Showing posts with label bbm. Show all posts
Showing posts with label bbm. Show all posts

Tentang Etika Bertelepon

Tuesday, February 12, 2013


Teknologi harusnya mempermudah hidup. Itu kan gunanya teknologi.

Akhir-akhir ini saya bete bin kesel sama yang namanya tekonolgi komunikasi. Katanya penggunaan telepon bisa mempermudah hidup, jadi efisien, jadi hemat waktu. jargonnya sih seperti itu. Tapi nyatanya terkadang punya telepon khususnya lagi telepon genggam membuat hidup makin ngga asik.

Contoh nyata, kalau dulu sebelum ada telepon, kalau mau janjian sama orang lain kita pasti akan detail membahas kapan ketemuannya, dimana tempatnya sampai nama restorannya, letaknya dan jam berapa. bahkan kadang kita memberi toleransi limit waktu untuk menunggu dan alternatif, jika seandainya dalam setengah jam saya tidak datang maka ......... Sampai sedetail itu. Tapi coba perhatikan sekarang, kalau janjian, palingan kita cukup bilang, " Ketemuan disono yah, ntar gampang lah, tinggal bbm atau sms".

Potong Saja Kukunya, Jangan Kaki Yang Diamputasi

Wednesday, April 18, 2012


Sebenarnya saya mau nulis ini dari beberapa minggu yang lalu, tapi tersebab beberapa hal yang membuat saya seolah-olah dikejar waktu, akhirnya baru sempet corat-coret sekarang. Makanya harap maklum kalau isu yang diangkat sudah begitu basi. Mudah-mudahan yang baca ga sakit perut hehehe.

Kira-kira dua minggu yang lalu saya berada dalam kondisi kesehatan yang sangat rendah. Malam hari sepulang dari Medan tubuh saya menggigil hebat. Malam itu saya demam tinggi. Tapi keesokan paginya saya paksakan diri untuk ke kantor, soalnya saya baru cuti selama seminggu. Dan sakit setelah cuti adalah suatu hal yang sangat diharamkan di kantor saya.

Setelah memeriksakan diri ke dokter, didiagnosa saya menderita infeksi saluran kemih atau dalam bahasa gaulnya ISPA ( Infeksi Saluran Pipis Akut). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri dan bakteri inilah yang menyebabkan saya demam yang diikuti rasa menggigil. Namun, lagi-lagi saya tidak mau istirahat di kos, karena pekerjaan yang menumpuk setelah cuti panjang tadi.

Tapi apa daya, dihari keempat saya ambruk juga. Demam saya tinggi sekali, kepala pusing, perut mulas dan pinggang saya sakit bukan main. Pagi-pagi buta saya keluar dari kos, menyetop taksi langsung menuju rumah sakit terdekat, sendiri.

Saya langsung menuju IGD ( instalasi Gawat Darurat), mendaftarkan diri saya yang diikuti dengan pertanyaan dokter jaganya.

“ Siapa yang sakit mba”
“ Saya dok”
“ Tadi kesini diantar siapa?”
“Sendirian”

Kemudian si dokter dan perawat saling memandang ( emang aneh ya ke dokter sendirian?)

Saya beritahu, biaya pendaftaran pasien di rumah sakit tersebut adalah Rp 120 ribu. Catatan : ini adalah rumah sakit umum dengan fasilitas ala kadarnya dan pelayanan yang memprihatinkan ( saya sempat dibentak sama perawatnya karena saya protes kok tangan saya yang diinfus sebelah kanan, saya minta yang kiri saja)

Kemudian setelah menanyakan keluhan saya, saya pun disuruh berbaring di tempat tidur yang tersedia. Periksa tensi, ambil darah, nampung urine, dibawa ke lab. Hasil lab keluar, positif saya memang terkena ISPA plus typus. Biaya lab Rp 176 ribu. Saya dianjurkan untuk opname. Saya pasrah saja. Toh di kos juga ga ada yang merawat saya.

Maka saya harus mendaftarkan diri lagi untuk rawat inap. Setelah melihat harga kamar, saya putuskan untuk menempati kamar kelas II. Biaya satu malam Rp 245 ribu. Sebelum dipindahkan ke kamar, saya diinfus dulu, plus diijeksikan antibiotik. Biaya tindakan gawat darurat Rp 138 ribu. Obat-obatan plus administrasi Rp 325 ribu. Total biaya yang saya keluarkan, bahkan saya belum diantar ke kamar adalah Rp 1.004.000. Heeeeh, sampai disini saya ingin menarik nafas panjang. Dompet saya langsung kosong.

