Showing posts with label Marriage. Show all posts
Showing posts with label Marriage. Show all posts

Hidup ini [Harus] Memilih

Friday, June 21, 2013
Iya, dalam hidup ini kita pasti dihadapkan pada pilihan-pilihan. Dari mulai membuka mata di pagi hari, kita dihadapakna pada pilihan mau bangun atau meneruskan mimpi, mau sarapan dulu atau langsung capcus ke kantor. Di perjalanan ke kantor pun kita lagi-lagi harus memilih, mau masuk tol atau lewat jalan biasa. Naik taksi atau naik angkot. Dan pada akhirnya keputusan yang kita ambil akan berdampak pada langkah kita selanjutnya.

Tips Mencari Rumah Sesuai Keinginan dengan Harga Terjangkau

Tuesday, April 23, 2013
Tips Mencari Rumah Sesuai Keinginan dengan harga terjangkau

Pengalaman mencari rumah itu gampang-gampang susah. Gampang karena banyak banget rumah dijual di kota-kota besar. Susah, karena meskipun banyak agen properti yang menawarkan rumah dengan berbagai type dan harga, namun belum tentu sesuai dengan selera dan kantong kita.

Pengalaman saya dan suami saat mencari rumah pun seperti itu. Apalagi saat ingin membeli rumah, saya dan suami sedang tinggal terpisah. Saya di Jakarta dan suami di Medan. Sangat sulit mencari waktu yang tepat untuk hunting rumah bersama-sama. Saat saya bisa pulang, suami lagi banyak kerjaan, begitu pun sebaliknya. 

Akhirnya diambil jalan tengah, suami melihat-lihat dulu ke lokasi-lokasi perumahan yang memang menjadi incaran kami. Bagi saya, lokasi merupakan hal paling penting dalam memutuskan untuk membeli rumah. Prioritas kami adalah rumah dengan lokasi strategis, dekat dengan kantor dan tersedia fasilitas umum yang memadai. Setiap weekend suami akan mulai melihat satu-persatu perumahan yang ada. Kalau ada plang atau tulisan " Rumah Dijual" di depan sebuah rumah langsung deh cepet-cepet hubungi contact person yang ada. 

Tapi dengan cara seperti agak susah juga, soalnya ntar kalau suami udah suka, eh pas giliran saya pulang dan meninjau lokasi ternyata tidak sesuai dengan selera saya. Akhirnya kami memakai cara yang agak modern, dengan mencari di situs online. Lumayan juga, cara tersebut membuat lebih cepat pencarian rumah sesuai harapan. Jadi saya tinggal buka situs rumah online, trus suami juga, ntar kalau ada rumah yang saya taksir, saya kasih linknya, suami tinggal lihat. kalau cocok baru bersama-sama kami melihatnya.

Syukurlah akhirnya kami mendapatkan rumah yang sesuai dengan selera dan kondisi kantong. Bukan rumah mewah, hanya rumah sederhana yang bisa membuat kami nyaman tinggal di dalamnya.Semoga saja rumah ini benar-benar menjadi baiti jannah, rumah surgaku yang memberi ketenangan dan berkah untuk kami sekeluarga.




Nah bagi teman-teman yang lagi mencari rumah, saya punya tips nih supaya dapat rumah sesuai dengan keinginan tapi harga terjangkau:
  1. Cari rumah yang pemiliknya lagi butuh uang, ini untuk rumah second
  2. Kalau rumah baru, pastikan developernya lagi ngadain promo, karena banyak gimmiks dan potongan harga yang ditawarkan.
  3. Cari rumah saat ekonomi sedang lesu, sehingga harga  tidak meroket .
Dengan tiga cara tersebut, dapetnya pasti lebih murah. Selamat mencari rumah impian, semoga dapat juga seperti saya.





Happy Anniversary Ayank

Saturday, April 20, 2013

Yah tanggal 20 hampir berganti. Besok semua perempuan di seluruh Indonesia akan merayakan harinya persamaan Gender dinisbahkan. Yang kata orang itulah tonggak emansipasi wanita, Hari Kartini.

