Masa
kecil kuhabiskan di sebuah perkebunan sawit di pedalaman Sumatera Utara. Karena
ayah bekerja di salah satu perusahaan perkebunan disana, maka otomatis kami
sekeluarga pun harus tinggal di perumahan perkebunan tersebut. Kami menyebutnya
pondok atau emplacement. Yaitu suatu pemukiman yang disediakan perusahaan untuk
pekerja dengan golongan rendah.
Sudah
menjadi rahasia umum, kalau kehidupan di perkebunan masih berbau feodalisme.
Begitu pun dengan pengaturan tempat tinggal. Perumahan untuk karyawan pimpinan
( golongan staff) dipisahkan jauh dari perumahan karyawan pelaksana.
Seperti
lazimnya perusahaan perkebunan yang notabene lokasinya jauh dari perkotaan,
maka disini seluruh fasilitas yang menunjang kehidupan sehari-hari telah tersedia.
termasuk sekolah. Aku menghabiskan masa-masa SD ku di sebuah SD milik
perusahaan ayahku. Kalau kalian ingat film Laskar Pelangi, maka kira-kira
sekolahku adalah sekolahnya si Flo. Komplek perumahan kami bersebelahan dengan
perkampungan biasa. Persis seperti ceritanya si Ikal, di perkampungan tersebut
pun punya sekolah yang tentu saja sangat jauh fasilitasnya dibanding sekolahku.
Walaupun
ayahku hanya seorang karyawan biasa, namun karena ibuku juga bekerja sebagai
guru, maka taraf kehidupan keluargaku bisa dibilang termasuk golongan memadai.
Kami hidup berkecukupan, namun tidak sampai berlebihan. Masih bisa makan ayam
seminggu sekali, dan setiap dua minggu sekali ayah akan mengajak kami
sekeluarga pergi tamasya. Kadang ke pantai, pernah juga hanya duduk di lapangan
golf yang menghijau milik perusahaan.
Saat
itu tahun sembilan puluhan. Aku duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Setiap
hari akau diberi uang saku untuk jajan di sekolah sebesar Rp 200,-. Seratus
rupiah untuk sekolah pagi, dan seratus lagi untuk sekolah Madrasah Ibtidaiyah
sore hari. Jumlah tersebut lumayan besar pada saat itu, bisa untuk membeli
sepiring nasi gurih ( nasi uduk), atau mi goreng atau lontong sayur ditambah
segelas es sirup atau dua potong es lilin.
Teman
sebangkuku bernama Rani. Dia murid pindahan dari kebun lain. Orangtuanya
bekerja sebagai penderes ( orang yang menguliti kulit pohon karet untuk diambil
getahnya). Kalau digambarkan dengan tingkatan kasta, maka kasta penderes adalah
kasta sudra, kasta terendah.
Setiap
hari Rani membawa keripik singkong sambal merah ke sekolah. Ia menjualnya
kepada kami. Aku yang memang doyan pedas, menjadi pelanggan tetapnya. Harga
sebungkus keripik adalah Rp 25.
Teman-temanku
banyak yang sering menertawakan Rani, terkadang dia diolok-olok teman lelaki
yang usil. Namun, tak sekalipun aku melihat Rani merasa malu. Tetap saja secara
rutin dia membawa keripik-keripik jualannya. Bu guru sering memborong jualan
Rani. Memang ibu guruku, bu Salehah sungguh guru yang sangat baik dan mengasihi
muridnya. Tak salah kalau ia memiliki nama begitu indah.
Suatu
hari, aku tidak begitu ingat bagaimana kejadian persisnya. Namun teman-teman
laki-laki sangat jahil di hari itu. Mereka bercanda sambil menarik-narik rambut
beberapa anak perempuan. Syukurlah rambutku dipotong pendek sama mama, jadi
mereka tidak bisa menarik-narik rambutku.