Kamar kelas II diisi oleh tiga orang pasien. Di sebelah saya, terbaring seorang ibu yang ditunggui anak lelakinya. Entah berapa kali si ibu merengek untuk dibawa pulang oleh anaknya. Saya dengar dia berbisik pelan ke lajangnya.

“ Ibu sudah sehat kok, besok pulang aja ya, sayang uangnya”

Saya hanya bisa menghela nafas panjang (lagi).

Tak lama, masuk pasien baru. Gadis remaja, demam berdarah. Ia ditemani oleh ibunya. Mungkin karena bosan si ibu jalan-jalan ke tempat tidur saya. Berbincang ala kadarnya. Dari situ saya tahu ia seorang janda, pekerjaanya berdagang. Sampai detik ia berbincang dengan saya, ia sudah harus mengeluarkan uang Rp 3 juta untuk biaya berobat putrinya, karena ia diwajibkan si rumah sakit untuk membayar biaya kamar langsung sepuluh hari di depan. Itu belum termasuk obat-obatan dan pemeriksaan lab.

Siangnya teman kantor saya datang menjenguk. Melihat kondisi rumah sakit yang sepertinya bisa diramalkan saya akan bertambah sakit disitu, maka saya dipindahkan teman saya ( atas persetujuan kantor) ke rumah sakit yang jauh lebih baik . Syukurlah…

Rumah sakit yang baru berbeda 180 derajat dari RS pertama. Bagai surga dan neraka perbandingannya ( kaya pernah aja kesana  hihi ). Rumah sakit ini wangi, bersih, mewah, dan pelayanannya sangat memuaskan. Namun, “ ada rupa ada harga”, selama dua hari saya dirawat disitu, biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp 5.600.000. Untunglah saya tidak harus mengeluarkan biaya sepeser pun, karena saya dijamin oleh perusahaan.

Setelah pulang dari RS, hati saya teriris-iris, membayangkan dua pasien yang sekamar dengan saya kemarin. Bayangkan, saya saja yang punya penghasilan tetap dan belum mempunyai tanggungan merasa berat sekali harus mengeluarkan uang sebesar 1 juta lebih  di rumah sakit yang pertama. Itu adalah rumah sakit umum, tempat dimana masyarakat kelas menengah ke bawah berobat.

Alangkah mahalnya biaya kesehatan di negeri ini. Baru mendaftar sebagai pasien saja sudah harus mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah. Belum obat-obatannya. Pantas lah banyak orang sakit yang tidak mau berobat ke rumah sakit. Mati mengenaskan di deretan rumah-rumah kardus. Menikmati perih dalam diam.  Boro-boro menyisihkan dana kesehatan, kalau untuk meredam nyanyian di perut pun harus berfikir sampai rigit terkecil.

Makanya, orang miskin dilarang sakit.

Saat isu kenaikan BBM menguar, akal sehat saya berkata, kenaikan adalah hal yang tidak dapat dihindari. Secara logika, ketersediaan bahan bakar di alam semakin lama semakin menipis. Sudah merupakan prinsip ekonomi, semakin sedikit barang yang tersedia, dan semakin besar permintaan, maka harga akan semakin melangit. Supply yang berbanding terbalik dengan demand akan membuat pricing gonjang ganjing.

Kemarin-kemarin saya tidak terlalu pusing dengan wacana kenaikan BBM. Toh saya jalan kaki ini. Gaji saya juga masih cukup walau tidak berlebih untuk memenuhi kebutuhan saya sendiri. Namun setelah kejadian di rumah sakit tersebut, saya memilih membuang akal sehat saya.

Kalau saya saja merasa sesak nafas saat mengeluarkan uang untuk biaya kesehatan saya sendiri, bagaimana lagi dengan saudara-saudara kita yang tidak punya pekerjaan tetap. Yang pendapatannya dibawah UMR. Yang untuk makan besok saja harus dicari hari ini. Bagaimana dengan nasib tukang cuci di kos saya yang gajinya hanya sebesar tiga buah novel “ Serial Anak Emak”  karya Tere Liye.

