Showing posts with label Fiksi. Show all posts
Showing posts with label Fiksi. Show all posts

Aku sakit, gara-gara kamu, Gigi !!!!!

Monday, March 12, 2012
Sambil menakar satu persatu bahan praktikum kimia organic, mata Gio tak lepas memperhatikan dua sosok manusia yang sedang tertawa-tawa  disana, berjarak dua meter dari meja kerjanya.

Reaksi asam sulfat pekat dan alkana yang mendesis-desis di dalam tabung reaksi seolah-olah menggambarkan suara –suara berisik di kepalanya. 

Dan oh oh lihatlah, dengan terpaksa kornea matanya harus menyaksikan adegan mesra Yudi mengelus-elus tangan Rianti yang sepertinya ketetesan NaOH cair. Beugh, norak umpatnya dalam hati. Jauh di sudut hati kecilnya berbisik, Ya Tuhan kenapa mereka harus sekelompok, kok bukan saya Tuhan, kenapa?? . Dalam hidupnya baru kali ini Gio menanyakan keputusan-keputusan yang diambil Tuhan.  Terutama yang berhubungan dengan makhluk manis satu itu.

Rianti adalah sahabat lamanya dulu di SMP. Mereka terpisah saat Gio melanjutkan SMA ke Surabaya mengikuti ayahnya yang pindah tugas kesana. Resiko anak tentara, hidupnya kaya kucing beranak, pindah-pindah terus. Gio masih ingat, Rianti yang imut dengan rambut yang dikuncir tengah , matanya merah saat Gio pamit di depan kelas. 

Hatinya bersorak riang, saat melihat sosok Rianti di hari pertama Ospek jurusan Teknik Kimia. Ssst, Gio memang sudah jatuh hati pada Rianti dari dulu sejak mereka masih mengenakan baju putih biru. Gio sudah membayangkan hari-hari yang akan dilaluinya selama kuliah. Ada Rianti dimana-mana. Alunan biola pun mengiringi lamunan indah Gio.

Namun tiba-tiba, tass senar biola tersebut putus, menghentikan nada merdu yang dihasilkan dawainya saat seorang Yudi datang mengusik. 

Yudi, teman sekos Gio,  typical cowok-cowok yang diigilai cewek. Organisator sejati, ada di setiap acara jurusan. Wajahnya tidak setampan Gio, namun ia mempunyai kemampuan membius orang dengan kata-katanya. Pesona bung Karno. 

Cowok ini mulai ada di tengah-tengah antara dia dan Rianti saat malam inagurasi berlangsung. Saat itu mahasiswa baru wajib mempersembahkan sebuah pertunjukan, salah satunya band. Gio, Yudi dan Rianti tergabung dalam band tersebut. Gio vokalis, sedangkan Yudi gitaris, Rianti backing vocal. Kebersamaan mereka bertiga terjalin di hari-hari latihan sepulang kuliah.

Naas bagi Gio, saat Hari H, ia menderita sakit gigi yang dibundling sepaket dengan gusi bengkak. Jangankan untuk menyanyi, berbicara saja sakitnya bukan main. Syukurlah ( kata siapa syukur?) selama latihan Yudi sering mengiringi gitar sambil ikut bernyanyi. 

Malam itu Yudi tampil sangat memukau, seorang gitaris yang juga gape menyanyi. Semua mata cewek di acara tersebut berbinar-binar mupeng mendengar dentingan gitar Yudi berkolaborasi dengan suara merdunya melantunkan lagu just the way you are nya Bruno Mars. Tak terkecuali Rianti. Entah sengaja atau tidak, setiap bait "just the way you are", Yudi selalu menatap ke arah Rianti sang backing Vocal.

Yah setelah itu silahkan lanjutkan sendiri ceritanya.

Hati Gio sakit banget. Tidak tahu harus menyalahkan siapa.Satu-satunya yang patut disalahkan adalah si biang kerok. Sambil bergumam, Gio mengumpat.
Aku sakit, gara-gara kamu, Gigi !!!!!


Segores Rindu Untukmu

Friday, March 2, 2012



 Like A Fool

babocheoreom wae mollanneuji
babocheoreom wae geudaereul bonaen geonji
babocheoreom deodige uneun gaseume
ije ijeya arayo

nae sarangeun ojik geudae ppunin geol
nae nuni geudael chajado
gaseumi jakku joyeodo
sarangeun anira mideotjyo
geunyang jom oerowo gidaetda mideotjyo

( OST Personal Taste )

Translate:
Like an idiot, why didn't I know?
Like an idiot, why did I let you go?
Like an idiot, my heart cries slowly
I know now
My love is only you

Even if my eyes look for you
Even if my heart pressures me
I didn't believe that it was love
I believed that I was lonely and had to lean on you

Do you know, that you are my love?
Do you know, that you fill my heart?
Like an idiot, I've just found out now
You, I call you

Because without you, I cannot live on

Indie…..

