Keraslah terhadap Hidup Nak

Friday, December 5, 2014


Tara… usiamu sudah satu tahun setengah sekarang. Baru kusadari, ternyata sudah begitu lama aku tak bercengkerama denganmu melalui tulisan, melalui blog ini. Tadi pagi, saat aku meninggalkan rumah, kau masih terlelap dengan tenangnya. Nafasmu naik turun dengan teratur. Pelan sekali kucium pipi tembammu, takut membangunkanmu, karena jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Ya setiap Jum’at aku memang berangkat satu jam lebih cepat, karena mau mengikuti senam pagi di kantor. Aku sangat suka acara senam pagi itu, karena kalau tidak rame-rame di kantor nyaris tak pernah aku berolah raga.


Sepanjang perjalanan, di tengah heningnya pagi, jalanan yang masih sepi, aku banyak merenung. Tentang carut marut bangsa ini. Kebutuhan hidup yang semakin menggila, kejahatan social yang semakin marak, semuanya nak, seolah menyerbu pikiranku. Bukan, aku tak mengkhawatirkan diriku, tapi yang kucemaskan adalah bagaimana nanti kehidupan di saat kau beranjak dewasa. Apa kau bisa bertahan dengan nilai-nilai baik seperti yang kuharapkan.

Pagi ini, aku membaca berita, tentang kasus korupsi yang santer terdengar beberapa tahun lalu, yang melibatkan wakil presiden terdahulu. Berita yang kubaca sangat membingungkan nak, satu media memberitakan ia menjadi tersangka, yang lain membantahnya. Kau tahu nak, kasus korupsi yang melibatkan dana talangan di sebuah bank swasta yang dulu sempat membuat para nasabahnya menjerit histeris karena kehilangan tabungan mereka, menghabiskan waktu bertahun-tahun, bahkan hanya untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.

Beberapa tahun belakangan ini, aku banyak mendengar kasus korupsi yang melibatkan orang-orang ternama negeri ini. Dari mentri, anggota DPR, deputi Gubernur. Ngeri nak, ngeri sekali, seolah korupsi menjadi kegiatan harian mereka.

Nak, dulu aku selalu sinis terhadap mereka itu, betapa pendeknya pikiran mereka sehingga mau memakan uang yang bukan haknya. Tapi nak, ternyata di pekerjaanku pun betapa mudahnya sebuah korupsi terjadi.  Ingat-ingatlah nak, saat kuceritakan tentang pekerjaanku, betapa kerasnya aku menjaga diri agar setiap rupiah yang kubawa pulang untkmu selalu bebas dari yang bukan hakku.

Kejadiannya sekitar dua tahun yang lalu, saat aku masih menjadi seorang Account officer, seseorang yang bertugas menyalurkan kredit kepada para nasabah nak. Saat itu, aku sedang mengerjakan paket permohonan kredit calon debitur sebesar Rp 6 Milyar.

Tiba-tiba sebuah amplop disodorkan begitu saja di meja saat aku sedang sibuk mengerjakan spreadsheet untuk menganalisa pengajuan kredit tersebut.

Eh apa-apaan ini, pikirku.

“ Ini untuk ibu, makasi udah dibantu bu” kata seorang pria separuh baya di hadapanku.

Beberapa waktu yang lalu si bapak memang mengajukan kredit sebesar Rp 2 M ke bank tempat saku bekerja dan ibumu inilah  yang mengerjakan paket kreditnya.

“ Wah maaf pak, saya tidak bisa menerimanya” kataku halus sambil menyerahkan kembali amplop tersebut

“ Ga apa-apa bu, upah capek ibu”

“ Jangan khawatir pak, saya sudah dapat upah capek tiap bulan dari perusahaan “ jawabku sambil tersenyum

“ Kalau gitu buat gantiin bensin ibu deh” Si bapak tetap keukeuh
“ Saya pakai mobil perusahaan pak, jadi minyaknya ditanggung “ Sambil kembali menyodorkan itu amplop
“ Ya sudah deh bu, ini sebagai ucapan terima kasih saya”  jawabnya belum mau menyerah

“ Kalau bapak mau berterima kasih pada saya, cukup bapak bayar angsuran tepat waktu saja setiap bulan dan jangan nunggak ya pak” Jawabku tegas

Akhirnya setelah sodor-menyodor amplop beberapa kali, amplop putih itu pun berpindah tempat dari atas mejaku kembali ke kantong si pemberi.

Kau tahu nak, susah sekali menolak pemberian yang begitu menggiurkan. Aku tidak munafik, amplop itu begitu menggoda, namun aku tahu itu bukan hakku. Saat itu kau masih berada di kandunganku, aku bertekad sebisa mungkin sejak kau ada di dunia ini, aku ingin mengajarkan hal-hal baik padamu. Bukankah memang seperti itu tugas seorang ibu?.

Kejadian tersebut tidak sekali dua kali aku alami, hampir di tiap realisasi kredit aku mengalaminya. Sebagai seorang Account Officer, indikasi suap dari calon debitur memang kerap terjadi. Walaupun kebanyakan mereka memberi setelah kredit mendapat putusan yang artinya konflik kepentingan sudah berlalu tetapi tetap saja yang namanya pemberian-pemberian seperti itu bisa digolongkan kepada gratifikasi . Hal yang sangat dilarang di tempatku bekerja dan sungguh sangat kuhindari.

