Gado-Gado Poligami

Monday, May 28, 2012




Aku tidak akan pernah lupa pada pagi itu. Usiaku masih sebelas tahun, adik bungsu kami masih kelas 3 sekolah dasar. Tidak ada yang berbeda pada hari itu. Tetangga kami yang cerewet masih sama bawelnya dengan beberapa hari yang lalu meributkan anaknya yang terkena bisul disana sini. Tanteku yang beberapa tahun ini tinggal di rumah ibuku, sibuk membersihkan bekas ompol adikku. Semuanya terlihat biasa, sampai sore hari tidak biasanya kami mendapat kunjungan kakek.

Dengan keingintahuan seorang anak kecil, kuintip dari celah kamarku pembicaraan serius di ruang tamu kontrakan kami. Ibu menangis, kakek membisu, ayahku…… aku tak mendengar suaranya.


a hari kemudian, ayah kembali ke kota tempat kerjanya. Sejak setahun belakangan , ayah harus pindah kerja ke Palembang. Karena ibuku seorang PNS di kantor bupati dan kami masih bersekolah, maka dengan alasan efisiensi dan efektivitas, kami tetap menetap di Padang. Sebulan sekali ayah pulang dan tinggal di rumah selama tiga sampai empat hari. Aku selalu menanti-nanti hari kepulangan ayah. Biasanya setiap ayah akan pulang. Ibu bangun lebih pagi, begitupun aku dan adikku. Sarapan akan terhidang di meja sebelum pukul enam pagi karena biasanya ayah akan turun dari angkot yang berhenti di depan rumah sekitar jam setengah tujuh. Dan kami siap-siap menyambut kedatangan ayah dengan segudang cerita yang tersimpan selama sebulan terakhir.

Tapi hari itu, aku tahu sesuatu telah terjadi, sesuatu yang buruk yang dengan keterbatasan pengetahuan kanak-kanakku, aku hanya bisa menyimpulkan bahwa ayah telah menyakiti ibu.


Aku mendengar suara teriakan ibu, kemudian disusul tangisnya. Tak lama ibu masuk kamar dan membereskan pakaiannya. Ayah sama sekali tidak mencegah ibu pergi. Aku hanya menatap kosong kepergian ibu. Tidak tahu apa yang tengah melanda keluarga. Kudengar suara adikku menangis di dapur, segera kudatangi ia. Dengan tatapan polosnya ia memandangku.


“ Ibu kemana kak”

Aku hanya diam.




*****



Gempita perayaan pernikahan bungsu di keluargaku telah selesai. Kulihat rona bahagia yang tak bisa disembunyikan di wajah kedua orang tuaku. Tugas mereka sebagai orang tua tuntas sudah, untuk melepas putra putrinya menyempurnakan separuh diennya.


Tujuh belas tahun telah berlalu sejak hari itu. Hari ini ibuku telah membuktikan kepada dirinya sendiri, kepada semua orang yang bergunjing di belakangnya, ia telah berhasil melewati ujian terberat bagi seorang istri, neraka dunia , Poligami.



Sejak senja itu, kehidupan keluarga kami berubah. Setiap kepulangan ayah, aku hanya menyaksikan pertengkaran demi pertengkaran. Namun ibu bukanlah wanita lemah yang langsung terjatuh ke titik nadir hidupnya . Di setiap tarikan nafasnya aku tahu ada tangis disana, namun juga ada semangat untuk membuktikan kepada ayahku, bahwa poligami tidak akan menghancurkannya.



Dan kini, kami dalam satu frame foto keluarga. Abangku dengan anak istrinya, aku dan kedua adikku dengan suami masing-masing. Dan di tengah-tengah kami, ayah dan ibu tersenyum bahagia.



Aku tidak bangga dengan sejarah keluargaku. Tapi aku juga tidak malu dengan perjalanan hidup kami.


Bisa jadi sesuatu itu tidak kita sukai, padahal mungkin ada kebaikan di dalamnya.


Tulisan ini fiksi belaka, diikutsertakan pada lomba Blog, Opini Poligami . Info lomba disini
2 comments on "Gado-Gado Poligami"
  1. Penasaran dengan bagian tengahnya, hehehe..... makasih dah ikutan ya, mba windy

    ReplyDelete
  2. Apa ditambahin ya ceritanya. Ntar deh, kan belum deadline ya mba leyla :D

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga senang yah main kesini :)

Custom Post Signature