#GesiWindiTalk: Alasan Saya Memahami Ketakutan Kaum Minoritas Terhadap Peristiwa 411

Thursday, November 10, 2016


Beberapa hari belakangan timeline saya rame membahas soal aksi damai 411.

Jadi #GesiWIndiTalk kali ini kami mau bahas itu aja.

Ngga sih kami ngga bahas soal aksinya, karena udah berlalu juga. Tapi disini kami mau bahas beberapa status dan komen yang isinya seolah-olah menyepelekan ketakutan warga minoritas atas aksi tersebut, dianggap lebay.

Utamanya Gesi nih, karena dia kan warga keturunan dan minoritas pulak, paket combo.

Baca apa yang dirasakan Gesi sebagai warga minoritas disini :


Saat Gesi mengungkapkan perasaanya, saya bisa mengerti banget kenapa dia sedih. Ya gimana ngga sedih soalnya ada spanduk yang berisikan kalimat Ganyang Cina segala. Kan bikin takut.

Disini saya pengen kasih pandangan saya kenapa sampai ada yang berpendapat bahwa ketakutan itu lebay. But, ini murni pendapat pribadi, jadi bisa saja saya salah. Dan tidak mewakili suara siapapun.

Menurut ini hanya salah sudut pandang saja sih. Dimana masing-masing kita pihak mayoritas dan minoritas memandang dari sudut yang sungguh-sungguh tidak sama, dan tidak ada yang mau sedikit bergeser untuk melihat cara pandang pihak lain.

Begini, mungkin ngga banyak yang sadar bahwa di negeri ini banyak sekali orang yang dari lahir sampai berkeluarga lingkup hidupnya sangat steril. Pengertian steril disini adalah selalu berada di lingkungan yang berisi kelompoknya saja.

Perhatikan deh di sekitar kita, orang muslim ya ngumpulnya pasti sesama muslim saja. Mulai dari memilih sekolah anak, membeli rumah, sampai mengikuti kegiatan apapun. Biasanya orang lebih nyaman kalau berada bersama-sama yang satu golongan.

Sama juga, kelompok minoritas juga gitu. Di dekat rumah saya dulu ada kampung yang namanya kampung batak, yang isinya ya orang-orang suku Batak dan beragama Kristen. Demikian juga, di Medan itu ada namanya kampung Keling, yang isinya umat Hindu semua,trus banyaaaak sekali perumahan-perumahan yang penghuninya seragam, Islam semua, atau Cina semua.

See kita memang punya kecenderungan seperti itu.

Makanya, saat SD kita dicekoki dengan pelajaran PPKN , rata-rata merasa pelajaran itu seperti tidak ada gunanya. Makanya saya pribadi dulu menganggap ngapain sih ada pelajaran PPKN, ngga dipelajari juga udah ngertilah.

Ya elaaa, tenggang rasa... gampanglah itu, 
Bhineka tunggal ika? no problema. 
Memahami perbedaan? apa sulitnya sih.

Gimana ngga gampang? saya lahir di Indonesia dari keluarga Islam, suku Jawa pulak, Mayoritas Abeees. Ditambah lagi yaitu kenyataan bahwa kehidupan kita semua itu cenderung homogen.

Saya contohnya.

Dari kecil lingkungan saya itu homogen. Saya sekolah di SD yang hampir 100 persen siswanya beragama Islam. Saya tinggal di komplek perumahan yang lagi-lagi hampir seluruh penghuninya Islam, Jawa pula. Hey kalau kalian pikir di Sumut mayoritas penduduknya suku Batak, kalian salah banget. Jawa is mayoritas. 

Di komplek perumahan saya dulu seinget saya, hanya ada 1 keluarga non muslim, dan karena kami ngga satu sekolah, jadi ya saya jarang bermain dengan mereka.

Saat SMP, sekelas saya muslim full.

Maka ngga heranlah, mana pernah tuh dulu ada gesekan-gesekan soal menghargai saat puasa. Lha gimana, wong sekelas puasa semua. Di lingkungan rumah juga semua puasa, jadi ngga heran dulu tuh aman tentram sekali.

Masing-masing kelompok merasa nyaman berada di lingkungannya masing-masing.

Maka saat kemarin lihat status yang berseliweran di temlen yang banyak bikin temen saya gedek-gedek, " Kok bisa ya mereka mikir kaum minoritas lebay karena merasa ketakutan?"

Ya simpel aja jawabannya. Karena mereka berada dalam lingkaran di lingkungan yang seragam, yang sama dengan dirinya. Jadi ya dia melihat hal tersebut dari kacamatanya.