Hari ini aku begitu merindukanmu. Tadi di kantor aku sedang berselancar di dunia maya sambil mendengarkan soundtrack Personal Taste, , film favoritmu. Tiba-tiba bayanganmu melintas di kepalaku. Aku sangat tergoda untuk mengetikkan namamu di tuts komputerku. Perlahan jariku mengeja satu demi satu huruf merangkai namamu.

Dadaku bergemuruh. Entah apa yang kuharapkan akan kutemukan. Aku pun tak tahu. Sedetik dua detik, google masih menelusuri namamu di databasenya. Yah namamu sangat unik. Dulu kau sering sewot kalau ada orang yang salah mengeja namamu. Adhytsi Indieka Wari.  Aku sering tertawa kalau kau mengeluh soal ketidakmampuan orang menuliskan namamu dengan benar.

Tak lama si mesin pencari menayangkan beberapa nama dan…tak satupun yang merujuk ke dirimu. Hatiku mencelos, terselip rasa kecewa yang tak mampu kusembunyikan. Getirnya terasa tajam. Heeeehhhh, aku tercenung. Dimanakah kamu bersembunyi?

****

Satu pagi tiga tahun yang lalu, dengan hati berbunga kubaca namamu di inbox hapeku. Senyumku merekah sempurna. Tak sabar kubuka sms darimu.

“ Bayu, bulan depan , Sabtu tanggal 12 luangkan waktumu seharian ya. Aku akan menikah. Doain semoga semua lancar . Awas kalau kamu ga datang.”

Gemetar aku membaca kata demi kata yang kau kirim. Hari yang kutakutkan itu akhirnya datang juga.

Dari dulu aku selalu membayangkan hari ini akan tiba. Hari dimana aku harus melepasmu dari hatiku. Hari dimana aku harus menerima bahwa kau hanya akan menghiasi mimpi-mimpiku, tanpa pernah berwujud nyata.

Sejak  itu hingga detik ini tak sekalipun aku menemuimu. Aku terlalu pengecut untuk melihatmu tersenyum disamping seseorang yang akan menjadi tempat bersandarmu. Dan kau pun seperti hilang di telan bumi.
Nomor teleponmu tidak aktif lagi. FB mu mati suri.

Indi…

Hari dimana aku pertama melihatmu, adalah hari yang akan kuingat selamanya. Detik itu aku percaya, cinta pertama itu benar adanya. Bukan sekedar kisah penghias dalam roman picisan para pujangga.

Aku berdiri tepat di samping kirimu. Kau sedang berbicara dengan seseorang, aku tak ingat siapa dia. Itu adalah hari pertama aku menginjakkan kaki di SMA yang mempertemukanmu denganku. Setelah selesai berbicara dengan seseorang tersebut sambil tersenyum kamu berbalik dan mata kita bertemu.  Aku terbius. Sedetik kamu menatapku.

 “ Ehmmm, ruang Tata Usaha dimana ya ” tanyaku kikuk.

“ Ayo aku antar”

Tanpa menunggu jawabanku kamu segera berjalan mendahuluiku. 

Indi, saat itu aku yakin, kamu akan menjadi seseorang yang special di hatiku.

****

Dua tahun setelah itu, kata-kataku terbukti. Kamu memang benar-benar menjadi orang yang sangat special bagiku. Tapi aku…. Hmm aku tak tahu posisiku dihatimu.

Semakin hari aku semakin terjerumus di lubang yang aku gali sendiri. Aku mencintaimu di detik pertama kau sapa aku. Sudah ribuan detik kita habiskan bersama. Mendengarkan cerita-cerita dari bibir mungilmu, merupakan candu bagiku.
Hari itu dengan mata berbinar kau kisahkan tentang cinta pertamamu, Arga. Tentang puisi yang ia kirim untukmu, tentang lagu yang ia cipta untukmu.  Indi.. maukah kau mengintip sedikit saja isi hatiku.

Kau tertawa, aku tertawa.

Seperti pecundang aku menertawakan kebodohanku.

****



Malam itu, kukumpulkan semua keberanianku. Aku tidak bisa menahannya lagi.

