Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat

Saturday, May 26, 2012

Masa kecil kuhabiskan di sebuah perkebunan sawit di pedalaman Sumatera Utara. Karena ayah bekerja di salah satu perusahaan perkebunan disana, maka otomatis kami sekeluarga pun harus tinggal di perumahan perkebunan tersebut. Kami menyebutnya pondok atau emplacement. Yaitu suatu pemukiman yang disediakan perusahaan untuk pekerja dengan golongan rendah. 

Sudah menjadi rahasia umum, kalau kehidupan di perkebunan masih berbau feodalisme. Begitu pun dengan pengaturan tempat tinggal. Perumahan untuk karyawan pimpinan ( golongan staff) dipisahkan jauh dari perumahan karyawan pelaksana. 

Seperti lazimnya perusahaan perkebunan yang notabene lokasinya jauh dari perkotaan, maka disini seluruh fasilitas yang menunjang kehidupan sehari-hari telah tersedia. termasuk sekolah. Aku menghabiskan masa-masa SD ku di sebuah SD milik perusahaan ayahku. Kalau kalian ingat film Laskar Pelangi, maka kira-kira sekolahku adalah sekolahnya si Flo. Komplek perumahan kami bersebelahan dengan perkampungan biasa. Persis seperti ceritanya si Ikal, di perkampungan tersebut pun punya sekolah yang tentu saja sangat jauh fasilitasnya dibanding sekolahku.

Walaupun ayahku hanya seorang karyawan biasa, namun karena ibuku juga bekerja sebagai guru, maka taraf kehidupan keluargaku bisa dibilang termasuk golongan memadai. Kami hidup berkecukupan, namun tidak sampai berlebihan. Masih bisa makan ayam seminggu sekali, dan setiap dua minggu sekali ayah akan mengajak kami sekeluarga pergi tamasya. Kadang ke pantai, pernah juga hanya duduk di lapangan golf yang menghijau milik perusahaan.

Saat itu tahun sembilan puluhan. Aku duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Setiap hari akau diberi uang saku untuk jajan di sekolah sebesar Rp 200,-. Seratus rupiah untuk sekolah pagi, dan seratus lagi untuk sekolah Madrasah Ibtidaiyah sore hari. Jumlah tersebut lumayan besar pada saat itu, bisa untuk membeli sepiring nasi gurih ( nasi uduk), atau mi goreng atau lontong sayur ditambah segelas es sirup atau dua potong es lilin.

Teman sebangkuku bernama Rani. Dia murid pindahan dari kebun lain. Orangtuanya bekerja sebagai penderes ( orang yang menguliti kulit pohon karet untuk diambil getahnya). Kalau digambarkan dengan tingkatan kasta, maka kasta penderes adalah kasta sudra, kasta terendah.
Setiap hari Rani membawa keripik singkong sambal merah ke sekolah. Ia menjualnya kepada kami. Aku yang memang doyan pedas, menjadi pelanggan tetapnya. Harga sebungkus keripik adalah Rp 25.

Teman-temanku banyak yang sering menertawakan Rani, terkadang dia diolok-olok teman lelaki yang usil. Namun, tak sekalipun aku melihat Rani merasa malu. Tetap saja secara rutin dia membawa keripik-keripik jualannya. Bu guru sering memborong jualan Rani. Memang ibu guruku, bu Salehah sungguh guru yang sangat baik dan mengasihi muridnya. Tak salah kalau ia memiliki nama begitu indah.

Suatu hari, aku tidak begitu ingat bagaimana kejadian persisnya. Namun teman-teman laki-laki sangat jahil di hari itu. Mereka bercanda sambil menarik-narik rambut beberapa anak perempuan. Syukurlah rambutku dipotong pendek sama mama, jadi mereka tidak bisa menarik-narik rambutku.
Rani yang kebetulan berambut panjang dan pada hari itu diekor kuda, menjadi bulan-bulanan mereka. Bosan dengan acara tarik-menarik rambut, mereka beralih ke permainan mengintip rok anak perempuan. Mungkin kalian masih ingat ulah usil teman-teman semasa SD dulu. Dimana anak laki-laki mengikatkan rautan pensil yang ada kacanya ke tali sepatu kemudian sambil berjalan pelan-pelan kakinya di tarud persis di bawah anak perempuan yang berdiri, sehingga kelihatan warna CD nya. Sambil tertawa-tawa mereka menjalankan aksinya, dan menyebut warna CD anak perempuan. Lucu juga kalau mengingatnya.

Tapi ternyata, yang terjadi tidak selucu yang kubayangkan, saat Rani yang menjadi korban. Awalnya kami semua tertawa, namun setelah melihat Rani menangis, kami terdiam. Teman lelaki yang iseng tadi tanpa minta maaf langsung kabur ke luar kelas. Sebagai teman sebangku, aku turut merasa bersalah karena telah menertawakan Rani. Untuk menebus rasa bersalahku, kuhibur ia. Rani ngambek, lari keluar kelas dan tidak mau lagi mengikuti pelajaran berikutnya.

Ibu guru Salehah menyuruhku mengantar Rani pulang ke rumah. Dengan berjalan kaki kuantar Rani. Sepanjang perjalanan Rani diam. Aku sibuk bercerita tentang apa saja agar Rani tertawa. Syukurlah tak berapa lama, mendengar ceritaku tentang Abunawas yang sering didongengkan ayahku, Rani akhirnya tertawa juga.