Sama sih, dengan umat muslim yang mikir, " Apa-apaan sih mereka, wong damai gini kok dibilang mengancam"

Ya karena mereka ngga pernah merasakan bagaimana rasanya jadi minoritas, ngga pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi warga keturunan yang selalu diasosiakin negatif.

Begini saya mau bilang nih sama teman-teman saya yang saya sebut saja minoritas disini.

Memang ada, adaaaa banget orang-orang yang hidupnya dari kecil ngga pernah bersenggolan dengan perbedaan. Perbedaan yang prinsipil ya kayak agama. Karena memang mereka mengkondisikan untuk menjaga keluarganya dari pengaruh diluar kepercayannya Bukan karena sombong atau ngga mau membaur, tapi karena lebih ke menjaga diri saja.

Dari kecil hidupnya memang telah ditanamkan nilai-nilai agama yang dipercayainya.

Maka saat ada yang komen, " Kok bisa sih pemikirannya sempit gitu, menganggap agamanya
yang paling benar. Kok bisa sih cuma gara-gara perkataan seuprit gitu trus tersinggung sampai demo segala.

Tahan dulu komennya.

Saya ceritakan disini. Terkadang karena kita ngga di posisi orang itu makanya kita ngga tahu. Kita ngga tahu makanya kita bisa komen demikian.

Oke maaf ya saya udah masuk dikit nih ke ranah aksi. Ngga apa ya, ini mau kasih sedikit perspektif aja bagi kaum minoritas yang mungkin ga habis pikir dengan aksi kemarin.

Begini, kebanyakan umat muslim di Indonesia, jauh sebelum belajar di bangku sekolah, pelajaran agama sudah duluan diberikan di keluarga. Setidaknya itu yang terjadi di keluarga saya.

Sejak kecil saya sudah mengaji, guru mengaji dipanggil ke rumah setiap malam. Kelas 3 SD saya sudah khatam Al-Quran, untuk kemudian khatam berkali-kali setelahnya. Karena Quran bacaan wajib setiap habis sholat lima waktu.

Di samping sekolah, sore hari saya belajar ilmu fiqih, halal-haram, tafsir Qur'an, sampai sejarah nabi-nabi. Hidup di lingkungan homogen dengan didikan agama sejak dini, fixed membuat saya hanya tau Islam, nabi Muhammad, Allah SWT, titik habis.

Saya diajarkan cinta Islam dan cinta Alquran sampai tahap saat saya ngga sengaja nyenggol Quran di atas meja trus jatuh ke lantai, langsung berasa kayak udah membuat kesalahan besar.

Yang saat saya pergi ngaji, semua buku pelajaran saya masukin tas, tapi khusus AlQuran saya bawa dengan mendekapnya di dada. Kenapa? karena saya khawatir, kalau Qurannya dimasukin tas, trus tasnya saya selempangin ke belakang, berarti ntar Qurannya bakal kena pantat saya dong. Kalau itu terjadi, huhuhu saya bakal sedih setengah mati.

Saya tumbuh di lingkungan Islam, yang mengajarkan bahwa jika suara azan dari mesjid masih kedengeran dari rumah kita, berarti wajb hukumnya sholat berjamaah di mesjid.

Iya seperti itu. Jangan heran kalau lapangan bermain saya dan teman-teman dulu adalah halaman mesjid, karena kami selalau sholat berjamaah disana. Kami rebutan baca Quran via pengeras suara.

Kami sama sekali tidak merasa mengganggu orang. Karena apa?

Lagi-lagi simpel, karena lingkungan kami homogen. Satu kampung muslim, malahan seneng dong dengar orang baca AlQur'an.

Seperti itulah apa yang kami dapat dan alami sejak kecil.

Apa cuma saya yang begitu?

No, ada buanyak banget orang yang seperti itu. Yang kemarin itu tergabung dalam jutaan umat yang melakukan aksi damai.

Jadi, tahan dulu komennya yang mengatakan kalau aksi itu bermuatan politik atau mereka adalah orang-orang bayaran.

Saya ngga menutup mata, pasti adalah. Dan plis yang ikutan demo kemarin, jangan naif banget juga mengatakan itu semua murni karena panggilan ilahi. Terima kenyataan kalau ada sebagian entah kecil entah besar yang punya muatan lain.

Tapi yang saya tekankan disini. Jangan sampai kalian geleng-geleng kepala tidak mengerti kenapa bisa semarah itu soal perkataan saja.

Yaitu tadi, background dari kecil yang kami/ mereka tau ya seperti itu.