“ Ada apa” tanyamu

Mungkin kamu bertanya-tanya melihat sikapku yang tidak biasa.

“ Ada yang ingin aku sampaikan” kataku gugup.

Betapa pun sudah tak terhitung waktu yang kuhabiskan denganmu. Namun aku belum juga terbiasa. Mencium aroma cologne bayi yang menguar setiap kau bergerak. Selalu debar di hati ini saling berlomba memperdengarkan detaknya yang terkeras .

“ Tunggu!!!! Katamu tiba-tiba

Aku terkejut, “ Apa?”

Kamu tersenyum-senyum lucu

“ Aku tahu apa yang mau kamu bilang”

“ Ehh…. Kamu tahu??” tanyaku deg deg an

“ Iya.. tentang Fia kan?, kamu tenang aja, Fia tuh udah kaya adikku sendiri, dan sepertinya dia juga suka sama kamu.” Sambil nyengir kamu merangkul bahuku.

Aku terkesiap. Bingung mau menjawab apa.

“ Fia itu baiiik banget anaknya, kalau kamu pacaran sama dia pasti seru banget”

Kamu terus berbicara tanpa mempedulikan raut wajahku.

“ Gimana??” tanyamu akhirnya

Ada sejuta kecewa menggantung di udara. Menciptakan ruang antara kau dan aku.

“ Iya , aku mau bilang itu, aku suka sama Fia, kamu ga keberatan kan kalau aku jadian sama dia?” tanyaku bodoh.
Duh, entah setan apa yang merasukiku sehingga mengucapkan kata-kata itu.

“ Bayu, kamu memang adikku yang paling baik” katamu sambil tertawa.

Adik….. jadi itulah posisiku dihatimu. Ada yang ngilu di dadaku. Seperti terhimpit batu. Ah bukan, lebih sakit dari itu.

Esok paginya, aku jadian dengan Fia, teman sekelasku yang juga adik kelas kesayanganmu.

Tak mengapa, asal selalu bisa menjadi orang terdekatmu, apapun tak ada yang berat bagiku. Ya, pacaran dengan Fia memberiku banyak alasan untuk selalu bersamamu. Curhat, itu yang selalu kulakukan.

Seperti pecundang aku berbagi kisah denganmu

****

Indi..
Tlah kuukir namamu di prasasti cintaku. Dan kukubur di ruang kosong hatiku.


Satu Pagi di Tugu Monas

Wednesday, January 25, 2012

“ Mak, besok pagi kita jalan-jalan ke Monas ya, kan minggu lalu ga jadi”  setengah merengek Ayuni, bocah berusia enam tahun itu menarik-narik sarung emaknya.

“ Iya, besok pagi-pagi kita kesana, sambil olah raga, tapi janji ya kamu ga minta jajan macem-macem”

Dengan kegembiraan khas anak kecil Ayuni mengangguk keras. Kuncir rambutnya bergoyang ke kanan ke kiri, seperti ekor kuda berkibas-kibas.

“ Sekarang kamu cuci piring dulu, habis itu tidur ya, biar besok seger” kata emak sambil menyetrika pakaian yang telah dicucinya hari ini.

Tanpa menunggu perintah kedua, Ayuni langsung mengumpulkan piring-piring kotor bekas makan malam tadi. Dengan penuh semangat dicucinya piring-piring tersebut.

****

Pagi yang cerah di bawah Monas yang menjulang. Anak-anak riang berlari kesana sini. Para remaja asik berjalan santai. Ada pula yang sibuk berfoto mengabadikan tugu emas tersebut.

“ Mak, Ayuni pengen naik delman”

“ Hussh, jangan macem-macem kamu, kan tadi malam udah janji ga minta ini itu, emak ga bawa duit” kata emak gusar.

Sudah seminggu ini, Ayuni selalu merengek minta ke Monas, belum lagi permintaanya barusan. Naik delman di Monas lumayan mahal untuk kantong buruh cuci seperti Mak Surti.

“ Kita jalan-jalan  aja yuk, nanti Ayuni emak belikan kerak telor” hibur emak

Perlahan bibir Ayuni yang tadinya megerucut, kini merekah lagi

“ Asssiik, ayo mak, tapi ntar kalo emak udah punya duit, Ayuni boleh ya mak naik delman”

Mak Surti hanya tersenyum tipis mendengar permintaan putri semata wayangnya itu .Dalam hati ia bertekad untuk bekerja lebih keras lagi. “ Hmm, sebaiknya aku mengambil juga cucian anak-anak kos di sekitar rumah untuk menambah penghasilan” gumamnya sambil lalu.