Bagiku April bukan sekedar bulannya kaum perempuan, tapi lebih dari itu, April selalu membawa kenangan indah bagiku, karena di satu hari di bulan April, kodratku sebagai perempuan disempurnakan oleh seorang pria, dialah pria yang menggenapkan separuh dienku, padanya surgaku berada.

Serba-Serbi Sekitar Rumahku

Sunday, April 14, 2013





Sebenarnya sudah satu tahun dua bulan saya menempati rumah ini. Namun selama ini saya cuma singgah saat weekend, karena sehari-hari saya kerja di luar kota. Jadilah sebenernya saya ngga terlalu familiar dengan lingkungan sekitar. Namun dua hari ini karena saya sudah pindah tugas ke Medan, akhirnya saya benar-benar bisa menempati rumah di sebuah komplek perumahan di daerah ringroad Medan ini. Wah senangnya, saya mulai bisa observasi lingkungan sekitar.

Ping Me

Thursday, March 21, 2013
Malam itu suami menjemput saya di stasiun kereta seperti biasa. Sambil mengobrol santai, suami melajukan mobil perlahan. Suami saya memang orang yang ngga suka mengendarai mobil ugal-ugalan. Bahkan selalu di kecepatan 40 km/jam. Kata dia, mengendarai mobil dengan santai itu lebih menyenangkan. Terkadang saya gemes juga, saat saya pengen buru-buru tetep saja beliau ngga mau ngebut, bahaya katanya.

Sampai di perempatan Setiabudi, kita masih asyik ngobrol, ngomongin ngapain aja dia seminggu ini selama saya tinggal, sampe ngomongin lomba-lomba nulis yang saya ikutin. Suami emang suka banget nanya-nanya saya ikut apa, tapi ngga pernah baca tulisan saya. Sukanya diceritain, jadi biasanya sepanjang jalan saya bakal cerita isi tulisan saya, bla bla bla.

Cinta Itu Kamu

Thursday, February 28, 2013




Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. 
Setelah kata Alhamdulillah, namamu adalah yang pertama kusebut. 
Seperti tetes embun di ujung rerumputan perasaanku pagi ini, segar dan sejuk. Matahari pun seolah-olah bersinar hanya untukku. 

Aku sedang jatuh cinta.

Sinamot ( Cerita Dari Sumut )

Thursday, January 10, 2013


Sinamot Saya Dulu



“ Berapa sinamot yang diberi calon suamimu win?, pasti besar lah ya, kan kerja di BUMN”

Pertanyaan tersebut beberapa tahun yang lalu berhamburan dari orang-orang sekitar saat saya akan melangsungkan pernikahan dengan suami. Ada yang bertanya terang-terangan, ada yang menduga-duga bahkan tak sedikit yang menyarankan ini itu.


“ Minimal 3 ikat lah win, kau kan sarjana”

Atau

“ Wah, ibunya windi panen nih, soalnya kau kan perempuan bekerja win, lain dong sama yang ngga kerja”

Merupakan hal yang lumrah, di daerah saya yang notabene masih masuk dalam wilayah Sumatera Utara mempertanyakan hal-hal di atas.

Sinamot dalam bahasa batak adalah sejumlah uang yang diberikan calon mempelai pria kepada ibu mempelai wanita sebagai balas jasa karena telah membesarkan dan mendidik si anak sehingga menjadi wanita yang siap diperistrinya.

Walapun jaman sudah modern, teknologi sudah canggih, namun kebiasaan yang dulunya hanya dilakukan oleh suku batak, akhirnya malah menjadi kebiasaan dan keharusan di daerah saya. Saya yang notabene tinggal di kota Medan, ibukotanya SUMUT pun masih mengikuti kebiasaan tersebut. Padahal ayah saya bersuku Jawa. Namun karena ibu saya berdarah Batak Mandailing, tak pelak, sinamot pun menjadi salah satu syarat dalam melangsungkan pernikahan.