Walau saya pribadi berpendapat demo bukanlah jalan keluar, tapi saya ngga kaget dengan reaksi teman-teman saya, sekaligus ngga kaget dengan komen-komen yang menyepelekan suara minoritas.

Bayangkan saja bagaimana rasanya saat kitab yang sejak orok udah ada di kehidupan kita, yang kita dekap di dada saat pergi ke sekolah, yang ngga akan disentuh saat dalam keadaan haid, yang saat ingin membukanya pun otomatis kita bakal berwudhu dulu biar suci dari najis dan hadas, yang saat tidak sengaja jatuh, dengan terburu-buru kita bakal  mengambilnya kemudian menciumnya.

Coba bayangkan sebentar.

Nah seperti itulah keadaannya. Seperti itulah perasaan mereka. Maka saya ngga kaget kalau aksi kemarin bisa mendatangkan ratusan ribu atau mungkin jutaan orang.

Semua karena cinta. Kalian tahu kan kalau cinta bisa menggerakkan apa saja.

Namun, sayangnya, cinta terkadang hanya fokus pada apa yang dicintainya.Kita suka lupa bahwa, ada teman kita di luar sana yang ngga tau back ground kita seperti ini.

Maka wajarlah juga saat ada yang menyepelekan ketakutan mereka, tentu menyakiti hati mereka. Sama wajarnya dengan saat ada yang berkata kurang baik soal kitab suci kita trus kita merasa tersakiti.

Mereka, teman kita yang minoritas, tentu juga punya back ground sendiri, dengan kebenarannya  dan pengalaman  sendiri yang kita tidak tahu.

Balik lagi ke soal Kerisauan dan kesedihan Gesi sebagai keturunan Cina dan minoritas di negeri ini.

Gimana juga rasanya mereka yang tidak sekali dua kali diancam bakal dibunuh. Padahal mereka buat salah apa kepada kita. Pernah ngga mereka mengganggu ibadah kita. Pernah ngga mereka minta diistimewakan soal beribadah.

Sepahamana saya sih, tidak, kalau saya salah mohon koreksi.

Maka disinilah rasa empati harus kita timbulkan. Kita aja yang mayoritas masih sering minta dihargai, masih sering minta diutamakan, masih minta keeksklusivan lain, padahal negeri ini bukan milik kita semata. Mereka juga punya hak yang sama dengan kita.

Sempat terbersit tanya, kenapa sih mereka begitu membenci cina?

Nah dalam hal ini saya juga punya sedikit pendapat, berdasar pengalaman dan apa yang saya lihat dan rasakan saja

Saya tinggal di kota Medan yang notabene jumlah warga Tionghoanya lumayan banyak, khususnya di kota Medan.

Nah soal hubungan cina -pribumi ini pun paradoks banget.

Begini, di Medan itu saya sering banget mendengar orang yang ngga suka cina, kalau ditanya alasannya kenapa, jawabannya rata-rata karena mereka sebel sama tingkah laku cina.

Tingkah laku yang mana?

Yang selalu dibedakan dari pribumi. Yang begitu mendominasi di sini.

FYI, kalau kalian ke Medan, sepanjang jalan, yang punya ruko-ruko , pedagang itu adalah warga cina.

Jika kebetulan kalian makan atau belanja di toko atau restoran di Medan dan kebetulan baregan dengan orang Cina, jangan kaget saat para pelayan bakal lebih mengutamakan cina dibanding pribumi. Mereka akan dilayani lebih baik, dan lebih personal.

Mereka sebal, mereka kesal, karena seolah-olah Cina kok semena-mena, kok diistimewakan.

Di sisi lain, saya beritahu ya, di Medan itu ada semacam kesepakatan umum, kalau kalian mau tahu dimana restoran atau tempat makan enak, gampang banget caranya. Lihat saja mana tempat makan yang ramai didatangi cina, maka sudah pasti itu enak.

See, kalian tahu, apa artinya?. Artinya orang pribumi pun secara tidak sadar mengakui bahwa Cina punya selera yang bagus. Pemilik rumah makan yang warungnya banyak didatangi cina bakal bahagia banget. Seneng karena artinya warung dia enak, dan ngga heran bakal rame banget yang makan.

Nah itu yang saya bilang paradoks, cina dibenci sekaligus dipuja.

Ngga hanya rumah makan, usaha apapun kalau udah banyak cina yang datang kesitu bisa dipastikan bakal laris manis tanjung kimpul.

Jadi menurut saya, sebenarnya bukan perkara marah kepada personnya sih.