****

“ Ayo kita pulang Ayuni, nanti emak kesiangan nyuci” kata emak sambil menggandeng tangan kecil Ayuni.

Sambil mengunyah kerak telor yang dibelikan emak, Ayuni menelusuri trotoar bersama pejalan kaki lain. Mulutnya tak berhenti mengunyah, sesekali terdengar ocehan riangnya.

“ Mak, ntar kalo kita jadi naik delman, Ayuni mau duduk di depan, trus Ayuni mau nyanyi lagu naik delman, hihihihi, tuk tik tak tik tuk tik tak suara kaki kuda “  mulut mungilnya asik berceloteh tanpa menghiraukan riak di mata emaknya.

“ Iya nak, kamu boleh duduk dimana saja” lirih suara Mak Surti menjawabnya



Tiba-tiba seperti dalam adegan film action, sebuah mobil hitam meluncur cepat ke arah mereka. Mak Surti ingin berteriak, namun belum sempat pita suaranya menghasilkan nada, tubuhnya terlempar beberapa meter ke jalan menghantam kerasnya aspal yang masih dingin. Terekam  jelas di retinanya, tubuh mungil Ayuni terseret di bawah kolong mobil tersebut. Air mata beriak di sudut matanya seiring dengan hembusan nafas penghantar keabadian.

Sayup-sayup lirih terdengar bait lagu

“ Pada hari minggu kuturut ayah ke kota
Naik delman istimewa kududuk di muka
Kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendarai kuda supaya baik jalannya
Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk
Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk
Suara kaki kuda”


Aku Benci kamu Hari Ini

Thursday, January 19, 2012

Tak berkedip mataku memandang tubuh yang terbujur di hadapanku. Sudah semalaman aku mengawasi, menjaganya tanpa kenal lelah.

Fuad nama pemuda itu, sejak kemarin air raksa yang berada dalam thermometer pengukur suhu tubuhnya, belum menunjukkan tanda-tanda akan beringsut turun. Dengan sabar kubelai tubuhnya , kuhalau makhluk-makhluk kecil yang berterbangan dengan suara mendesing agar tak terusik lelap tidurnya. Dengan lirih kusenandungkan lagu-lagu yang akan semakin menina bobokan siapapun yang mendengar.

Tik tok tik tok, bunyi jam dinding di kamar Fuad, jarum mulai bergeser sedikit demi sedikit dari satu titik ke titik berikutnya. Beberapa menit lagi hampir mendekati sepertiga malam.

Fuad mulai gelisah dalam tidurnya, posisi tubuhnya sudah bergeser kesana kemari. Sebentar ke kanan, sebentar ke kiri.

Aku pun gelisah melihatnya , tugasku adalah untuk menjaga tidurnya, perlahan kutiupkan angin lembut agar ia tenang kembali. Syukurlah sepertinya ia berangsur tenggelam lagi ke dalam mimpi indah yang menyelimutinya.

Kuelus  ubun-ubunnya dengan hati-hati, konon katanya hal itu akan memberi efek menenangkan. Matanya yang tadi berkedut-kedut mulai diam, dengkur halus terdengar dari sela-sela nafasnya. Ah betapa damai melihat ia terlena seperti ini.

Jarum jam masih berdetak, bergeser ke menit berikutnya.

Kulihat Fuad mulai bergerak-gerak kembali. Tangannya bergeser ke arah perut, raut wajahnya seperti sedang menahan sesuatu, mungkin ia ingin buang air kecil pikirku. Tapi , kalau ia bangun, tidurnya pasti akan terganggu. Kubisikkan kata-kata lirih di telinganya, menyuruhnya menahan sebentar sampai pagi hari. Kubelai rambut hitamnya, berusaha menidurkannya kembali.

Tirititit tididtitit tididitit…… Tiba tiba terdengar suara alarm dari sebuah benda si atas meja. Dengan terburu-buru aku berusaha menghentikan suara-suara itu. Tapi, ah aku tak mengerti bagaimana caranya, aku belum familiar dengan benda yang namanya henpon ini, yang kutahu biasanya jam weker, kalau alarm HP aku belum menguasai seluk beluk fitur-fitur di dalamnya.

