Mana lebih penting jilbabi hati dulu apa jilbabi fisik?
Ini hanya cerita tentang awal mula aku memutuskan mengenakan jilbab. Just sharing aja.
Aku memutuskan membalutkan hijab menutupi auratku saat usiaku menginjak
usia tujuh belas tahun, kelas dua SMA. Masa-masa puber yang sangat
menggelora. Gelora hura-hura, senang-senang dan gelora khas remaja yang
menginjak usia ingin diakui sebagai insan yang beranjak dewasa.
Aku berjilbab tanpa dasar ilmu yang cukup. Aku hanya tahu jilbab itu
wajib,Titik. Aku tidak tahu etika berjilbab yang baik bagaimana, wanita
muslimah yang baik itu seperti apa,aku tidak tahu sama sekali. Bagiku
yang penting saat itu aku menutup auratku. Jadi walaupun berjilbab aku
tetap pacaran. Yah saat itu aku tidak mengerti hukum pacaran dalam
Islam. Aku hanya mengerti kalau pacaran dilarang karena dapat mengganggu
sekolah karena jadi tidak konsentrasi belajar, itu saja. Sama sekali
tidak tahu bahwa itu dilarang agama. Tidak tahu bahayanya dan tidak mau
tahu.
Dengan ilmu yang sangat minim itu aku pun nekad berjilbab. Jilbab
pertamaku hanya dua biji. Warna putih dan biru sesuai dengan warna
seragam sekolah. Alasan utamaku berjilbab salah satunya karena aku
merasa lebih cantik kalau mengenakan jilbab. Selain itu untuk menutupi
tubuhku yang terkesan kurus. Di samping itu karena di kelasku hanya ada
dua orang cewek muslim, aku ingin terlihat berbeda dengan jilbabku.
Kelakuanku setelah berjilbab dan sebelum berjilbab tidak ada bedanya.
Aku masih suka kumpul bareng cowok-cowok di kelas. Masih suka
teriak-teriak. Masih suka tertawa ngakak, dan belum bisa menjaga
pandangan.
Sampai suatu hari saat pelajaran agama Islam di kelas, seorang teman bertanya pada guruku,
"Bu,mana lebih baik,cewek yang berjilbab tapi akhlaknya tidak baik atau cewek tidak berjilbab tetapi akhlaknya baik"
Terus terang pertanyaan itu sangat menohok hatiku. Karena di dalam kelas
itu hanya aku yang berjilbab, sedangkan yang lain belum mengenakan jilbab. Pertama mendengarnya aku emosi. Aku merasa pertanyaan itu
ditujukan untukku. Yah karena teman cewekku yang lain memang lebih kalem dan lebih santun
dibanding aku.
Namun untunglah jawaban bu guru menenangkanku. Sejatinya seorang
perempuan itu wajib menutup auratnya terlepas dari bagaimanapun
akhlaknya. Seharusnya seorang wanita yang sudah berjilbab harus lebih
memperhatikan kelakuannya. Menjaga dan memperbaiki akhlaknya setiap
saat. Tidak boleh
menjadikan hal yang satu untuk menunda berjilbab, termasuk alasan
menjilbabi hati dahulu baru kemudian jilbabin fisik. Itu hanyalah
akal-akalan orang yang belum siap menutup auratnya saja. Entahlah
Sejak itu aku mulai mengurangi kebiasaanku berteriak-teriak di kelas.
Beberapa teman ada yang bilang bahwa aku berubah, jadi ga asik lagi.
Hihihi akhirnya aku mulai sedikit kalem walau belum bisa dibilang
santun.
Di samping itu berjilbab membuat penampilan menjadi praktis. Kalau dulu
aku setiap pagi heboh mengeringkan rambut agar penampilan ☀☺Ќξ²☀;) ..,
sekarang tidak perlu lagi. Cukup selembar kain segiempat yang menutup
kepalaku, hanya dikancing di bawah leher, hup aku sudah selesai
berpakaian, sesimpel itu. Siapa bilang pakai jilbab ribet ?.
Hanya saja setelah mengenakan jilbab, ada beberapa kegiatan yang tidak
bisa kuikuti lagi. Seperti ekstrakurikuler yang kupilih yaitu tari. Saat
itu sekolahku akan mengadakan pentas seni untuk merayakan hari
pendidikan nasional. Aku yang sedianya menjadi salah satu penari utama
di perayaan tersebut terpaksa rela melepaskan acara itu. Awalnya guru
tariku membujukku untuk melepas jilbab khusus untuk pentas tersebut.
Karena tari yang akan kami bawakan adalah tari sunda berpasangan. Dimana
kostumnya mengenakan kebaya yang terbuka di bagian bahu. Tentu saja aku
menolaknya, aku ingin tetap menari tapi dengan memakai jilbab. Guruku
tidak mengabulkan permintaanku. Akhirnya kuputuskan untuk mengundurkan
diri dari acara tersebut.
Sebenarnya aku sedih sekali, karena sudah latihan selama sebulan lebih untuk pentas akbar tersebut, tapi ya hidup adalah pilihan.
Memang setelah mengenakan jilbab, banyak kegiatan yang harus aku lepas
dan batasi. Seperti misalnya olahraga. Aku yang sangat suka berenang
terpaksa menahan diri untuk tidak sering-sering berenang. Kalau sudah
kebelet pengen berenang, aku harus memakai baju renang khusus muslimah
dan mencari waktu selang yang sepi. Seiring semakin banyaknya pelajar
yang berjilbab, maka sekolahku memberikan hari khusus untuk kegiatan
berenang para muslimah berjilbab. Alhamdulillah selalu ada kemudahan.
Kendala lain yang pernah kualami, saat hendak berfoto untuk kepentingan
ijazah kelulusan. Syarat pasfoto yang diminta adalah harus kelihatan
telinganya. Sampai sekarang aku tidak tahu apa korelasi antara telinga
dengan syah nya sebuah ijazah.
Pada hari yang ditentukan didatangkanlah seorang photografer ke sekolah
untuk mengambil foto para siswa dan siswi. Foto digelar di halaman
sekolah. Aku dan teman-teman berjilbab lainnya bersikeras tidak mau
difoto tanpa jilbab. Namun keinginan kami tidak dikabulkan. Pihak
sekolah hanya memberi dispensasi kepada kami, berupa izin untuk tidak
ikut sesi foto massal. Kami diberi ruangan khusus untuk berfoto. Tapi
tetap harus membuka jilbab. Apalah daya akhirnya foto yang terpampang di
ijazah SMA ku adalah foto tanpa jilbab. Miris
Dulu saat aku pertama kali berjilbab, begitu banyak kendala dan
tantangan yang harus dihadapi. Namun seiring waktu,jilbab semakin
diterima masyarakat kita. Bahkan sekarang sudah seperti trend. Dari
mulai desa sampai kota, menjamur wanita-wanita berjilbab. Mulai dari
pekerja kantoran sampai artis pun banyak yang sudah menyadari kewajiban
menutup aurat. Semoga ke depannya aku dan semua wanita tetap istiqomah
dengan pilihan jilbab ini. Bukan sekedar trend sesaat atau ikut-ikutan
belaka. Pun demikian dengan wanita-wanita yang memutuskan untuk
menjilbabi hatinya dahulu baru kemudian menjilbabi fisiknya, semoga
hatinya segera terjilbabi. Amin