Tidak terasa, kami sudah sampai di rumah Rani. Saat melihat rumah Rani dari luar, aku biasa saja. Rumahnya kecil, namun hal tersebut dapat dimaklumi, namanya juga perumahan perusahaan, tentulah tidak mungkin besar, apalagi mengingat pekerjaan ayahnya. Namun saat masuk ke rumahnya aku sangat terkejut. Rumahnya sangat sempit dan hanya diisi beberapa perabot usang. Kursi busa yang sudah bolong disana-sini dan busanya sudah terburai teronggok di sudut ruangan. Kulihat ada sebuah kulkas model lama. Aku pikir, lumayan juga nih keluarga Rani punya lemari es. Eh ternyata saat dibuka, isinya adalah pakaian. Jadi lemari es tersebut adalah lemari es rongsokan. Pakaian di dalamnya, seperti hanya dilemparkan masuk saja ke dalamnya, tanpa disetrika.

Rani mempersilahkanku duduk di sofa. Terus terang saja, aku tidak tahu harus dimana kuletakkan pantatku, karena beberapa kayu sofa sudah menonjol. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di lantai.

Karena hari sudah siang, ibunya Rani mempersilahkanku makan siang. Wah senangnya. Memang dari tadi perutku sudah berkerucuk minta diisi. Setelah mengambil nasi dan menaruhnya di piring kaleng, mataku mencari-cari lauk yang akan menemani nasi di piringku. Kulihat Rani mengambil sesendok sambal ke piringnya. Aku pun megikutinya. Setelah itu, Rani kembali duduk dan langsung menyantap makanannya. Aku masih sibuk lirak-lirik dimana gerangan lauk ikan atau telur berada.

Akhirnya aku sadar, tidak ada lauk lain. Ya, menu makan siangnya adalah nasi plus sambal. Bahkan kerupuk pun tidak ada. Dengan susah payah kuhabiskan nasi di piringku. Hiks, ada yang nyesek di dadaku. Aku tidak menyangka teman sebangkuku sesusah itu hidupnya. Padahal terkadang di rumah kalau ibu hanya masak telur saja aku suka ngambek ga mau makan. Harus ada ikan di meja makan, baru aku selera makan.

Setelah selesai makan, Aku membantu Rani mencuci piring. Tak lama ibu Rani pamit mau pergi, katanya mau mengambil cucian ke rumah tetangga. Untuk membantu menopang hidup, ibunya menjadi buruh cuci di komplek situ.

Piring sudah bersih. Rani mengajakku ke belakang rumah. Aku pikir mau duduk-duduk dimanaaa gitu. Eh ternyata belakang rumah Rani adalah tanah perusahaan yang sudah digarap dan ditanami dengan pohon singkong. Sambil tertawa-tawa Rani mengajakku memanen singkong untuk dibuat keripik. 

Baju sekolahku jadi berlepotan tanah. Dengan semangat aku mulai mencabuti pohon-pohon singkong tersebut. Wah ternyata tidak terlalu sulit. Cukup ditarik batangnya, seluruh akar yang berisi umbi akan tercabut. Rani sangat senang aku mau membantunya. Tak terlihat lagi kesedihan di wajahnya.

Cukup banyak juga singkong yang kami panen. Setelah itu, Rani mengajariku cara membersihkan singkong. Cukup dibuat irisan memanjang di kulitnya, kemudian tinggal diputar, maka kulitnya akan terlepas semua. Takjub aku melihat temanku yang satu ini. Di usia yang demikian belia, sudah ahli memotong-motong singkong.

Setelah dibersihkan, singkong-singkong tersebut kemudian diiris tipis-tipis memakai alat khusus untuk mengiris yang terbuat dari plastik. Hahaha, aku seperti bermain-main saja. Tak terasa sudah satu baskom irisan singkong yang kami hasilkan.

Dengan lincah tangan Rani menyalakan api di tungku. Setelah menyusun batangan kayu bakar dan ranting-ranting, hap… api pun berkobar. Sebuah kuali ( penggorengan) yang lumayan besar pun nangkring di atasnya. Bersama-sama kami menggorang irisan singkong tadi.

Hari sudah sore saat kami selesai menggoreng keseluruhan singkong di dalam baskom. Kata Rani , harus menunggu ibunya untuk mencampur sambal di keripiknya. Ia belum terlalu ahli membuat sambal.

Sungguh aku tak menyangka selama ini keripik yang dijual Rani adalah hasil olahan dirinya sendiri. Saat itu kami masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. Bayangkan masih berapa usia kami.
Tak lama aku pun pamit pulang, takut ibuku khawatir. Rani membawakanku sekantongan kecil keripik yang tadi kami goreng bersama. 

Hari itu aku mendapat pengalaman yang sangat luar biasa. Aku jadi tahu bagaimana susahnya mencari uang. Aku juga jadi menyadari bahwa aku termasuk orang yang beruntung. Tidak perlu bersusah payah, nasi beserta lauk pauknya sudah tersedia setiap hari. 

Mulai hari itu aku berjanji akan setiap hari membeli keripik Rani, dan membantunya menjual keripik-keripik tersebut di sekolah. Aku menyadari nilai perjuangan hidup di balik harga sebungkus keripik. 

Rani telah mengajarkanku sebuah nilai kehidupan yang sangat berharga. Selama ini ia tidak pernah merasa malu menjadi miskin.

Seperti kata pepatah , Kaya bermanfaat, miskin bermartabat.

Mungkin ia belum bisa menerapkan dua kata pertama. Namun ia sudah menunjukkan bagaimana mempraktekkan dua kata terakhir.

Terkadang kita baru bisa bersyukur setelah melihat penderitaan orang lain.
Pada saat itulah kita sadar bahwa kita termasuk orang yang beruntung





 




2 comments on "Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat"

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga senang yah main kesini :)

Custom Post Signature