Dengan semangat aku mulai mencabuti pohon-pohon singkong tersebut. Wah ternyata tidak terlalu sulit. Cukup ditarik batangnya, seluruh akar yang berisi umbi akan tercabut. Rani sangat senang aku mau membantunya. Tak terlihat lagi kesedihan di wajahnya.

Cukup banyak juga singkong yang kami panen. Setelah itu, Rani mengajariku cara membersihkan singkong. Cukup dibuat irisan memanjang di kulitnya, kemudian tinggal diputar, maka kulitnya akan terlepas semua. Takjub aku melihat temanku yang satu ini. Di usia yang demikian belia, sudah ahli memotong-motong singkong.

Setelah dibersihkan, singkong-singkong tersebut kemudian diiris tipis-tipis memakai alat khusus untuk mengiris yang terbuat dari plastik. Hahaha, aku seperti bermain-main saja. Tak terasa sudah satu baskom irisan singkong yang kami hasilkan.

Dengan lincah tangan Rani menyalakan api di tungku. Setelah menyusun batangan kayu bakar dan ranting-ranting, hap… api pun berkobar. Sebuah kuali ( penggorengan) yang lumayan besar pun nangkring di atasnya. Bersama-sama kami menggorang irisan singkong tadi.

Hari sudah sore saat kami selesai menggoreng keseluruhan singkong di dalam baskom. Kata Rani , harus menunggu ibunya untuk mencampur sambal di keripiknya. Ia belum terlalu ahli membuat sambal.

Sungguh aku tak menyangka selama ini keripik yang dijual Rani adalah hasil olahan dirinya sendiri. Saat itu kami masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. Bayangkan masih berapa usia kami.
Tak lama aku pun pamit pulang, takut ibuku khawatir. Rani membawakanku sekantongan kecil keripik yang tadi kami goreng bersama. 

Hari itu aku mendapat pengalaman yang sangat luar biasa. Aku jadi tahu bagaimana susahnya mencari uang. Aku juga jadi menyadari bahwa aku termasuk orang yang beruntung. Tidak perlu bersusah payah, nasi beserta lauk pauknya sudah tersedia setiap hari. 

Mulai hari itu aku berjanji akan setiap hari membeli keripik Rani, dan membantunya menjual keripik-keripik tersebut di sekolah. Aku menyadari nilai perjuangan hidup di balik harga sebungkus keripik. 

Rani telah mengajarkanku sebuah nilai kehidupan yang sangat berharga. Selama ini ia tidak pernah merasa malu menjadi miskin.

Seperti kata pepatah , Kaya bermanfaat, miskin bermartabat.

Mungkin ia belum bisa menerapkan dua kata pertama. Namun ia sudah menunjukkan bagaimana mempraktekkan dua kata terakhir.

Terkadang kita baru bisa bersyukur setelah melihat penderitaan orang lain.
Pada saat itulah kita sadar bahwa kita termasuk orang yang beruntung





 




Custom Post Signature