Dengan pasrah, kulihat Fuad mulai mengerjap-ngerjapkan matanya. Menggeliat ke kanan dan ke kiri. Menguap sebentar,” Hooooam, Astaghfirullah hampir terlewat” gumamnya. Terlepaslah tali halus yang tadi kulingkarkan di kepalanya. Dengan susah payah ia berjalan ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan wudhu, lalu kulihat ia membentangkan sajadah. Tubuhnya sangat lemah, aku berusaha membujuknya agar tidak memaksakan diri, tampaknya ia tak mau mendengarkanku. Ah sakit hati ini. Dengan sekuat tenaga didirikannya rakaat demi rakaat sholat lail.

Ughhh dasar keras kepala, pikirku. Dengan galak kupandangi HP yang punya andil membangunkannya. Dengan penuh dendam aku menatapnya. “ Aku benci kamu hari ini” kataku . Ah percuma saja, ia hanya benda mati.

Bukan dia yang harus kubenci, Kualihkan pandanganku ke Fuad, dengan muak aku menatapnya “ Aku benci kamu hari ini, Fuad” ,

Dengan geram akhirnya kutinggalkan kamar itu. Besok aku akan datang lagi.


*****

Disini….., semua sudah berkumpul, melaporkan tugasnya masing-masing. Aku tertunduk malu , dengan takut-takut kutatap wajah di hadapanku , “ Maaf, saya gagal, imannya terlalu kuat” laporku pada si raja iblis.








Ada Dia Dimatamu

Tuesday, January 17, 2012
Untuk kesekian kalinya, aku dan kamu mendatangi tempat ini. Warung kopi Aceh di antara ruko-ruko pasar Petisah kota Medan. Katamu, ini satu-satunya tempat yang tidak akan mungkin didatanginya. Pertama, karena daerah ini tidak termasuk dalam list tujuan belanjanya. Kedua, karena interior warung ini yang sangat jauh dari seleranya, dan ketiga karena ia tidak suka kopi.

Ah alasan, pikirku, bilang saja karena semua yang disajikan disini murah, titik. Tak perlulah kau berbasa basi begitu. Aku mengenalmu, bahkan lebih mengenalmu dibanding dia yang katanya sangat mencintaimu. Sifat hematmu yang hampir mendekati pelit kepadaku, sebenarnya sudah mencerminkan posisiku di hatimu. Tapi aku tidak peduli. Bisa menghabiskan waktu berdua denganmu di sela-sela rutinitas pekerjaan kita pun sudah merupakan kesenangan yang langka.

“ Maafkan aku Tyra” katamu

Kata itu berulangkali kau ucapkan padaku. Aku tidak butuh itu. Seharusnya aku yang mengatakannya. Bersaing dengannya secara terang-terangan sama saja bunuh diri. Dia yang parasnya seperti Dian Sastro KW 1 manalah mungkin bisa dibandingkan dengan diriku yang bahkan untuk melamar menjadi SPG pun susah. Belum lagi bodynya yang setara dengan Titi Kamal, ah lengkaplah sudah kekuranganku. Hidupmu seharusnya sudah sempurna bersamanya, kalau saja aku tidak sekonyong-konyong hadir diantaranya. Jadi, akulah yang seharusnya meminta maaf, karena membuatmu dalam posisi ini.

“ Aku capek menghadapinya, Ty, gaya hidupnya membuatku hampir kehabisan nafas” keluhmu

Seperti yang sudah-sudah, kau pasti akan mengeluarkan uneg-unegmu di tempat ini. Tentang kelakuannya yang tidak menghargaimu, tentang hobinya yang menguras isi dompetmu, sampai tentang sikapnya yang mulai memata-matai gerak-gerikmu.

“ Bersamamu, aku tenang Tyra “ lanjutmu

Ah persetan. AKu sudah muak dengan kata-katamu barusan. Kalau memang seperti itu, kenapa tidak kau tinggalkan saja dia, dan memilihku. Bukankah itu yang kau inginkan, monolog dalam batinku.

“ Tapi aku masih begitu mencintainya Ty, dia memang keras kepala, tapi terkadang dia begitu manja padaku. Aku suka senyumnya, aku suka gesture tubuhnya, bahkan aku suka cara dia memonyongkan bibirnya saat marah padaku. Dia cinta pertamaku “

Serrrr, seperti sembilu kata-katamu. Sejenak kau lambungkan aku, beberapa detik kemudian aku terhempas lagi. Dasar lelaki. 

Baiklah ini terakhir kalinya aku menemuimu, aku tidak mau menjadi pesakitan seperti ini setiap harinya. Aku lebih berharga dari itu. Tekadku sudah bulat untuk mengatakannya padamu. 

Kau genggam tanganku. Aku menikmatinya, untuk terakhir kali pikirku. Kita saling menatap dalam diam. Tiba-tiba kulihat bayangan seseorang disana. Ada dia di matamu.