Rani
yang kebetulan berambut panjang dan pada hari itu diekor kuda, menjadi
bulan-bulanan mereka. Bosan dengan acara tarik-menarik rambut, mereka beralih
ke permainan mengintip rok anak perempuan. Mungkin kalian masih ingat ulah usil
teman-teman semasa SD dulu. Dimana anak laki-laki mengikatkan rautan pensil
yang ada kacanya ke tali sepatu kemudian sambil berjalan pelan-pelan kakinya di
tarud persis di bawah anak perempuan yang berdiri, sehingga kelihatan warna CD
nya. Sambil tertawa-tawa mereka menjalankan aksinya, dan menyebut warna CD anak
perempuan. Lucu juga kalau mengingatnya.
Tapi
ternyata, yang terjadi tidak selucu yang kubayangkan, saat Rani yang menjadi
korban. Awalnya kami semua tertawa, namun setelah melihat Rani menangis, kami
terdiam. Teman lelaki yang iseng tadi tanpa minta maaf langsung kabur ke luar
kelas. Sebagai teman sebangku, aku turut merasa bersalah karena telah
menertawakan Rani. Untuk menebus rasa bersalahku, kuhibur ia. Rani ngambek,
lari keluar kelas dan tidak mau lagi mengikuti pelajaran berikutnya.
Ibu
guru Salehah menyuruhku mengantar Rani pulang ke rumah. Dengan berjalan kaki
kuantar Rani. Sepanjang perjalanan Rani diam. Aku sibuk bercerita tentang apa
saja agar Rani tertawa. Syukurlah tak berapa lama, mendengar ceritaku tentang Abunawas
yang sering didongengkan ayahku, Rani akhirnya tertawa juga.
Tidak
terasa, kami sudah sampai di rumah Rani. Saat melihat rumah Rani dari luar, aku
biasa saja. Rumahnya kecil, namun hal tersebut dapat dimaklumi, namanya juga
perumahan perusahaan, tentulah tidak mungkin besar, apalagi mengingat pekerjaan
ayahnya. Namun saat masuk ke rumahnya aku sangat terkejut. Rumahnya sangat
sempit dan hanya diisi beberapa perabot usang. Kursi busa yang sudah bolong
disana-sini dan busanya sudah terburai teronggok di sudut ruangan. Kulihat ada
sebuah kulkas model lama. Aku pikir, lumayan juga nih keluarga Rani punya
lemari es. Eh ternyata saat dibuka, isinya adalah pakaian. Jadi lemari es
tersebut adalah lemari es rongsokan. Pakaian di dalamnya, seperti hanya
dilemparkan masuk saja ke dalamnya, tanpa disetrika.
Rani
mempersilahkanku duduk di sofa. Terus terang saja, aku tidak tahu harus dimana
kuletakkan pantatku, karena beberapa kayu sofa sudah menonjol. Akhirnya
kuputuskan untuk duduk di lantai.
Karena
hari sudah siang, ibunya Rani mempersilahkanku makan siang. Wah senangnya.
Memang dari tadi perutku sudah berkerucuk minta diisi. Setelah mengambil nasi
dan menaruhnya di piring kaleng, mataku mencari-cari lauk yang akan menemani
nasi di piringku. Kulihat Rani mengambil sesendok sambal ke piringnya. Aku pun
megikutinya. Setelah itu, Rani kembali duduk dan langsung menyantap makanannya.
Aku masih sibuk lirak-lirik dimana gerangan lauk ikan atau telur berada.
Akhirnya
aku sadar, tidak ada lauk lain. Ya, menu makan siangnya adalah nasi plus
sambal. Bahkan kerupuk pun tidak ada. Dengan susah payah kuhabiskan nasi di
piringku. Hiks, ada yang nyesek di dadaku. Aku tidak menyangka teman sebangkuku
sesusah itu hidupnya. Padahal terkadang di rumah kalau ibu hanya masak telur
saja aku suka ngambek ga mau makan. Harus ada ikan di meja makan, baru aku selera
makan.
