Tara… usiamu sudah satu
tahun setengah sekarang. Baru kusadari, ternyata sudah begitu lama aku tak
bercengkerama denganmu melalui tulisan, melalui blog ini. Tadi pagi, saat aku
meninggalkan rumah, kau masih terlelap dengan tenangnya. Nafasmu naik turun dengan
teratur. Pelan sekali kucium pipi tembammu, takut membangunkanmu, karena jam
masih menunjukkan pukul enam pagi. Ya setiap Jum’at aku memang berangkat satu
jam lebih cepat, karena mau mengikuti senam pagi di kantor. Aku sangat suka
acara senam pagi itu, karena kalau tidak rame-rame di kantor nyaris tak pernah
aku berolah raga.
Sepanjang perjalanan, di
tengah heningnya pagi, jalanan yang masih sepi, aku banyak merenung. Tentang
carut marut bangsa ini. Kebutuhan hidup yang semakin menggila, kejahatan social
yang semakin marak, semuanya nak, seolah menyerbu pikiranku. Bukan, aku tak
mengkhawatirkan diriku, tapi yang kucemaskan adalah bagaimana nanti kehidupan
di saat kau beranjak dewasa. Apa kau bisa bertahan dengan nilai-nilai baik
seperti yang kuharapkan.
Pagi ini, aku membaca
berita, tentang kasus korupsi yang santer terdengar beberapa tahun lalu, yang
melibatkan wakil presiden terdahulu. Berita yang kubaca sangat membingungkan
nak, satu media memberitakan ia menjadi tersangka, yang lain membantahnya. Kau
tahu nak, kasus korupsi yang melibatkan dana talangan di sebuah bank swasta
yang dulu sempat membuat para nasabahnya menjerit histeris karena kehilangan
tabungan mereka, menghabiskan waktu bertahun-tahun, bahkan hanya untuk
menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Beberapa tahun belakangan
ini, aku banyak mendengar kasus korupsi yang melibatkan orang-orang ternama
negeri ini. Dari mentri, anggota DPR, deputi Gubernur. Ngeri nak, ngeri sekali,
seolah korupsi menjadi kegiatan harian mereka.
Nak, dulu aku selalu
sinis terhadap mereka itu, betapa pendeknya pikiran mereka sehingga mau memakan
uang yang bukan haknya. Tapi nak, ternyata di pekerjaanku pun betapa mudahnya
sebuah korupsi terjadi. Ingat-ingatlah
nak, saat kuceritakan tentang pekerjaanku, betapa kerasnya aku menjaga diri
agar setiap rupiah yang kubawa pulang untkmu selalu bebas dari yang bukan
hakku.
Kejadiannya sekitar dua
tahun yang lalu, saat aku masih menjadi seorang Account officer, seseorang yang
bertugas menyalurkan kredit kepada para nasabah nak. Saat itu, aku sedang
mengerjakan paket permohonan kredit calon debitur sebesar Rp 6 Milyar.
Tiba-tiba sebuah amplop
disodorkan begitu saja di meja saat aku sedang sibuk mengerjakan spreadsheet untuk
menganalisa pengajuan kredit tersebut.
Eh apa-apaan ini, pikirku.
“ Ini untuk ibu, makasi
udah dibantu bu” kata seorang pria separuh baya di hadapanku.
Beberapa waktu yang lalu
si bapak memang mengajukan kredit sebesar Rp 2 M ke bank tempat saku bekerja
dan ibumu inilah yang mengerjakan paket
kreditnya.
“ Wah maaf pak, saya
tidak bisa menerimanya” kataku halus sambil
menyerahkan kembali amplop tersebut
“ Ga apa-apa bu, upah
capek ibu”
“ Jangan khawatir pak,
saya sudah dapat upah capek tiap bulan dari perusahaan “ jawabku
sambil tersenyum
“ Kalau gitu buat gantiin
bensin ibu deh” Si bapak tetap keukeuh
“ Saya pakai mobil
perusahaan pak, jadi minyaknya ditanggung “ Sambil kembali
menyodorkan itu amplop
“ Ya sudah deh bu, ini
sebagai ucapan terima kasih saya” jawabnya
belum mau menyerah
“ Kalau bapak mau
berterima kasih pada saya, cukup bapak bayar angsuran tepat waktu saja setiap
bulan dan jangan nunggak ya pak” Jawabku tegas
Akhirnya setelah sodor-menyodor
amplop beberapa kali, amplop putih itu pun berpindah tempat dari atas mejaku
kembali ke kantong si pemberi.
Kau tahu nak, susah
sekali menolak pemberian yang begitu menggiurkan. Aku tidak munafik, amplop itu
begitu menggoda, namun aku tahu itu bukan hakku. Saat itu kau masih berada di
kandunganku, aku bertekad sebisa mungkin sejak kau ada di dunia ini, aku ingin
mengajarkan hal-hal baik padamu. Bukankah memang seperti itu tugas seorang
ibu?.
Kejadian tersebut tidak
sekali dua kali aku alami, hampir di tiap realisasi kredit aku mengalaminya.
Sebagai seorang Account Officer, indikasi suap dari calon debitur memang kerap
terjadi. Walaupun kebanyakan mereka memberi setelah kredit mendapat putusan
yang artinya konflik kepentingan sudah berlalu tetapi tetap saja yang namanya
pemberian-pemberian seperti itu bisa digolongkan kepada gratifikasi . Hal yang
sangat dilarang di tempatku bekerja dan sungguh sangat kuhindari.