Ya, ADA DIA DIMATAMU.

Cepat kubalikkan tubuhku. Darahku berdesir. Disana berdiri seorang perempuan dengan segunung kemarahan. 

Aristy, istrimu sekaligus kakak kandungku.

Mati kamu, celakalah aku….


Aku Maunya Kamu, TITIK

Sunday, January 15, 2012
-->

"Maaf bapak, saya sedang melayani nasabah lain, bapak silahkan ke counter di sebelah yang kosong....."

Pria itu tidak menjawab perkataanku. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, kulihat ia kembali ke kursi antrian

“ Nomor antrian 567, silahkan ke counter nomor 3”

Terdengar suara lembut nan merdu dari speaker yang mengumumkan nomor antrian. Tidak ada satupun nasabah yang maju. Counter nomor tiga saat ini digawangi oleh Rinda temanku.

Tiba-tiba kulihat pria tersebut maju dan langsung mendatangi counter no 2, tempatku berdiri sekarang. Seorang ibu sedang menunggu lembaran uang yang sedang kuhitung di mesin uang.

“ Ibu, ini uangnya sebanyak lima juta rupiah, silahkan dihitung ulang”, kataku sambil tersenyum ramah mengikuti aturan standar layanan yang telah ditetapkan perusahaan

Saya mau menabung” pria itu memotong pelayanan yang sedang kulakukan.

“Maaf bapak, saya sedang melayani nasabah lain, bapak silahkan ke counter di sebelah yang kosong.....

Aku maunya dilayani sama kamu saja” katanya keras kepala

“ baik bapak, silahkan mengantri dahulu, nanti nomor antrian bapak akan dipanggil “ jawabku sopan sambil tetap tersenyum manis

Aku ga mau dilayani sama yang lain. Aku maunya kamu, titik!! Ia mengotot

“ baik bapak, mohon menunggu sebentar, saya selesaikan dahulu transaksi ibu ini ya pak”

Adegan seperti diatas bukan baru hari ini saja kualami.Sudah beberapa hari ini ia tak pernah absen mendatangi bank tempatku bekerja. Apa yang dilakukannya seperti kebanyakan nasabah lain. Mengambil nomor antrian, mengisi slip pengambilan, mengantri sambil menunggu namanya dipanggil. Tapi ia tidak pernah mau dilayani oleh teller lain. Harus aku. Aku tidak tahu apa alasannya. Sebagai pegawai bank, aku tidak keberatan bahkan merasa senang berarti ada nasabah yang merasa nyaman dengan pelayananku, namun terkadang agak mengganggu karena pria itu sering memaksa harus aku yang melayani transaksi yang akan dilakukannya, padahal aku sedang melayani nasabah lain, dan counter di sebelahku dalam keadaaan kosong.

Aneh......

****

Rumah mewah tersebut terlihat kosong dan lengang. Aroma sepi membalut penghuni di dalamnya.Sudah lima tahun ini ia hanya seorang diri di tempat ini. Istri terkasih telah lebih dulu menemui penciptanya. Ia merasa hidupnya sudah tak ada arti lagi, sampai sebuah amplop coklat diterimanya beberapa hari lalu. 
 
Pria berumur hampir setengah abad itu termenung sambil memandangi foto seorang di dalamnya. Sambil menghela nafas, kembali di bacanya surat yang  diterimanya beserta foto tersebut.

Mas Bayu, mungkin umurku tak akan lama lagi. Kata dokter , Leukimia yang kuderita sudah tidak bisa disembuhkan. Ini foto anak kita. Maaf aku baru memberitahumu sekarang. Aku baru mengetahui kehadirannya beberapa hari setelah pernikahanku dengan Bima. Aku tidak ingin mati dengan membawa rahasia ini. Temuilah ia mas”

Dilipatnya kembali surat tersebut . Seperti yang sudah-sudah disimpannya ke dalam laci meja kerja. Kemudian ia mulai memisah-misah beberapa lembar uang seratus ribuan ke dalam beberapa amplop. Hanya itu yang bisa dilakukannya saat ini, menabung beberapa ratus ribu rupiah setiap hari, dan berbicara sepatah dua kata kepada putra yang baru diketahuinya. Itu saja cukup, pikirnya sambil tersenyum.

Arya Bimantara, nama yang tertulis di balik foto tersebut, teller bank Duta Niaga.