Karena merupakan balas jasa pada sang ibu, maka sudah menjadi aturan tidak tertulis bahwa besarnya jumlah sinamot tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal. Diantaranya pendidikan dan pekerjaan si wanita. Jadi semakin tinggi pendidikannya, maka semakin besarlah sinamot yang harus diserahkan si pria. Sekilas terdengar seperti menjual anak, namun pada kenyataannya menurut saya, sinamot ini seperti bentuk pengakuan terhadap hasil didikan orangtua. Tak heran, jika yang dilamar adalah seorang dokter, si pria pasti harus menguras lebih banyak lagi koceknya. Nilai tambah lagi jika si wanita telah bekerja, karena dianggap nantinya ia akan turut mencari nafkah dan membantu si suami.

Makanya, teman-teman dulu banyak yang menduga-duga berapa kira-kira sinamot yang diberikan suami kepada saya. Karena selain pendidikan saya S1, saya juga bekerja di sebuah bank BUMN. Kalau dipikir-pikir sekarang rasanya lucu. Padahal saya kuliah dan bekerja dulu sama sekali tidak memikirkan hal tersebut.

Yang paling susah dari proses pemberian sinamot tersebut adalah menyampaikan kepada calon suami. Bagaimana tidak?. Kalau kebetulan si pria berasal dari Sumatera Utara juga pastilah ia sudah mengerti, namun lain ceritanya kalau berasal dari daerah dan suku yang memiliki budaya berbeda.

Untunglah walau suami saya berasal dari Jogja namun karena sebelumnya ia telah mencari tahu mengenai adat istiadat di daerah saya, masalah penyampaian tidak menemui kendala yang berarti. Bahkan ternyata suami sudah mempersiapkannya dengan matang. Setelah melamar saya secara pribadi di sebuah kafe, ia langsung terang-terangan menanyakan perihal sinamot atau biasa disebut uang hangus tersebut kepada saya.

Proses yang biasa terjadi, si pria akan menyampaikan ke wanita kesanggupannya dalam menyediakan uang hangus tersebut. Kemudian si wanita akan menyampaikan kepada ibunya. Kalau si ibu cocok, berarti dicapai kata sepakat, namun kalau belum pas, maka perundingan akan berlanjut. Menurut pengalaman saya, tidak jarang suatu pernikahan gagal berlangsung, jika tak kunjung dicapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Untunglah hal tersebut tidak terjadi pada keluarga saya. Tanpa banyak tanya, ibu langsung menyetujui saja jumlah yang disanggupi suami.

Alhamdulillah ya punya ortu yang bijak bestari.

Tak cukup sampai disitu, setelah kata sepakat diambil, prosesi menjelang pernikahan masih panjang.Calon mempelai pria harus datang dulu bersama keluarga dekatnya yang terdiri dari orangtua dan beberapa kerabat saja, namanya meresek. Disini acara masih setengah formil, hanya berupa perkenalan antara keluarga pria dan wanita. Saat inilah disampaikan maksud dan tujuan kedatangannya sekaligus dibicarakan jumlah sinamot yang secara tidak resmi telah disepakati sebelumnya.

Tahap selanjutnya, melamar secara resmi dengan didampingi orangtua dan kerabatnya, martuppol. Yang menarik di acara martuppol tersebut adalah adanya acara berbalas pantun yang sungguh sayang untuk dilewatkan. Mungkin karena dipengaruhi oleh adat melayu, makanya diselipkan pantun didalamnya.