Kau jangan kagum dulu
padaku nak, akan kuceritakan bagaimana kasus serupa pernah juga terjadi pada
ayahmu.
Saat itu, ayahmu masih
dinas di kebun sawit nak. Ia mengerjakan proyek pembangunan rumah dan jalan.
Kau tahu nak, untuk proyek-proyek seperti itu banyak sekali godaan untuk menerima
amplop-amplop tebal dari para kontraktor. Tapi aku tahu tak sekalipun ayahmu
menerimanya.
Tak kehabisan akal,
mereka mencoba segala cara untuk bisa memberikan sesuatu kepada ayahmu.
Terkadang amplop berisi uang itu diselipkan di bawah pintu rumah kita,
kutemukan pada pagi hari saat mau membuka pintu. Pernah juga, kami tidak tahu kapan dan
bagaimana, berkrat-krat minuman kaleng, berkardus syrup dan parcel telah
bertumpuk di garasi. Bayangkan nak, betapa susah melepaskan diri dari suap dan
gratifikasi yang merupakan cikal bakal dari tindakan korupsi.
Akhirnya minuman kaleng
dan parcel tersebut kami bagi-bagikan ke tetangga yang kurang mampu. Mau bagaimana
lagi, kami tidak tahu siapa pengirimnya.
Nak di jaman ini, kau
mungkin tidak tahu bahwa sudah menjadi hal lazim di semua instansi, mau
berurusan dengan apapun harus ada uang tunai.
Pernah suatu saat aku
mengurus surat keterangan harga tanah di kelurahan setempat. Padahal surat itu
hanya berisikan keterangan harga limit atas dan bawah tanah berdasarkan data
penjualan tanah terakhir yang pernah ada di daerah tersebut. Yang membuat
suratnya juga ibumu ini, yang mengetik juga,
hanya saja aku butuh tanda tangan dari si lurah plus stempel untuk
mengesahkannya. Sampai satu jam aku menunggu, surat itu tidak ditanda tangani
juga. Alasannya banyak kerjaan lah, ada tamu lah. Akhirnya karena aku keburu
waktu dan masih banyak pekerjaan lain, kusodorkan saja selembar uang biru, dan
tidak sampai lima menit kemudian surat tersebut sudah terlipat rapi dan diserahkan
kepadaku. Aaah nak, saat itu aku merasa berdosa padamu.
Dari situ aku sadar nak,
bahwa budaya korupsi itu bukan salah si koruptor saja, tapi juga dibantu oleh
masyarakat seperti aku ini yang apa-apa maunya enak, tidak ikut prosedur dan terlalu
lemah untuk sekedar menunggu.
Padahal dalam riwayat
Imam At-Turmudzi, Rasulullah saw bersabda, “Allah melaknat orang yang menyuap
dan menerima suap” (HR. Tirmidzi). Imam Ahmad dan Hakim juga meriwayatkan
hadits: “Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan
yang menjadi perantara.”
Hii ngeri sekali nak, bagaimana
kebiasaan jelek tersebut yang kelihatan biasa ternyata bisa membuat sang
pencipta murka. Mulai hari itu nak, aku tidak pernah kembali ke kelurahan itu,
Karena itu nak,
ingat-ingatlah selalu, saat kau besar nanti jika kau harus berurusan dengan
aparat, dengan sebuah instansi, dengan sebuah kantor atau apapun, dimana mereka
menyebabkan kau menunggu, bersabarlah nak, tak perlu kau ambil jalan pintas
untuk memudahkanmu.
Korupsi yang kebanyakan
orang berfikir bahwa itu hanya bisa terjadi dalam satuan jumlah uang bermilyar
rupiah ternyata juga rentan terjadi untuk jumlah ecek-ecek yang mungkin hanya
senilai sepiring martabak.
Tak apalah kau sedikit susah dalam menjalani hidup
ini, berusaha keras untuk mewujudkan mimpimu, tapi jangan sekali-kali terbersit
niat di hatimu untuk memberikan uang-uang pelicin kepada siapapun. Karena tanpa
kita sadari, kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita anggap biasa itulah yang
menyebabkan suap, gratifikasi dan korupsi dianggap maklum, karena kita pun
memakluminya. Karena sejatinya nak, hal-hal baik yang kita harapkan terjadi pada negeri ini haruslah kita mulai dari diri kita sendiri.
Keraslah terhadap hidupmu nak, agar kehidupan lunak kepadamu.
Duuuh, korupsiiii... ngomongin korupsi enggak ada habisnya ya mak...
ReplyDeleteIya mak kyk lingkaran setan
Deletebetul mak, korupsi ada dimana2. miris memang, tapi saya salut mak windi tak menerima amplop tsb
ReplyDeleteGodaannya berat maak
Deletekorupsi ga pernah bisa berakhir kalau bukan dari kesadaran individunya sendiri ya mak
ReplyDeleteIya maaak. Hrs dr diri sendiri dulu
DeleteTara pasti kalau nanti udah gedhe seneng deh baca tulisan ini :)
ReplyDeleteMudah2an ya maaak
Deletemak windi dah cekak amiiirrr nih nah kalo ada tiap bulan mak kasih sayalah yee satu amplop cukuplah.hhheeeehhheee
ReplyDelete