Dag Dig Dug

Friday, January 13, 2012


“Aku telat” 

Uhuk…., jus jeruk yang hampir singgah ke tenggorokanku, langsung berhamburan mengotori jas lab yang kupakai.

“Bagaimana ini ,papa pasti akan membunuhku“, ia mulai terisak

Aku terdiam. Tak bisa berkata apapun. Otakku pun blank sesaat.

Tidak mungkin. Aku, Wisnu Ardhana, calon dokter spesialis kandungan, tak mungkin salah perhitungan. Tak pernah kulanggar masa suburnya, bahkan aku hapal benar kapan tamu bulanan menyambanginya.

Kupandangi wajah pacarku yang bersimbah air mata. 

Dialah Arini. Mahasiswi kedokteran tingkat 3. Siapapun akan sependapat denganku, bahwa dewi Aprodhite telah bersemayam di raganya. Memandangnya seperti melihat karya seni tiada bercela. Matanya, bibirnya,senyumnya, bahkan mimiknya saat mengernyit mencium aroma mayat pun sungguh mempesona.

Beberapa bulan lalu ia adalah obsesiku, hmm koreksi. Ia adalah obsesi kami, para mahasiswa kedokteran di universitas ini. Perempuan dengan kecantikan dan kepintarannya, mampu membuat kami bertaruh harga diri demi mendapatkannya.

“ Siapa yang bisa memacarinya, dapat akomodasi dan transportasi liburan ke Hongkong selama seminggu gratis, dan siapa yang kalah harus rela memberi nafas buatan ke tubuh-tubuh kaku di ruang mayat, yaiks"

Taruhan yang sangat menggiurkan. Disamping hadiahnya juga sosok yang dipertaruhkan.

Jangan sebut namaku Wisnu Ardhana kalau tak mampu mendapatkannya. Wajah tampan, bodi atletis, otak encer serta mobil keluaran terbaru yang selalui menyertaiku adalah modal telak tak terbantahkan untuk memenangkan perempuan manapun.

Awalnya aku pikir, akan ada adegan seperti di film-film Korea yang sering ditonton adikku. Si perempuan dengan kasar akan menolak si pria, menghindarinya, meneriakinya bagai musuh bebuyutan sampai adegan akhir dimana si perempuan akan klepek-klepek tertancap panah asmara. Benci-benci tapi rindu.

Tapi itu tidak terjadi. Dengan sedikit saja kukerahkan pesona Casannova-ku, menjemputnya setiap hari, membawakan diktat-diktat kuliahnya, membantunya mengorek-ngorek mayat di lab anatomi sampai memberinya kejutan candle light dinner romantis di restoran super mewah . Sekali tepuk, plak…. Arini jatuh ke pelukanku. 

Aku Wisnu Ardhana, perempuan mana yang bisa menolak pesonaku. 

Ah, sebenarnya aku sedikit kecewa. Pertaruhan yang aku kira akan berjalan sengit. Ternyata tak menemukan hambatan apapun. Tiket ke Hongkong dan Arini, keduanya ada di tanganku.

Terkadang aku tak habis pikir, bagaimana seorang perempuan berpendidikan tinggi seperti Arini, bisa termakan rayuan murahan pria-pria seperti aku. Tidakkah mereka bisa pergunakan sedikit saja logikanya untuk mengendus nafsu binatang dibalik tatapan lembut dan belaian sayang yang kami tunjukkan.

Ah, Arini………. Ternyata kau tidak semengagumkan bayanganku. Kalau sudah begini, apa lagi yang membuatku harus mempertahankanmu?

*****

“ coba pakai ini, siapa tahu kamu telat karena stress menghadapi ujian” kataku sambil menyerahkan sekotak test pack padanya.

Sambil menyeka air matanya Arini menerima kotak yang kusodorkan.

Sudah hampir dua menit, Arini tidak keluar juga dari toilet itu.

Sejujurnya hatiku dag dig dug menunggu hasilnya. Bagaimanapun juga, aku belum siap menjadi seorang ayah.

Aborsi??? 
sebejat-bejatnya seorang Wisnu, aku tidak akan menjadi seorang pembunuh. 

Tapi mengingat Arini adalah putri tunggal Prabuwijaya, mafia kelas kakap di kota ini, tak urung nyaliku pun ciut membayangkan apa yang mungkin kuhadapi kalau sampai aku tak mau bertanggung jawab terhadap putrinya. 
Huft nasib…. Nasib, Arini sial, Arini bodoh.. umpatku dalam hati.

Wisnu….. sekonyong-konyong Arini sudah berdiri di hadapanku.