Martupol atau lamaran sekaligus hantaran biasanya hanya berselang beberapa minggu setelah meresek. Di martupol ini, si pria akan membawa semua yang telah disepakati di acara meresek. Barang-barang yang biasanya disyaratkan adalah:

Tepak Sirih


Tepak sirih, sebuah kotak yang didalamnya berisi daun sirih, kapur sirih, dan berbagai macam bunga. Nantinya, si tepak ini sebagai pembuka acara lamaran. Pihak pria akan menyerahkannya kepada orang yang dituakan di pihak wanita. Tepak tersebut ditutup oleh sebuah kain ulos. Dengan diterimanya tepak ditandai dengan dimakannya sirih oleh orang yang dituakan tadi, maka kedatangan keluarga pria dianggap sudah diterima di keluarga calon mempelai wanita. 

Oya, konon dipercaya, kalau seorang gadis yang belum ada jodohnya memakan sirih yang ada di tepak, maka tak lama ia akan menemukan jodohnya. Maka, berlomba-lombalah para gadis memakannya. Siapa tahu cepat dapat jodoh.

Selain tepak sirih, barang-barang lain yang harus dibawa adalah seperangkat isi kamar, yang terdiri dari tempat tidur, lemari dan toilet. Ini dulu pas saya cerita ke temen di luar Sumatera pasti kaget, piye gitu hantaran isi kamar hahaha.


Kemudian perlengkapan calon mempelai wanita , sepasang kebaya, sepatu, tas, pakaian dalam, kosmetik. Peralatan sholat, mukena, sajadah, sarung. Juga peralatan mandi seperti sabun, shampoo, lotion, sikat gigi, macem-macem lah. Sebagai syarat juga dibawa beraneka macam minuman, seperti teh,kopi,gula. Wah kalau dibungkus dalam keranjang, hantarannya bisa mencapai sepuluh keranjang bahkan lebih.


Dalam acara hantaran ini, nantinya pembawa acara akan menyebutkan satu persatu barang yang dibawa si pria. Setiap satu barang disebut, maka dihantarkanlah keranjang yang berisi barang yang dimaksud ke tangan si ibu mempelai wanita. 

Sampai terakhir yang disebut adalah jumlah sinamot yang telah disepakati sebelumnya. Penyebutan jumlah tersebut di muka umum salah satunya menunjukkan rasa bangga si ibu atas nilai putrinya. Walaupun bukan berarti harga diri si anak setara dengan uang yang diberi, namun penyebutan angka tersebut merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu.

Biasanya para tetangga pun datang ke acara hantaran hanya untuk mengetahui berapa sinamot yang diberikan. Tak jarang jumlah tersebut menjadi gunjingan berhari-hari kalau menurut para tetangga tak sesuai. 

Cape dehhh

Namun ada juga orang yang tidak mau sinamotnya disebut secara terbuka. Seperti saat acara hantaran saya. Atas permintaan suami dan saya, jumlah sinamot tidak disebutkan. Untunglah ibu saya pun tidak menganggap hal tersebut suatu keharusan. Bukannya malu karena jumlahnya sedikit, tapi karena saya memang tidak ingin orang lain di luar keluarga mengetahuinya. Biarlah mereka menduga-duga saja. Biar makin penasaran wahahaha.Karena menurut saya pribadi, hal tersebut bukanlah sesuatu yang harus dibangga-banggakan atau malih dicaci caci.

Semua prosesi tadi yang paling memegang peranan adalah ibu si wanita. Setelah uang hangus diberi, dengan menggunakan kain/ulos si ibu akan menggendong dan membawa uang tersebut ke kamar, tempat dimana putrinya berada. Wah, acaranya akan menjadi haru, karena si ibu akan memutar-mutar kain berisi uang tersebut ke atas kepala anaknya dan mendoakan putrinya dengan doa semoga apa yang diberi si calon pria menjadi berkah bagi mereka.

Setelah rangkaian acara selesai, selanjutnya akan ditetapkan tanggal dan hari pernikahan. Berbeda dengan suku jawa yang biasanya melihat dari hari baik hari buruk berdasarkan weton si calon pengantin, penentuan tanggal di sumatera terkesan lebih simple. Tinggal ditentukan tanggal yang kiranya semua pihak tidak keberatan. Begitu saja. Setidaknya itu menurut pengalaman saya.