Setelah
selesai makan, Aku membantu Rani mencuci piring. Tak lama ibu Rani pamit mau
pergi, katanya mau mengambil cucian ke rumah tetangga. Untuk membantu menopang
hidup, ibunya menjadi buruh cuci di komplek situ.
Piring
sudah bersih. Rani mengajakku ke belakang rumah. Aku pikir mau duduk-duduk
dimanaaa gitu. Eh ternyata belakang rumah Rani adalah tanah perusahaan yang
sudah digarap dan ditanami dengan pohon singkong. Sambil tertawa-tawa Rani
mengajakku memanen singkong untuk dibuat keripik.
Baju
sekolahku jadi berlepotan tanah. Dengan semangat aku mulai mencabuti
pohon-pohon singkong tersebut. Wah ternyata tidak terlalu sulit. Cukup ditarik
batangnya, seluruh akar yang berisi umbi akan tercabut. Rani sangat senang aku
mau membantunya. Tak terlihat lagi kesedihan di wajahnya.
Cukup
banyak juga singkong yang kami panen. Setelah itu, Rani mengajariku cara
membersihkan singkong. Cukup dibuat irisan memanjang di kulitnya, kemudian
tinggal diputar, maka kulitnya akan terlepas semua. Takjub aku melihat temanku
yang satu ini. Di usia yang demikian belia, sudah ahli memotong-motong
singkong.
Setelah
dibersihkan, singkong-singkong tersebut kemudian diiris tipis-tipis memakai
alat khusus untuk mengiris yang terbuat dari plastik. Hahaha, aku seperti
bermain-main saja. Tak terasa sudah satu baskom irisan singkong yang kami
hasilkan.
Dengan
lincah tangan Rani menyalakan api di tungku. Setelah menyusun batangan kayu
bakar dan ranting-ranting, hap… api pun berkobar. Sebuah kuali ( penggorengan)
yang lumayan besar pun nangkring di atasnya. Bersama-sama kami menggorang
irisan singkong tadi.
Hari
sudah sore saat kami selesai menggoreng keseluruhan singkong di dalam baskom.
Kata Rani , harus menunggu ibunya untuk mencampur sambal di keripiknya. Ia
belum terlalu ahli membuat sambal.
Sungguh
aku tak menyangka selama ini keripik yang dijual Rani adalah hasil olahan
dirinya sendiri. Saat itu kami masih duduk di kelas tiga sekolah dasar.
Bayangkan masih berapa usia kami.
Tak
lama aku pun pamit pulang, takut ibuku khawatir. Rani membawakanku sekantongan
kecil keripik yang tadi kami goreng bersama.
Hari
itu aku mendapat pengalaman yang sangat luar biasa. Aku jadi tahu bagaimana
susahnya mencari uang. Aku juga jadi menyadari bahwa aku termasuk orang yang
beruntung. Tidak perlu bersusah payah, nasi beserta lauk pauknya sudah tersedia
setiap hari.
Mulai
hari itu aku berjanji akan setiap hari membeli keripik Rani, dan membantunya
menjual keripik-keripik tersebut di sekolah. Aku menyadari nilai perjuangan
hidup di balik harga sebungkus keripik.
Rani
telah mengajarkanku sebuah nilai kehidupan yang sangat berharga. Selama ini ia
tidak pernah merasa malu menjadi miskin.
Seperti
kata pepatah , Kaya bermanfaat, miskin
bermartabat.
Mungkin
ia belum bisa menerapkan dua kata pertama. Namun ia sudah menunjukkan bagaimana
mempraktekkan dua kata terakhir.
Terkadang kita baru bisa bersyukur
setelah melihat penderitaan orang lain.
Pada saat itulah kita sadar bahwa
kita termasuk orang yang beruntung
crita yg menarik
ReplyDeleteterima kasih :)
Delete