Lhaaa siapa itu yang mengistimewakan mereka?

Siapa yang memberi pelayanan istimewa kepada mereka?

Ya orang pribumi. Kenapa?

Lagi-lagi, simple, karena siapa sih yang ngga pengen usahanya laris.

Jadi, harusnya marahnya bukan ke cinanya tapi marahlah sama orang-orang pribumi yang selalu mengistimewakan mereka.

Tapi ngga mungkin dong marah, lha apa alasannya.

See, jadi saya berpendapat, kemungkinan spanduk Ganyang cina yang melambai-lambai kemarin, ya salah satunya karena kekecewaan terhadap diri sendiri juga, ngga bisa meluapkan amarah ke siapa.

Satu yang dilupa bahwa mereka bisa lebih berhasil karena mereka juga bekerja jauh lebih keras. Jujur aja terkadang untuk membeli barang yang dijual di toko cina atau pribumi, saya terkadang pilih beli sama cina. Karena biasanya lebih murah dan biasanya barangnya lebih bagsu. Biasanya lho ya.

Jadi, terkadang kita marah untuk hal-hal yang sebenarnya marah ke diri sendiri.

So Gesi, kamu jangan heran kalau tiba-tiba di sela aksi damai ada ancaman ke mata sipit sepertimu. Itu bukan hal yang baru.

Dan jangan heran juga kenapa ada orang yang begitu masing menganggap remeh soal perasaan kalian.

Karena memang masing-masing punya backgroud kehidupan yang berbeda, yang sialnya sama sekali ngga berusaha mencari tahu seperti apa kehidupan orang lain.

Apa saya begitu pengertiannya sampai anteng dan bisa sok memandang aksi kemarin dari segala sudut?

Ofkors no.

But, walau dulu masa kecil saya juga homogen sama seperti mereka-mereka, tapi pernah suatu saat saya menjadi minoritas.

Saat SMA, saya pernah sekamar dengan 3 teman yang nasrani.

Setiap hari saya harus menndengar mereka kebaktian. Setiap hari saya sholat dengan arah kiblat, yang disitu ada salib punya teman saya.

Bagaimana perasaan saya?

Ngga nyamanlah. Seperti sholat tapi di gereja.

Kalau dulu saya udah nonton film habibie mungkin saya bakal merasa biasa saja. Tapi saat itu lain cerita. Ya minimal saya tau seperti itu lho perasaan minoritas.

Saat saya bekerja, Sampai detik ini 4 bos yang pernah saya punya, semuanya kristen. Apa jadinya kalau masing-masing, mengutamakan golongannya saja?. Bisa ngga tercapailah target perusahaan. Bisa jadi saya bakal digencet.

Maka sedikit banyak, saya berusaha melihat dari sudut pandang mereka.

Bukan karena saya sok pluralisme, dan nyinyirin kelompok sendiri.

Ya ngga sesempit itulah. Itu hanya karena saya pernah di posisi mereka, dan saat saya di posisi minoritas, saya pun tidak ingin saya dibedakan, saya pun ingin punya hak yang sama.

Huaaah udah panjang banget.




The bottom line is.

Bagi orang yang sehari-hari bergaul dan berinteraksi dengan multi etnis, multi agama, tentu akan lebih berfikir jika ada isu-isu yang terkait agama dan etnis. Karena memang perbedaan adalah merupakan bagian dari hidup.

Namun jangan salahkan juga orang yang hidupnya homogen seperti yang saya tulis di atas. Orang-orang seperti saya di masa kecil. Memang ada dan banyak banget orang-orang yang karena kecintannya pada apa yang dipercayainya, mereka membentengi diri untuk hanya bersinggungan dengan orang-orang yang sama-yang sepahaman.

Sah-sah aja sih.

Yang mungkin harus disadari adalah bahwa kita tidak tinggal di negeri yang memiliki satu agama. Tapi kita punya saudara sebangsa yang memiliki hak yang sama di negeri ini. Tidak ada yang lebih istimewa satu sama lain.

Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, hanya pilihan hidup dan sudut pandang yag berbedalah yang membedakannya.

Yang satu merasa benteng lebih penting untuk mengamankan diri, sedangkan yang lain merasa jembatan lebih urgent agar jarak yang ada semakin mudah dilewati.

Apapun prinsip hidup yang kita jalani, silahkan jalani. Tapi ingaaa ingaaaa.

Don't be so quick to judge. You never know when you might just find yourself walking in that person's shoes.

Untuk Indonesia yang lebih damai. Untuk Indonesia yang lebih kuat dan untuk dunia yang lebih baik bagi anak-anak kita.