Kau jangan kagum dulu padaku nak, akan kuceritakan bagaimana kasus serupa pernah juga terjadi pada ayahmu.

Saat itu, ayahmu masih dinas di kebun sawit nak. Ia mengerjakan proyek pembangunan rumah dan jalan. Kau tahu nak, untuk proyek-proyek seperti itu banyak sekali godaan untuk menerima amplop-amplop tebal dari para kontraktor. Tapi aku tahu tak sekalipun ayahmu menerimanya.

Tak kehabisan akal, mereka mencoba segala cara untuk bisa memberikan sesuatu kepada ayahmu. Terkadang amplop berisi uang itu diselipkan di bawah pintu rumah kita, kutemukan pada pagi hari saat mau membuka pintu.  Pernah juga, kami tidak tahu kapan dan bagaimana, berkrat-krat minuman kaleng, berkardus syrup dan parcel telah bertumpuk di garasi. Bayangkan nak, betapa susah melepaskan diri dari suap dan gratifikasi yang merupakan cikal bakal dari tindakan korupsi.

Akhirnya minuman kaleng dan parcel tersebut kami bagi-bagikan ke tetangga yang kurang mampu. Mau bagaimana lagi, kami tidak tahu siapa pengirimnya.

Nak di jaman ini, kau mungkin tidak tahu bahwa sudah menjadi hal lazim di semua instansi, mau berurusan dengan apapun harus ada uang tunai.

Pernah suatu saat aku mengurus surat keterangan harga tanah di kelurahan setempat. Padahal surat itu hanya berisikan keterangan harga limit atas dan bawah tanah berdasarkan data penjualan tanah terakhir yang pernah ada di daerah tersebut. Yang membuat suratnya juga ibumu ini, yang mengetik juga,  hanya saja aku butuh tanda tangan dari si lurah plus stempel untuk mengesahkannya. Sampai satu jam aku menunggu, surat itu tidak ditanda tangani juga. Alasannya banyak kerjaan lah, ada tamu lah. Akhirnya karena aku keburu waktu dan masih banyak pekerjaan lain, kusodorkan saja selembar uang biru, dan tidak sampai lima menit kemudian surat tersebut sudah terlipat rapi dan diserahkan kepadaku. Aaah nak, saat itu aku merasa berdosa padamu.

Dari situ aku sadar nak, bahwa budaya korupsi itu bukan salah si koruptor saja, tapi juga dibantu oleh masyarakat seperti aku ini yang apa-apa maunya enak, tidak ikut prosedur dan terlalu lemah untuk sekedar menunggu.

Padahal dalam riwayat Imam At-Turmudzi, Rasulullah saw bersabda, “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap” (HR. Tirmidzi). Imam Ahmad dan Hakim juga meriwayatkan hadits: “Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara.”

Hii ngeri sekali nak, bagaimana kebiasaan jelek tersebut yang kelihatan biasa ternyata bisa membuat sang pencipta murka. Mulai hari itu nak, aku tidak pernah kembali ke kelurahan itu,

Karena itu nak, ingat-ingatlah selalu, saat kau besar nanti jika kau harus berurusan dengan aparat, dengan sebuah instansi, dengan sebuah kantor atau apapun, dimana mereka menyebabkan kau menunggu, bersabarlah nak, tak perlu kau ambil jalan pintas untuk memudahkanmu.

Korupsi yang kebanyakan orang berfikir bahwa itu hanya bisa terjadi dalam satuan jumlah uang bermilyar rupiah ternyata juga rentan terjadi untuk jumlah ecek-ecek yang mungkin hanya senilai sepiring martabak.

Tak apalah kau sedikit susah dalam menjalani hidup ini, berusaha keras untuk mewujudkan mimpimu, tapi jangan sekali-kali terbersit niat di hatimu untuk memberikan uang-uang pelicin kepada siapapun. Karena tanpa kita sadari, kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita anggap biasa itulah yang menyebabkan suap, gratifikasi dan korupsi dianggap maklum, karena kita pun memakluminya. Karena sejatinya nak, hal-hal baik yang kita harapkan terjadi pada negeri ini haruslah kita mulai dari diri kita sendiri.

Keraslah terhadap hidupmu nak, agar kehidupan lunak kepadamu.





9 comments on "Keraslah terhadap Hidup Nak"
  1. Duuuh, korupsiiii... ngomongin korupsi enggak ada habisnya ya mak...

    ReplyDelete
  2. betul mak, korupsi ada dimana2. miris memang, tapi saya salut mak windi tak menerima amplop tsb

    ReplyDelete
  3. korupsi ga pernah bisa berakhir kalau bukan dari kesadaran individunya sendiri ya mak

    ReplyDelete
  4. Tara pasti kalau nanti udah gedhe seneng deh baca tulisan ini :)

    ReplyDelete
  5. mak windi dah cekak amiiirrr nih nah kalo ada tiap bulan mak kasih sayalah yee satu amplop cukuplah.hhheeeehhheee

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga senang yah main kesini :)

Custom Post Signature