Walaupun secara gamblang saya menyadari, bahwa subsidi BBM itu memang memberatkan keuangan negara. Saya juga baca berita, harga minyak mentah dunia semakin melambung. Saya juga tahu, di negara-negara lain BBM harganya jauh lebih mahal dari di negeri kita.

Tapi……

Saya ga peduli kalau gara-gara BBM ga jadi naik, APBN bakal jebol
Saya juga ga mau tahu kalau APBN jebol akan berbahaya bagi ekonomi bangsa
Saya ga mau ambil pusing jika dengan terancamnya ekonomi kita menyebabkan para investor kabur membawa uang mereka

Saya benar-benar ga mau tahu.,

Yang saya tahu, saya baru melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana berartinya lembaran-lembaran ribuan di dompet seorang janda yang anaknya terserang penyakit mematikan. Lembaran yang mungkin saat ini bisa ditukar dengan seliter beras, namun bisa dipastikan akan berkurang nilainya saat kebijakan sang penguasa itu terealisir.

Yang saya tahu, bukankah negara punya ahli-ahli ekonomi yang handal. Ahli-ahli berdebat di gedung parlemen. Menteri-menteri yang mumpuni di bidangnya. Saya setuju rakyat tidak boleh tergantung pada subsidi pemerintah. Saya juga setuju , negara perlu mengurangi biaya untuk melangsingkan APBN yang semakin hari semakin gemuk.  Tapi…….. bisa tidak yang dicabut jangan subsidi BBM. Cabut saja subsidi dari pos lain. Kurangi biaya yang membebani anggaran negara, kecuali BBM. Apa saja, asal bukan BBM.

Orang idiot juga tahu, kenaikan harga BBM punya efek domino terhadap harga barang-barang kebutuhan pokok yang lain. Bahkan jauh sebelum kenaikan benar-benar terjadi.

Biaya rapat yang beritanya sampai menghabiskan milyaran rupiah, SPJ pejabat negara yang bisa untuk makan ratusan pengemis di Jakarta bahkan mungkin ribuan. Kalau perlu hentikan dulu semua pembangunan infrastruktur yang tidak bersinggungan langsung dengan hajat hidup orang banyak terutama rakyat kecil. Ngapain pajak dialokasikan untuk pembangunan, kalau yang menikmati pembangunan tersebut orang yang digembar-gemborkan sebagai orang yang tidak layak disubsidi BBM. Apa gunanya menginjeksikan ke pikiran rakyat bahwa selama ini subsidi BBM turut dinikmati oleh orang yang tidak berhak kalau toh akhirnya mereka juga yang paling banyak menikmati pajak yang dikumpulkan dari tetes keringat dan darah rakyat yang katanya justru dibela tersebut. Omong kosong. Benar-benar basa-basi busuk.

Kalau bisa hanya memotong kuku kaki, Buat apa harus mengamputasi kakinya??

Saya sarankan sebaiknya , para manusia setengah dewa tersebut sekali-kali disuruh ikut tantangan hidup di belantara Jakarta dengan uang seminim mungkin di dompetnya, dan disuruh kerja seperti rakyat jelata. Biar tahu apa arti uang sepuluh ribu, yang mungkin selama ini hanya digunakan untuk beli sebotol air mineral di pesawat. Ups , saya lupa, mana pernah mereka naik pesawat kelas ekonomi yang harus tabah menunggu delay berjam-jam.

Atau boleh jadi mereka harus melewati On The Job Training dulu ke daerah-daerah yang jauh dari bling –bling metropolitan agar belajar kebersahajaan dan lebih terasah empatinya.

Mungkin saya sok tahu. Mungkin apa yang saya tulis ini pemikiran yang sangat sempit. Yang ga pakai akal sehat, ga logis. Whatever lah.

Walau demikian saya mengerti, beratnya beban menjadi pemimpin negeri ini. Seperti makan buah simalakama. Sebenarnya, saya tidak pernah tahu seperti apa buah simalakama itu. Tapi saya yakin rasanya tidak pahit. Sebab kalau pahit, toh buktinya masih mau terus-terusan memakannya. Buktinya lagi, masih banyak yang berebut untuk memakannya.

Custom Post Signature