Tas,Sepatu dan Kosmetik


Sekilas kalau mengetahui adat di Sumatera Utara rasanya ribet sekali untuk melangsungkan pernikahan. Namun, ada sisi positifnya, bahwa pernikahan itu bukanlah suatu hal yang main-main. Perlu keseriusan untuk menjalaninya. Dan dengan keribetannya, saya merasa hal tersebut cukup melindungi pihak wanita dari keisengan para pria.

Sering saya mendengar celutukan teman yang bukan orang sumut berkata, “ Wah kalau nikah sama orang Medan itu ngajak bangkrut”.

Dipikir-pikir memang sepertinya iya. Belum-belum si pria sudah pusing tujuh keliling memikirkan dana yang harus dikeluarkannya. Namun jangan khawatir, banyak ibu yang kemudian akan mengembalikan uang hangusnya kepada pasangan pengantin tersebut lagi. Mungkin tidak seluruhnya, namun cukup membuat lega bagi pasangan pengantin baru.

Makanya ntar kalo jadi ortu jadilah ortu yang bijak ya. Dan syukurnya ibu saya termasjk ortu yang bijak tadi.

Setelah itu semua, prosesi pernikahan masih berlanjut.

Yang membedakan pengantin sumut dengan daerah lain salah satunya adalah pakaian. Banyak jenis pakaian adat Sumut. Dari pakaian batak Toba, Karo, hingga Mandailing. Karena ibu saya suku Mandailing, maka mau tak mau saya pun mengenakan baju adat Mandailing. Ya ampuun, hiasan kepalanya yang disebut bolang itu berat banget. Saya sampai migren saat memakainya. Namun entah kenapa, saya melihat, siapapun yang mengenakan baju adat Mandailing tersebut, aura kecantikannya begitu terpancar. Makanya saya tidak keberatan memakainya, karena disamping warnanya yang cerah yaitu merah, juga membuat saya tampil cantik eksotis.


Baju Adat Mandailing



Satu lagi, istimewanya pengantin Sumut dalam hal ini Mandailing. Alat musik yang digunakan saat acara berlangsung adalah gondang Sembilan. Terdiri dari Sembilan buah gendang dengan berbagai ukuran. Tidak tanggung-tanggung, acara adat ini bisa berlangsung tiga hari tiga malam. Bayangkan saja seperti apa lelahnya si pengantin. Tak heran di hari ketiga, biasanya pengatin memakai kaca mata hitam untuk menutupi lingkar hitam di matanya.

Gondang ini dimainkan dengan lagu pengiring yang sendu mendayu-dayu. Pasangan pengantin akan menari mengikuti iringan lagu. Kalau di Jawa ada acara sungkem, maka di adat mandailing, sungkemnya sambil menari ala tor-tor.

Prosesi Tarian Batak, Saat adik Saya Menikah


Namun lagi-lagi untunglah, saya tidak mengalaminya. Bukan karena tidak mau, namun karena keterbatasan waktu, apalagi keluarga suami yang berasal dari Jogja tidak bisa terlalu lama tinggal, maka acara pernikahan saya cukup ringkas tanpa mengurangi nilai adat istiadat di dalamnya.

Kalau mengingat-ingat kembali saat pernikahan berlangsung saya dan suami sering menertawakannya. Dimana saat salah satu kerabat ibu saya memberi nasehat dalam bahasa Mandailing, saya dan suami cuma pandang-pandangan sambil tersenyum, tak mengerti apa yang dikatakannya.

Awalnya keluarga suami sempat shock dan agak kaget dengan panjangnya prosesi dari mulai lamaran sampai pernikahan. Namun, mereka senang mengikutinya, karena melihat hal baru yang tidak ditemui di tanah Jawa.

Bagaimanapun ribet dan melelahkannya prosesi pernikahan yang saya alami, namun ada kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri di hati. Bahwa saya telah ikut melestarikan kekayaan budaya bangsa dan nenek moyang. Saya rasa tidak ada salahnya sebagai generasi penerus , kita mengabulkan dan menuruti keinginan orangtua di hari pernikahan . Merupakan bentuk bakti sebelum meninggalkan rumah yang telah membesarkan kita.