Dag dig dug…. Jantungku semakin berdegup kencang menunggu apa yang akan dikatakannya.




POSITIF

MAMPUS AKU…….







Halo, Siapa Namamu ?

Thursday, January 12, 2012


“Kapan nih undangannya”

Selalu pertanyaan yang sama. Di setiap pertemuan keluarga, undangan pernikahan, bahkan bertemu dengan teman yang sudah lama menghilang pun, tetap pertanyaan satu itu yang keluar mendahului pertanyaan mengenai kabarku. Sepertinya pertanyaan iru wajib sebagai pembuka obrolan, lalu disusul dengan tatapan prihatin saat dengan tergagap aku berlalu . Seolah-olah dunia akan lebih cepat kiamat kalau aku belum melangsungkan sebuah resepsi pernikahan.

Aku mulai jengah.  Bahkan di kota sebesar ini, masih saja ada segelintir orang yang memasang parameter hidupnya ke hidup orang lain. Apakah mereka pikir dengan pertanyaan itu, tiba-tiba akan hadir seorang pangeran tampan di hadapanku. Pasti bagi mereka, kebahagiaan hanya akan didapat jika  sudah menemukan pasangannya. Betapa relatifnya arti kebahagiaan.

“ Apalagi sih yang kamu tunggu Rin, karirmu sudah mapan, umur juga sudah cukup, ibu ingin segera menimang cucu nak” berkabut mata ibu saat mengucapkannya.
Ah ibu, ada yang berdenyut di dada ini saat mendengarnya. Bukannya aku tidak ingin membahagiakanmu. Aku pun ingin segera melabuhkan hatiku. Aku juga ingin bersandar pada seseorang saat aku terlalu letih dengan hiruk pikuk dunia ini. Tapi aku terlalu malu untuk mengatakannya.

*****
Karina Suwandi, Associate Vice President Bank Comercial Asia di Jakarta. Tak ada yang kurang pada dirinya. Sebutir lesung pipi menghiasi wajah orientalnya. Jilbab yang melindungi rambut hitamnya terlihat kontras dengan mata biji almond yang mengukuhkan darah Chinese yang mengalir di urat nadinya. Sudah beberapa kali ia menjalani taaruf, namun saat melihat fotonya, para ikhwan akan mundur teratur. China. Ah tak disangka atribut itu yang selalu menciptakan aral di hadapannya.

 “Perempuan itu tidak perlu terlalu sukses, laki-laki malah takut mau deketin., minder” 

Kutulikan telingaku terhadap ocehan-ocehan nyinyir yang keluar dari mulut-mulut berbisa di kantorku. Biarlah mereka mau bicara apa. mungkin aku sosok yang begitu penting, sampai dengan sukarela mereka memikirkan ke single anku di usia yang memang sudah tidak muda lagi.

******

Halo, siapa namamu?

Kembali kusapa dirimu dalam anganku

Duhai calon imamku
Telah kubentangkan sajadah cinta di atas sujudku
Telah kukosongkan ruang di dalam hatiku
Memberi tempat bagimu yang datang karena-Nya

Duhai pemilik tulang rusukku
Telah kurajut rindu detik demi detik di tiap tarikan nafasku
Telah kujaga harumku hanya untuk kupersembahkan padamu

Aku tahu, disana kau pasti sedang berjuang
Menyiapkan bekal untuk keluarga kecil kita kelak
Tak ada batasan waktu untukmu
Namun sudahlah, jangan terlalu keras pada dirimu
Aku tak butuh semua itu
Cukuplah niat sucimu
Yang akan menyempurnakan separuh dienku

Duhai kekasihku
Halalkan aku dengan akadmu
Jemput aku ke peraduanmu
Sudahi perjalananmu

Datanglah, aku telah siap menjadi makmummu

****

Di sudut kamar di ujung kota, seorang lelaki tengah bermunajat kepada ilahi, dua rakaat istikharah tengah ditunaikannya.

Ya Allah, jika memang ia baik untukku, mudahkanlah jalan ini dan berilah keberkahan

Dilipatnya sajadah tempatnya mencurahkan segala gundah. Kembali dicermatinya biodata seorang akhwat di tangannya. Dia kah orangnya ?  terselip rasa takut di hatinya. Akankah pemilik biodata ini menerimanya ?

Ia hanyalah seorang PNS golongan rendah, ditambah lagi usia yang terpaut tiga tahun lebih muda. Namun ada getar halus dan keyakinan di dadanya, saat mengeja nama yang tertera disana

Karina Suwandi





Custom Post Signature