7 comments on "#GesiWindiTalk: Alasan Saya Memahami Ketakutan Kaum Minoritas Terhadap Peristiwa 411"
  1. yang paling penting saling menghargai dan gak perlu masuk ke 'ranah'-nya orang lain aja ya mbak menurutku... gak cuma minoritas yg gak boleh masuk ke 'ranah' mayoritas, yg mayoritas juga jaga lidah dan sikap lah jangan masuk ke 'ranah' minoritas. aksi kemarin itu sebab utamanya kan ada seseorang yg melampaui batas masuk ke ranah orang lain kan... pendapat pribadi sih :)
    But, makasih bangettt ya mbak sudah kasih sudut pandang lain ttg minoritas. semoga saya bisa lebih menghargai perbedaan. saya termasuk yg hidup di lingkungan homogen dan mayoritas dr sejak lahir hingga hari ini :)

    ReplyDelete
  2. Ketika dulu aku ngaji TPA.. Alquran aku peluk di dada.. Mendengar azan magrib wajib hukumnya matikan tv lalu sama2 solat dan tadarus. Ahhh.. Menggetarkan ya mbaa.. Anyway nice mba tulisannya.
    Semoga kaum mayoritas dan minoritas hidup rukun dan damai yah. Aminn :)

    ReplyDelete
  3. Syukurlah dari kecil saya tinggal di lingkungan yg saling berdampingan antara muslim dan nasrani. Ketika masjid ramai dan gereja tak kalah ramai, ketika suka cita tiap lebaran bu pendeta dan teman2 nasrani main ke rumah, dan kebersamaan lain.

    Kaya yg mba windi bilang, saya juga ga kaget kalo dlm aksi kmren bakal banyak yg dtg karena cinta:merasa tercubit hatinya (ragam alasannya ada juga dlm ulasan mb windi di atas), tp memang tak menampik jika ada oknum yg memanfaatkan.

    Seperti ungkapan provokasi dlm spanduk/ banner/ ucapan yg saaangat berpotensi merusak kebersamaan itu. Dlm hati terharu melihat gelombang cinta, tapi takut dan khawatir dg potensi perpecahan kalau sampai terucap baik dlm tulisan/ lisan kalimat2 provokatif itu.

    Semoga hukum benar adil mengadili oknum yg mencubit hati lewat katanya itu, bukan melebar ke kelompok/etnis/ras. Karena, kalau digembar-gemborkan sisi lain selain hal yg difokuskan sebagai sebab mulanya, bisa2 memang terbelah kita.

    Untuk itu, semoga saling mengerti.
    Teman2 mayoritas fokus pada pokok persoalan, meminta pengadilan atas kesalahan oknum yg mengucap tanpa membawa2 SARA-nya, sehingga tidak menyakiti teman kita lainnya.

    Juga teman2 minoritas, untuk mengerti pokok soalan saudara mayoritasnya membela cinta mereka.

    Wallahualam

    ReplyDelete
  4. Aku juga pernah jadi minoritas, kak Windi. Waktu ikut UKM paduan suara di kampus. Rasanya ga enak. Jilbaban sendiri, pas maghrib rehat buat sholat sendirian. Huhu. Cuma itu doang sih. Selebihnya sama lah kayak kakak, mayoritas abis! Hihi Salut sama temen-temen minoritas yang tetap bisa membaur di kehidupan sosial dengan gampang, dengan happy!

    Aku suka banget sama kalimat ini ‘Don't be so quick to judge. You never know when you might just find yourself walking in that person's shoes.’Bener banget! :’)

    ReplyDelete
  5. Sebenarnya ketika kita mau empati, tidak sulit memahami kecemasan dan ketakutan mereka. Jujur saja, jika aku berada ditengah massa yang marah begitu, akupun pasti takut.
    semoga kita semua bisa belajar bagaimana hidup berdampingan dengan setara sesama manusia Indonesia.

    ReplyDelete
  6. wah aku jatuh cinta lagi sama mba windi untuk kesekian kali nya :D, hehe lebay.. mba selalu bisa menempatkan diri dari dua sisi yang berbeda..
    persis banget status suami ku.. kurleb bagi pendemo, meskipun mayoritas jangan berlebihan hingga menyasar ras dan agama oranglain, begitu juga kawan2 yang ras dan agama nya minoritas, jangan berlebihan juga menilaiagama dan status mayoritas para demonstran.. tahan diri jaga persatuan :)

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga senang yah main kesini :)

Custom Post Signature