Sepulang dari bulan madu dan kembali masuk kantor, kembali teman-teman usil bertanya kepada saya, “ Jadi berapa win sinamotmu?”


“ Seharga satu buah mobil” jawab saya enteng.

(Jangan tanya mobilnya mobil apa ya wkwkwkw)

Foto: Koleksi Pribadi

Hip Hip Hurray Tujuh Belasan

Friday, September 14, 2012

Gara-gara usia saya dan abang saya hanya terpaut dua tahun, maka sejak kecil saya nempel terus kemana abang saya pergi. Dia main ketapel saya ikutan, dia manjat pohon rambe saya ga mau ketinggalan, dia berenang di sungai ya saya ngekor juga, bahkan nengkepin ikan gobi di parit pun saya selalu dengan setia ngintil di belakangnya.

Saat akhirnya abang saya harus mendaftar sekolah dasar, saya terpaksa ga bisa ikutan lagi, hiks sediih sekali waktu itu. Karena ga mau pisah dan selalu ngerecokin akhirnya setahun kemudian saya didaftarkan sekolah juga. Saat itu umur saya baru 5 tahun. Dengan badan mungil dan umur yang masih kecil praktis saya selalu menjadi anak bawang di kelas. Anak bawang itu, kalau diibaratkan kartu dia itu joker, bisa kemana aja, kebal terhadap segala hukuman, dan dianggap ga pernah bersalah. Masih inget , penggilan saya dulu tuh si unyil, ada juga yang manggil ikan teri, karena saya imut-imut banget. Waktu TK malah ada temen yang suka sekali kalau duduk sambil mangku saya, xixixi.

Awalnya sih asik-asik aja, kalau ada kerja bakti di sekolah pasti dikasi kerjaan yang ringan-ringan. Mulai bermasalah, saat hari kemerdekaan tiba, tujuh belas Agustus. Udah lazim kan kalau menjelang tujuh belasan pasti banyak banget diadakan berbagai macam lomba. Lomba makan kerupuk lah, junjung botol, guli dalam sendok, balap karung, lomba lari, wah banyak deh. Saya pun sibuk ikut mendaftar, ingin  berpartisipasi dan sangat berharap bakal menang. Padahal hadiahnya ya waktu itu palingan buku tulis sama pensil.

Lomba pun dibagi dalam beberapa kategori. Salah satunya sesuai umur, ada juga sesuai kelas, misalnya kategori umur 5-7 tahun atau kelas 1-3 SD. Nah , mau ikut kategori manapaun, saya selalu menjadi peserta yang terkecil. Bisa dipastikan, tak satupun lomba tujuh belasan yang saya menangkan. Pas lomba makan kerupuk, ukuran kerupuk dengan mulut ,gedean kerupuknya, saya ngunyahnya 32 kali baru ditelen, peserta yang lain udah habis. Ikut lomba balap karung, kesrimpet terus sama si karung. Lomba lari, kaki saya kalah lebar dibanding anak lain. Hadeeeh, frustasi banget rasanya. 




Sebenarnya saya jago lompat tali, tapi entah kenapa ga pernah dilombain pas agustusan. Akhirnya lama-lama saya menyadari dengan sendirinya, pokoknya segala perlombaan yang melibatkan fisik saya harus melipir jauh-jauh, cukup jadi penonton saja. Saya sering menghayal, gimana yah biar badan saya bisa tinggi trus kaki saya bisa panjang biar bisa menang macem-macem lomba, minimal makan kerupuk.

Bertahun-tahun kemudian, setelah puluhan agustusan saya lewati, akhirnya saya menemukan si belahan jiwa. Kami tinggal di perkebunan di daerah Kisaran, Sumatera Utara. Tradisi di perkebunan setiap tujuh belasan mengadakan lomba untuk semua kalangan. Mulai dari anak-anak sampai untuk orang dewasa. Paling seru, lomba untuk suami istri. Ada lomba jogged jeruk. Jadi jeruk diletakkan diantar kening suami dan istri, terus diputar lagu dangdut dan mereka harus jogged. Siapa yang bertahan sampai akhir tanpa menjatuhkan jeruk dia yang menang. Sekali lagi saya hanya jadi penonton, soalnya malu mau ikutan.




Tapi entah mengapa, saya ingiin sekali memenangkan salah satu hadiah yang disediakan panitia. Hadiahnya sih ga seberapa, ada uang, peralatan dapur, kaos, handuk, macem-macem gitu. Dan ada piala. Wow melihat piala, mata saya berbinar-binar. Dengan tekad membara, saya kuatkan hati untuk ikut lomba apa aja deh yang penting bisa menang.

“ Yak, kepada para suami yang ingin ikut lomba gendong istri silahkan mendaftar ke meja panitia”

Aih, pucuk dicinta ulam pun tiba, dengan setengah memaksa saya seret suami ke meja panitia. Dengan wajah memelas saya bujuk dia “ Ikut yah mas, pliiisss”. Entah ikhlas entah tidak, suami saya pun mendaftakan nama kami, yess.

Tak disangka ternyata pesertanya membludak, jadilah perlombaan dibagi dalam 6 sesi. Setelah diterangkan aturannya, dan ditunjuk garis finish, saya pun segera bertengger di punggung suami. Sebelum panitia meniup peluitnya, saya bisikkan ke telinga suami, “ Mas, adek belum pernah sekalipun menang tujuh belasan, plis mas usahain ya kita menang” ;).

Priiit…….

Begitu ditiup peluit, suami pun berlari secepatnya. Ternyata ada untungnya juga saya ga terlalu ndut, jadi masih masuk dalam kategori ringan untuk digendong. Sanking serunya, penonton berteriak-teriak menyemangati. Ada pasangan yang istrinya lebih gemuk dari suami, terang saja baru beberapa langkah udah jatuh. Ada lagi yang karena gak sabaran, belum mencapai garis di salah satu ujung langsung balik menuju garis start sekaligus garis finish, akibatnya didiskualifikasi. Pokoknya lucu-lucu deh. Saya pun teriak-teriak diatas punggung suami, menyemangati dia sekaligus berpegangan erat supaya ga sampai jatuh. Udah ga peduli lagi deh, urat malu rasanya udah putus, dan ga merhatiin peserta lain.

Begitu sampai di garis finish penonton pun bersorak, horeeee… Ahahaha siapa sangka, kami jadi peserta tercepat, cihuuuy. Akhirnyaaa, saya bisa juga menang lomba tujuh belasan. Tepatnya sih suami yang menang, lah saya Cuma nangkring doang. Ga peduli lah, yang penting saya menang, horee horee.



Kalau nginget-nginget kejadian itu lagi, pasti suami saya ngomel-ngomel. Katanya, “ Sebenernya ade tuh berat tauk, mas kasihan aja ade ga pernah menang lomba makan kerupuk “. Duuh, gemes banget deh kalau dia lagi misuh-misuh gitu.

Sekarang, kalau pas tujuh belasan lagi, rasa penasaran saya tuntas sudah. Yang penting udah pernah jadi juara tujuh belasan, Puaaas deh. Tujuh belasan kali itu menjadi tujuh belasan paling membahagiakan dalam hidup saya. Tapi kalau disuruh ikutan lagi, hmmm saya ga mau  soalnya sekarang udah berat, mana kuat lagi suami gendong saya sambil lari-lari J

Itu ceritaku, kalau kamu, apa nih kenanganmu di hari kemerdekaan. Atau punya kenangan saat lebaran ?. Ikutan Kontes Kenangan Bersama Sumiyati-Radit Cellular yuks. 




Ket ; Gambar dari Google


Custom Post Signature